Monday, May 29, 2006

Gempa dari Lautan Kidul


Sabtu 27 Mei lalu Yogyakarta dikejutkan oleh gempa bumi berkekuatan 6,2 pada skala Richter. Saat ini (29/05) jumlah korban tewas dikabarkan sudah di atas 5000 jiwa. Lewat berbagai pemberitaan cetak yang terbit di Yogya, Surabaya, Malang dan Jakarta, RN menghimpun perkembangan keadaan di Yogya dan sekitarnya sampai hari Minggu siang (28/05), mengenai tragedi bencana alam tersebut.

Friday, May 26, 2006

Menimbang Sewindu Reformasi


Duapuluh satu Mei lalu, tepat delapan tahun sudah bekas Presiden Soeharto lengser dari tampuk kekuasaannya. Tuntutan mundurnya orang kuat orde baru itu merupakan salah satu butir agenda reformasi yang diusung para mahasiswa. Sementara di tengah sakitnya Soeharto sekarang, pemerintah berencana mengampuninya. Kini, sewindu sudah gerakan reformasi berjalan. Bagaimana para tokoh Reformasi dan bekas aktivis mahasiswa 1998 menilai perjalanan reformasi? Laporan kantor berita 68h di Jakarta.

Wednesday, May 24, 2006

Soeharto Harus Diadili



Kondisi kesehatan Soeharto kembali memburuk. Mantan presiden RI ini mengalami pendarahan pada lambung. Tim dokter belum tahu apa penyebab terjadinya pendarahan. Menurut tim dokter kondisi kesehatan Soeharto jauh lebih buruk ketimbang Senin kemarin. Namun bagi Dr. Adnan Buyung Nasution, bagaimana pun juga, mantan diktator ini harus diadili supaya jelas apakah ia bersalah atau tidak bersalah. Dan kalaupun Soeharto dinyatakan bersalah dan harus dihukum, hukumlah dia seadil-adilnya. Sehari di penjara sudah cukup. Demikian tandas pengacara Dr. Adnan Buyung Nasution kepada Radio Nederland Wereldomroep.

Menggali Kebenaran

Jerman pernah menanggung beban masa silam yang carut marut : rezim NAZI, perang dunia, pembelahan bangsa, dan rezim totaliter di Jerman Timur. Beban tersebut dapat dihadapi dengan terbuka, seperti di Jerman, atau dengan menggelar proses mencari kebenaran dan rekonsiliasi seperti dipelopori Afrika Selatannya Presiden Nelson Mandela. Di Indonesia, belum ada kesadaran akan pentingnya pelurusan sejarah, para pelanggar HAM di rezim lama masih berkuasa, dan stigmatisasi terhadap para korban masih juga terjadi.

Monday, May 22, 2006

Milisi, Kenapa Dibiarkan ?


Seiring proses reformasi, bermunculan sejumlah kelompok milisi yang dibentuk berdasarkan ide sektarian. Di antara kelompok milisi tersebut, dua yang paling menonjol Front Pembela Islam dan Forum Betawi Rembug. Kekerasan adalah metode yang kerap mereka pergunakan dalam aksinya. Kenapa dibiarkan? Bagaimana pandangan masyarakat?

Hari Nasional Anak-Anak Jalanan

Keteguhan dan kreativitas anak-anak jalanan jadi tema utama Hari Nasional Anak-Anak Jalanan, Rabu, 17 Mei. Anak-anak jalanan dari berbagai belahan dunia berkumpul di Belanda untuk unjuk kemampuan melalui festival teater jalanan internasional. Namun seberapa jauh itu menggambarkan kenyataan yang ada?

Apa definisinya?Definisi anak-anak jalanan terus meluas. Dari anak-anak yang baik siang dan malamnya ada di jalan, hingga anak-anak yang sebagian besar waktunya ada di jalan tapi malamnya beristirahat di rumah. Jumlah anak jalanan juga turut bertambah. Diperkirakan terdapat 25 hingga 140 juta anak jalanan di dunia, tergantung definisi mana yang dipakai. Menurut Foussini Trabouri, umur 16 tahun, asal Burkina Faso, mereka yang ada di jalan dari usia tiga sampai 11 tahun punya pengertian sendiri tentang apa itu anak jalanan.

"Sebagai anak jalanan anda harus mandiri setiap harinya. Kalau anda sakit tidak ada orang yang merawat anda. Anda harus menghadapinya sendiri."

Rwanda Adili Pelaku Genosida Secara Massal


Pengadilan Gacaca secara resmi dimulai di Rwanda bulan ini. Sekitar 12.000 pengadilan rakyat siap mengadili ratusan ribu orang yang terlibat dalam genosida tahun 1994 di Rwanda. Sekretaris sistem pengadilan Gacaca, Domitila Mukantaganzwa, bersama Menteri Luar Negeri Charles Murigande sengaja datang ke Belanda menjelaskan tentang pengadilan istimewa itu.

Penegakan HAM Pasca Helsinki

Sebuah pertanyaan masih menggelembung berkaitan dengan perdamaian Aceh. Akankah pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama ini dibiarkan begitu saja atau kembali diusut dari awal?
Jika merujuk kepada MoU Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, keinginan untuk mengusut kembali kasus pelanggaran HAM itu mamang tertuang jelas. Dalam pasal 2 perjanjian tersebut dikatakan, Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional PBB mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dibentuk oleh KKR nasional.

KORBAN, KEADILAN DAN KEDAMAIAN

Dimulai ketika Hasan Tiro Cs memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, upaya untuk meredam sikap protes rakyat Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat, disambut dengan sikap otoriter dan fasis oleh pemerintah RI. Pencarian Hasan Tiro Cs dilakukan, dengan pengiriman pasukan dan status Daerah Operasi Militer (DOM), hidup atau mati. Lantas, masyarakat sipil yang diduga dan dituduh sebagai bagian dari Gerakan Aceh Merdeka, tewas terbunuh sia-sia dengan beragam cara.

Nilai-nilai kemanusiaan tercabik-cabik pada masa itu. Pelanggaran HAM bukan saja menjadi satu hal yang ditentang, tapi sudah menjadi rutinitas dan santapan para pelaku kejahatan kemanusiaan. Tak ada satupun kata belas kasihan terhadap rakyat Aceh yang sudah dijerat dengan dugaan dan tuduhan terhadap label GAM.

Seiring berakhirnya status DOM pada tahun 1989 dan rentetan peristiwa kekerasan lainnya, MoU Helsinski dalam salah satu butirnya mengamanatkan upaya untuk mencari keadilan bagi para korban tindak kekerasan selama kurun waktu tersebut. Pun sebelum diamanatkan oleh MoU Helsinski, beragam upaya sudah ditempuh oleh Pemerintah RI dengan desakan dari berbagai kalangan. Namun hasilnya, segala temuan dari kasus-kasus pelanggaran HAM hanya sebatas menjadi rekomendasi tanpa adanya langkah konkrit dari pemerintah RI untuk menyikapinya lebih lanjut.

Iklim politik dan proteksi terhadap pelaku kekerasan, mendominasi proses yang seharusnya signifikan untuk diselesaikan jauh-jauh hari sebelumnya berdasar dari temuan-temuan dilapangan. Bukan tanpa dasar ini dilakukan, mengingat pelaku kekerasan melibatkan institusi militer, tapi juga mengarah pada perlindungan kepentingan politik dari “investasi” operasi militer yang sudah dilakukan di Aceh.

Memilukan memang pada akhirnya, disatu sisi korban masih mencari dan bertanya-tanya tentang keadilan, disisi lainnya sikap ambigu dari pemerintah RI mendominasi iklim politik terhadap kebenaran dan rekonsiliasi. Sikap mengambil jalan tengah untuk melupakan semua peristiwa dan memaafkan, disinyalir menjadi satu topik yang utama untuk penyelesaian.

Lalu, dimanakah posisi korban dan dimanakah posisi pelaku yang harus bertanggung jawab? Kemana juga damai dan keadilan yang selama ini menjadi substansi dari kesepakatan damai? Akankah semua jawaban tersebut dapat terakomodir dalam pembahasan RUU PA?

