Monday, May 01, 2006

Pejuang-pejuang Yang Turun Gunung..

Semua perhatian tertuju pada sesosok pemuda yang baru saja hadir ditengah-tengah desa. Perhatian yang menyiratkan perasaan yang penuh arti dari kepulangan salah seorang warga desa yang telah lama “menghilang” sejak Nanggroe Aceh Darussalam menyandang predikat sebagai daerah yang berstatus Darurat Militer.


Hari-hari belakangan ini, wajah baru itu terlihat disekitar kami. Wajah baru yang nampak tidak asing keberadaannya bagi masyarakat disalah satu desa wilayah Pidie. Selidik punya selidik, wajah baru yang kemudian dikenal dengan nama Din ini ternyata adalah salah satu dari anggota GAM yang meletakkan senjata dan kemudian pulang kekampung halamannya.

Keakraban nampak terpancar diwajahnya. Tak terlihat sama sekali atribut atau identitas miring mengenai pria ini. Identitas bahwa pria ini adalah salah satu dari cap “eks-anggota gerakan separatis”.

Senyum dan tegur sapa acap kali ia lontarkan tatkala berjumpa dengan kami. Maklum saja, keberadaan kami di desa tersebut tak lain adalah sebagai tamu yang sengaja datang untuk melihat perkembangan terakhir desa setelah dihantam gelombang dahsyat tsunami beberapa waktu lalu. Dan tak jarang pula, pemuda ini seringkali singgah dan bercakap-cakap kepada kami seperti layaknya masyarakat Aceh pada umumnya.

Dalam sebuah kesempatan, kamipun terlibat dalam sebuah percakapan yang mengarah pada cerita pengalaman pribadi sang pemuda. Cerita seputar perasaannya saat ini berada kembali di kampung halaman beserta dengan pengalaman-pengalaman yang ia rasakan ketika hati kecilnya memutuskan untuk ikut memanggul senjata, bergerilya di gunung dan belantara Serambi Mekkah.


Tiba di Kampung Halaman

Rasa syukur dia ucapkan berulang kali tatkala kami singgung mengenai kepulangannya kekampung halaman. Menurutnya, berada kembali ditengah-tengah keluarga dan lingkungan masyarakat adalah sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kerinduan yang dalam terhadap suasana kampung halaman begitu terlihat dari raut wajah pemuda ini. Karena lebih dari dua tahun lamanya ia tak bersua dengan orang tua, saudara maupun para kerabat. Terlebih lagi, ketika pilihannya jatuh untuk pergi dari kampung halaman dengan memanggul senjata, ia meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung anak pertamanya.

Keharuan pun memuncak diseisi rumahnya ketika wajah letih dan kumal itu berada dipintu masuk. Tidak satupun dari anggota keluarganya yang mengira kalau orang yang telah dianggap hilang ini kembali hadir ditengah-tengah keluarga. Tanpa kabar berita, ia tiba-tiba pulang dengan membawa sejuta kerinduan untuk orang tua, adik-adik, sang istri bahkan kepada anaknya yang kini telah tumbuh besar.

“Bapak saya menangis lama sekali. Lebih dari satu jam dia menangisi kehadiran saya dihadapannya. Dia tidak menyangka kalau saya akhirnya kembali kerumah, setelah tak kunjung kabar dari saya selama dua tahun lebih”, paparnya menjelaskan.

Melihat seluruh keluarganya tetap utuh setelah mendengar kabar tsunami menghantam kampung halamannya adalah perasaan lebih yang luar biasa ia dapatkan ketika pulang. Tak peduli kalau rumahnya kini hanya beratapkan rumbia dengan dinding-dinding kayu seadanya, melihat seluruh keluarganya berkumpul dan bisa menghabiskan waktu dengan anak istrinya adalah kegembiraan yang lain.

Dengan memutuskan pulang kekampung, sebetulnya bukan pilihan mudah yang harus ia ambil. Setelah mendengar kabar tentang perjanjian damai antara RI dan GAM di Helsinski, ia mendapat perintah dari atasannya untuk mematuhi seluruh isi kesepakatan dengan segala resikonya. Termasuk harus berpisah dengan “sang istri kedua” yang selama ini menemaninya bergerilya, yaitu sepucuk senapan jenis AK-47 yang telah dipotong-potong menjadi tiga bagian oleh anggota Aceh Monitoring Mission (AMM).

“Saya tidak punya pikiran apapun selain langsung pulang kerumah setelah melihat senjata yang menemani saya selama ini dipotong-potong. Walaupun perasaan saya sedih ketika melihat senjata itu dipotong-potong, tapi keinginan yang kuat untuk pulang kerumah tiba-tiba muncul. Pulang kerumah untuk menghapus kesedihan dan bertemu dengan keluarga saya”, terangnya lebih lanjut.