Aceh dimasa konflik, bukan saja meninggalkan trauma yang mendalam untuk para korban. Tapi juga, meninggalkan beragam pertanyaan yang hingga hari ini belum bisa dijawab oleh pemegang tampuk kekuasaan negeri ini. Terutama untuk para korban dan rasa keadilan yang niscaya akan menuntun Aceh dalam kedamaian.[T]
Editorial Aceh Loen Sayang
Edisi April 2006

Tuesday, May 09, 2006

RUMOH GEUDONG: THE TORTURE CAMP

The District of Pidie was well-known in Aceh for its agricultural abundance. This 4, 160.55 square km area is comprised of district (wilayah pembantu bupati), 23 sub-district (kecamatan), 127 residential areas (pemukiman) and 948 villages (desa/kelurahan) with Tangse and Geupang sub-district in the highland and the rest in the lowland. Situated between 4.39-4.60 degrees of north latitude and 95.75-96.20 of east longitude, Pidie is bordered by the Mallaca straits in the north, Aceh Tengah district in the south and Aceh Besar district in the west.

The 1995 statistics showed that this area contributed the biggest share of 47.06 per cent Gross Regional Domestic Product (GRDP). In short, Pidie was the rice bowl of Aceh. This however did not reflect in the economic outlook of the area. More that 50 per cent of the villages in Pidie were considered as deprived ones, menaing that 590 villages from 948 villages were categorized as underprivileged according to the official Presidential Decree. This irony was due to the prolong conflict occurred under the endorsement of DOM status. Not only were the Aceh people marginalized economically, they also lived their life in continuous terror.

One of many sources of terror to the people in Aceh was Rumoh Geudong. Rumoh Geudong was located in Billie Aron village in Geulumpang Tiga sub-district, around 125 km away from the city of Banda Aceh. Rumoh Geudong was built in 1818 by ampon Raja Lamkuta, the son of an Acehnese royal soldier. During the Dutch colonialism, King Lamkuta and his associates used the house as a place to prepare their strategies. Later on King Lamkuta was shot dead by the Dutch military police surrounded his place in Pulo Syahi, Keumala. He was buried in the royal cemetery in Aron Village nearby Rumoh Geudong. His 15-year old brother Teuku cut Ahmad continued the struggle but got shot by the Dutch troops as well. Later on, Rumoh Geudong was consecutively occupied by Teuku Kejreun Rahman, Teuku Kejreum Husein and Teuku Kejreun Gade. During the Japanese occupation until the independence of Indonesia in 1945, the son of Teuku Kejreun Husein, Teuku Raja Umar (known as Kejreun Umar) and his son Teuku Muhammad resided in Rumoh Geudong is in the hand of Cut Maidawati, the daughter of Teuku A. Rahman who inherented the house from his father, Teuku Ahmad or Ampon Muda, the son of Teuku Kejreun Gade.

Situated in the middle of a 150 x 80 square meter land near the main road connecting the cities of Banda Aceh in Aceh and Medan in North Sumatera province, Rumoh Geudong looked like any ordinary Aceh traditional houses. It was equipped with verandah, kitchen and a number of rooms in the front, central and back sides of the houses. Under its latest renovation, the top made of palm leaves was changed with an iron roof. The decayed wooden walls were replaced with the new carved ones. They built an additional room at the back side and a hall at the front. Every ‘bara’ (pillar of Aceh traditional houses) of Rumoh Geudong was carved with verses from one ‘juz’ (chapter) for the Holy Quran.

Since April 1990, Rumoh Geudong was transformed into a military post. According to the owner of Rumoh Geudong, the military officers occupied the houses without permission. They resided in Rumoh Geudong simply by insisting to the houses guard that they wanted to do so. The owner disagreed nevertheless the Kopassus officers continued to stay there. The officers changed the house into military post, put partitions in Rumoh Geudong and turned the house as the prison in the end of 1995. In 1996, the sub-district chief (Musyawarah Pimpinan Kecamatan/Muspika) issued a signed official letter requesting for temporary rent. However the owner of the houses never signed the paper. Since then, Rumoh Geudongwere known as Billie Aron Pos Sattis, covering three military regions in the sub-districts of Pidie: Glumpang Tiga, Kembang Tanjong and Bandar Baru sub-district.

The front and the middle rooms were divided with wooden and bamboo partitions and transformed into a number of 2 x 2 meter cells to accommodate the detainees for further interrogation an torture sessions. Cemented bricks made half of the wall at the back room and also the floor. The rooms were used as the office Rumoh Geudong chief, bedrooms for personnel, cells, torture rooms and kitchen. At the left side of backyard, a 1.5-meter deep septic tank was used as torture poles for the detainees. Here in Rumoh Geudong, various human rights violations such as kidnapping, rape, and robbery were committed during military operation under the authority of the chief of Billie Aron area.

When the DOM status was withdrawn on August 7, 1998, eight different chiefs from the Special Forces of the Armed Forces (Kopassus) unit were in charged of Rumoh Geudong, chiefs commanders of Rumoh Geudong were Hartono, Cecep, Dadang, Lieutenant II Sugiono, Lieutenant II Umar, Lieutenant I Partono from Battalion IV 42 Kopassus in Cijantung (the most sadistic commander), Lieutenant I Infantry Sutarman and Cakra. This chief, usually a second rank lieutenant from the infantry, headed a unit of 6 to 10 personnel of junior sergeants, senior sergeants, first rank soldier (Prajurit Satu/Pratu) and chief soldiers (Prajurit Kepala/Praka). It was difficult to identify military officers assigned in Rumoh Geudong since they rarely wore uniforms. Some even looked more like bandits with long hairs and earrings. Some victims were able to recall some of the perpetrators such as Sasmito (top assistant to Commander Sutarman, Umar and Partono), Prapat (a Bataknese), Nasrul, Arman (a Chinese-like young man with long hair), Joni, Faisal, Mirsal, Hartono, Rahmad, Sutrisno, Pranut, Joko and Adi. The officers would frequently recruited youths such as Bakar and Basri as assistances to torture and execute their own neighbors. One villager said, “People were scared of the officers and those 10-15 year-old delinquent juveniles. They drank, hanged around and play domino together. We loaded them all”.

The military, including those posted in Billie Aron Pos Sattis or Rumoh Geudong were involved in this unbroken vicious circle of physical, psychological and economic violence. Banning the mountainous part of Pidie from civilians and declaring it as target area for military action, the officers in Rumoh Geudong stole livestock of the Aceh people such as goats and buffaloes which were left roaming for grass in the pasture in the valley and the forest nearby. During the harvest period, the military also banned the Aceh people to the fields by declaring the areas as military regions. Quickly they turned the fields into stretches of bare grounds and pocketed the profit. Slowly the Aceh people lost all of their hard-earning crops and cattles and were left empty handed.

Sometimes the officers including the cuaks (mata-mata) from Rumoh Geudong ordered the villagers to clear the roads from twigs and branches. As a result, the officers enjoyed clear passable roads for their trucks and pockets full of money earned by selling all firewood’s to the local market. They also asked the villagers for rice, sugar, chicken, money and palm leaves for Rumoh Geudong’s new roof. They also ordered villagers, including 13-17 year-old boys and girls, to do the cooking, wash the dishes and clothes, mow the lawn, feed the detainees, chop the firewood’s and so on. The villagers was instructed to dig for sewers, clear new paths and set up security posts. Those who refused were accused as supporters of GAM and the ones who made mistakes received severe sanctions. The military also ordered 12 people from the neighboring villages to secure Rumoh Geudong every evening to ensure no detainees escaped from the house. Divided into two groups, the villagers started to take turns in their rounds at 7 in the evening and finished at 7 in the next morning. One villagers admitted that, “Sometimes we were tired and fell asleep. Then suddenly some officers popped out. Then they beats us up. Some of us were immediately dragged into Rumoh Geudong. We were in constant fear at the time”. If some detainees managed to flee, these villagers were punished heavily. So some villagers tried to pass up their turns to guard Rumoh Geudong at night by paying substitutes for Rp. 15.000. Some avoided this task for personal reason, a former detainee said, “My neighbors often substituted for me because my father was detained in Rumoh Geudong. I couldn’t bear seeing him being tortured in front of my very own eyes”.

Even talking to the officers caused them great fear. Minor mistakes would lead into major sufferance’s, whether they were physical or mental abuses or loss of property. “We didn’t have the courage to talk to the officers, we were too nervous. We might say wrong things, even just one sentence,” said one victim. A villager shared his experience, “One day, Tengku Hasballah was looking for his goat nearby Rumoh Geudong. When he was there, the officers called him out of the blue and asked him to take off his watch. Rumoh Geudong was risky even to bystanders”. All were done under the slogan of “ABRI Masuk Desa” (military village development program).

Moreover, when the Kopassus officers were transferred to different areas due to their tour of duty, the villagers were instructed to organize farewell parties and invite notable figures such as village chiefs, local businessmen and other public authorities to donate their money. The officers were no more than thieves or robbers in the eyes of the Aceh people. However the trauma from the torture in Rumoh Geudong was tremendous so they were unable to fight back or report wrongdoings to the higher authority. Powerless, they could only suffer in silence. One of the victims testified, “Hearing the word “Rumoh Geudong” was enough to make me shiver in fear. I simply couldn’t describe the hatred I felt inside. Here we call it as ‘hell of the world’ (neuraka donya), ‘the torture camp for the Aceh people’ or ‘the place of the evil Pa’i (the Armed Forces or the National Police)’.

The fear casted by Rumoh Geudong affected the daily routines as well. According to a villager, before it was transformed inti a Pos Sattis, the people used to paid friendly visits to their neighbours, “…but things were not the same anymore. Children could no longer return home after attending their Quran learning classes in the evening because they were too scared. So they had to stay over and returned in the next morning. When our neighbours passed away or organized gatherings, it was difficult for us to attend those kind of social meetings. “The villagers chose to take different routes away from Rumoh Geudong to avoid the officers. “When officers were nearby, we prefer to keep our distance. If necessary, we would run away as far as we could,” said a villager.

Living nearby Rumoh Geudong also exposed the villagers to horrendous experience. Cries for mercy, screams in pain and hurtful groans leaked from the walls of Rumoh Geudong at night. To suppress the creeping noise, the officers in charge raised the volume from the tape recorder. Many villagers could not stand such psychological pressure and chose to move to different places. One villagers testified, “The neighbouring villagers were heavily depressed and suffered sleep deprivation. They became as skinny as the detainees of Rumoh Geudong. The feeling of listening to the sound of suffering was indescribable”.

Later on Rumoh Geudong was also well-known as a haunted house. The military personnel frequently witnessed the presence of a mysterious tiger. According to the local legend, this tiger emerged from bloody sheet in the coffin that used to be in Rumoh Geudong. The coffin belonged to an old woman who was brutally murdered by the Dutch soldiers. Some non-Moslem officers were strangely ‘moved’ downstairs from their room upstairs. In 1992, an officer shot his own colleague because he heard the voice of the tiger telling him to do so. Only after the officers asked a famous local Moslem cleric Abu Kuta Krueng to exorcise the spirits, then they occupied Rumoh Geudong.

When the Reform Era took place on August 21, 1998, the government lifted the DOM status on Aceh. The military authorities started to leave Rumoh Geudong and other Pos Sattis and headed to the city of Lhokseumawe. They left around Rp. 6 million of unpaid phone bills to the relatives of Rumoh Geudong owner. He officer in charge simply suggested the owner not to pay the bill, “Let the telephone company cut the line off. Just install the new one, it would cost you only Rp. 300.000. According to the Human Rights Fact Finding Team report, 50 per cent of the crimes done by the military officers assigned in Pidie during the DOM status took place in Rumoh Geudong. Since 1990 to 1998, thousands of people have been tortured in this house.

When the National Commission of Human Rights investigated Rumoh Geudong, they found electric cables scattered on the wooden floor along with ropes and chains hanging down the ceiling. They also came across 1 70 cm wooden pole assumed as one of the torture instruments. Blood were splattered on the walls. They also found 150 x 180 square meter of mass graveyard nearby Rumoh Geudong. No complete skeleton found though, there were only remains of human fingers, hands, feet and other body parts such as human hair. Some victims and witnesses observed that a number of military officers had ordered several detainees and villagers to clean the graveyard in the evening and put the bodies into the car to be brought to an unknown place. Those remains invoked the suppressed hatred of the people. Thirty minutes after the Head of the National Commission of Human Rights Baharuddin Lopa left Rumoh Geudong, the villagers burned down the house. This was considered as an extraordinary occurrence to the villagers. According to the local legend, in 1945 a group of people tried to burn down Rumoh Geudong but failed because three mysterious tigers came out from this house and attacked them. The owner, Teuku Djakfar Ahmad, interpreted this incident in his own way and said, “Perhaps the house itself requested to be destroyed so the flame would rinse all the memories of the unimagined cruelty which took place here in Rumoh Geudong.”

As the flames engulfed Rumoh Geudong, the neighbouring villagers bursted in tears and thanked God. One of them said, “We thanked God for this. We could not stand the cries and screams anymore from the Rumoh Geudong.” Another victims wished, “The responsible ones must be brought to justice.” One Acehnese said, “I wish we could hang the perpetrators in public places.” Another mentioned, “Nothing would heal us unless we could see them in court and received appropriate punishment.”


Rumoh Geudong; The Scar of The Acehnese, Dyah Rahmany, Cordova-2001

Monday, May 08, 2006

OUR's STRUGGLE

Demokrasi tanpa Sosialisme adalah penindasan dan Sosialisme tanpa Demokrasi adalah Otoriterianisme. Demokrasi tidak hanya cukup dengan kesamaan hak-hak sipil dan politik. Demokrasi harus disempurnakan dengan Sosialisme melalui kesamaan hak sosial, ekonomi dan budaya.

Dengan keyakinan yang tidak akan pernah mati dalam hati kami tentang hal itu, maka kami berusaha memperjuangan gagasan-gagasan Sosialisme Demokrasi dengan berbagai keterbatasan yang kami miliki.

Thursday, May 04, 2006

Sutan Sjahrir: Nasib Getir Burung Kelana

SUTAN Sjahrir adalah nama yang dicuplik ibunya dari kegemerlapan kisah Seribu Satu Malam di Istana Baghdad. Tapi kehidupan Sjahrir justru getir dan kelam, sehitam belanga. Dialah orang yang paling jenius dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hanya bermain di belakang gemebyar Soekarno dan memimpin pergerakan di Bandung, Amsterdam, dan Leiden, jiwanya menjadi matang. Dialah pengelana yang hidup untuk kampung halaman: pribadinya matang dalam tempaan cita-cita kemerdekaan.

Tuesday, May 02, 2006

Mengenang Pram

Pramoedya Ananta Toer, berpulang 30 April lalu dalam usia 81 tahun. Sastrawan besar ini dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, meletakkan harapan pada kalangan muda, "Kalangan barulah yang mampu melahirkan pemimpin bagi Indonesia," ungkapnya. Sementara generasi harapan ini pun, mengaku meninggalnya Pram merupakan kehilangan besar di tengah krisis kepemimpinan dewasa ini.

KENANGAN KEPADA SEORANG DEMONSTRAN

Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.

LAHIRNYA SANG DEMONSTRAN

Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, kelahiran Jakarta tanggal 17 Desember 1942, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebonjeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satunya Soe Hok Djien, kakaknya, yang kita kenal sebagai Arief Budiman.

Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.

Monday, May 01, 2006

Selamat Jalan PRAM..

Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur, Minggu (30/4), sekitar pukul 09.00 WIB. Sastrawan yang secara internasional sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.
Sebelum meninggal, ia sempat berpesan "agar generasi muda Indonesia tidak tergilas oleh nilai-nilai global yang saat ini gejalanya sudah semakin kuat".
Selamat jalan, Pram! Semoga cita-cita dan semangat yang pernah engkau kobarkan tidak akan pernah padam dan diteruskan oleh generasi muda selanjutnya.
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan. Amin..

MENAGIH JANJI DARI JAKARTA

Satu lagi cerita yang belum tuntas dibacakan oleh pemegang tampuk kekuasaan negeri ini terhadap Aceh. Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang sedianya diundangkan akhir Maret ini, harus mengalami penundaan untuk sekian waktu kedepan.

Memang bukan tanpa dasar penundaan ini terjadi, terlebih ketika bicara persoalan Aceh. Ibarat sebuah pohon, dari mulai akar sampai daun, pupuk dan perawatannya harus benar-benar diperhatikan agar kualitas pohon itu bisa terjaga. Begitu juga dengan persoalan Aceh, momentum perdamaian pasca MoU Helsinki sampai pada pembahasan RUU PA yang akhirnya tertunda, satu bagian dari proses yang harus diperhatikan untuk menjaga proses perdamaian.

Bukan tanpa sebab namun bukan juga harus membiaskan problem Aceh menjadi keluar jalur seperti yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Karena semangat yang melatar belakangi MoU Helsinki adalah semangat kedua belah pihak untuk bisa memberi dan menerima prinsip-prinsip dasar kehidupan, baik sebagai warga negara maupun secara kelompok yang mengakui keutuhan dan kedaulatan Republik ini.

Semangat kedua belah pihak tersebut juga harus mengacu pada amanat yang terumuskan dengan baik dalam MoU Helsinki. Bahwasanya, jutaan rakyat Aceh yang miskin ditengah kekayaan alam dan ratusan ribu korban tsunami, menjadi landasan penting untuk disikapi dengan arif, bijaksana dan bermartabat. Itu sudah dilakukan, dengan itikad baik dari GAM yang terus menerus menjaga komitmen perdamaian dengan rasa penuh tanggung jawab teradap masyarakat Aceh.

Lalu, bagaimana dengan pemerintah RI? Adakah jaminan pasti yang bisa membuat GAM dan masyarakat Aceh lainnya tidak berharap-harap cemas menunggu keputusan Jakarta yang penuh dengan kepentingan, serta dapat mengakomodir secara keseluruhan semangat Mou Helsinki dan semangat masyarakat Aceh untuk mendapatkan rasa keadilan yang selama ini dieksploitasi dan dianaktirikan dalam sebuah bentuk Undang-undang?

Tugas baru pemerintah Indonesia terhadap penundaan pengesahan RUU PA, mau tidak mau harus dicatat dalam daftar urutan teratas persoalan masa depan bangsa yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Dengan tidak membiaskan dan tidak memanipulir amanat MoU Helsinki serta berkaca kepada kebutuhan mendasar rakyat Aceh yang sudah sepenuhnya percaya kepada bangsa ini.

Sehingga, janji yang tertunda dan kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia, masih tetap bersinar untuk menyemangati fase-fase proses perdamaian selanjutnya. Serta sebagai bukti kepada dunia internasional, bahwa Indonesia tidak berkelakar terhadap masa depan rakyatnya dalam memenuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan.
Tomix Pribadi
*Pemimpin Redaksi Aceh Loen Sayang
Dipublikasikan di Aceh Loen Sayang edisi Maret 2006

Bulu Dada Rhoma dan Bokong Inul

Wawancara khusus dengan Bang Rhoma Irama: "Masya Allah, pornoaksi itu haram!"


Winny, seorang wartawati dari Majalah GIRLS ONLY! ditugasi pemimpin redaksinya untuk mewawancarai biang dangdut Rhoma Irama yang sudah gaek. Winny yang lulusan sebuah perguruan tinggi di Kota Gudeg sendiri baru dua bulan kerja di majalah hiburan tersebut. Alhamdulillah, baru sekali nelpon asistennya, Rhoma Irama langsung kasih waktu untuk wawancara khusus. Padahal ia lagi sibuk mempersiapkan shooting sinetron dangdut buat TPI.
Berikut wawancara Winny (W), perempuan muda berpenampilan atraktif yang belum menginjak usia 25 dengan Bang Haji Rhoma Irama (R) di kantornya, kawasan Pejaten, Jaksel:

W: "Assalamu'alaikum Pak Rhoma..."
R: "Waalaikum salaaaaaaam. Antum yang bernama Winny?"
W: "Betul Pak.....saya Winny dari majalah GIRLS ONLY. Maaf Bang, antum itu apa ya artinya?"
R: "Wah, Winny bukan muslimah ya, kok kagak tahu antum. Antum itu artinya kamu."
W: "Oh gitu