Pilihannya Bergerilya Bersama GAM

Ia tergabung kedalam pasukan GAM wilayah Tepi Raya, Pidie. Walaupun ia hanya menyandang status sebagai anggota, tapi namanya cukup dipandang didalam kelompok itu. Sebelum naik ke gunung dan bergerilya, ia pernah menyandang status sebagai komandan angkatan laut GAM ditingkat kecamatan. Karena letak dan keberadaannya di pesisir pantai, ia punya keahlian yang cukup untuk memimpin armada laut GAM. Status Darurat Militer yang terus menerus memburunya, menyebabkan jumlah anggotanya semakin sedikit karena banyak yang tewas atau ditangkap. Ia kemudian ditarik kedalam kelompok gerilyawan dan memperkuat barisan kelompok bersenjata di wilayah tersebut.

Ia menceritakan bagaimana pertama kali dirinya bergabung bersama GAM.
“Di suatu waktu ketika saya tengah berjalan di salah satu desa tetangga, saya melihat bagaimana penderitaan seorang bapak-bapak yang tengah mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan. Padahal bapak tersebut tidak tahu menahu soal keterlibatan tetangganya yang telah tewas sebelumnya akibat diterjang peluru aparat keamanan. Banyak lagi kesaksian yang saya lihat dengan mata kepala dari kekejaman perang terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa, tapi harus menanggung semua beban ini”, terangnya menegaskan.

Dari keterangannya tersebut, ia lalu menambahkan cerita tentang kondisi seorang kawan seperjuangannya yang merasakan kehilangan orang tua akibat perang. Disiksa dan dibunuh didepan mata membuatnya termotivasi untuk menuntut tanggung jawab pelaku dan membalas dendam terhadap kematian orang tuanya.

Lebih lanjut, ia menegaskan, “Tekad kami bulat pada waktu itu untuk membela daerah (Aceh,red) dan agama. Terlebih tentang membalas dendam terhadap kematian orang tua dan saudara-saudara kami, itu perjuangan yang mulia menurut kami”.

“Demi itu semua, kami pernah bergerilya dari wilayah kami (Tepi Raya, red) ke Meulaboh dengan berjalan kaki. Perjalanan yang melelahkan serta menghabiskan banyak waktu selama delapan hari adalah salah satu bagian dari tekad awal kami, karena itu bagian dan salah satu wujud dari perjuangan kami membela tanah Aceh”, imbuhnya.


Keinginan Untuk Hidup Normal Selamanya

Cerita lalu seputar perang dan pengalaman bergerilya, perlahan demi perlahan ia coba hilangkan. Rasa geram dan benci terhadap aparat keamanan, hanya ia timpali dengan sebuah perasaan positif yang menginginkan sebuah kondisi perubahan yang permanent untuk Aceh. Walaupun disatu sisi, ada beberapa hal yang tidak bisa ia lupakan dengan mudah, mengingat karakter Pemerintah RI yang selalu condong kearah diskriminatif terhadap Aceh.

“Selama TNI atau Pemerintah RI bersikap baik dan mematuhi isi dari kesepakatan damai, kamipun akan berlaku yang sama”, tegasnya.

“Perintah dari atasan kami untuk mematuhi seluruh isi dari kesepakatan damai, tetap kami pegang walaupun saat ini banyak dari teman-teman kami yang pulang kekampung halaman. Tidak ada satupun niat dari kami untuk menggagalkan kesepakatan damai tersebut. Bagi kami, menodai isi kesepakatan damai adalah sama dengan melukai lebih dalam hati saudara-saudara kami yang tengah kesusahan akibat bencana tsunami”, tegasnya lebih lanjut.

Ia banyak berharap bahwa proses perdamaian kali ini bisa seterusnya ia dan saudara-saudaranya (masyarakat Aceh, red) rasakan. Kegagalan Jeda Kemanusiaan dan CoHA beberapa waktu lalu sangat ia harapkan untuk tidak terjadi lagi. Udara bebas yang tengah ia dan teman-temannya hirup, terasa nikmat dan sangat disayangkan kalau ternyata dibatasi kesempatannya. Bagaimanapun juga, ia telah dengan sepenuh hati menyerahkan proses perdamaian ini kepada Pemerintah RI untuk bisa direalisasikan semaksimal mungkin. Keinginan sepenuh hati itulah yang ia tuangkan dalam bentuk melepaskan senjata dari genggamannya serta kepulangannya kekampung halaman. Ia sendiripun ingin melihat dan merasakan bagaimana tanah kelahiran serta saudara-saudaranya bisa mendapatkan apa yang selama ini selalu dipersengketakan, rasa keadilan dan kesejahteraan.

Dipenutup pembicaraan, ia meninggalkan pesan kepada kami dengan harapan bisa disampaikan kepada masyarakat yang lain. Status dan pengakuannya kini sebagai warga negara Republik Indonesia mutlak menjadi tanggung jawab Pemerintah RI, termasuk bagaimana nasib dan kelanjutan hidupnya dihari depan.


Kembang Tanjung, Pidie
September 2005
*Telah dipublikasikan di Aceh Loen Sayang, edisi Oktober 2005









No comments: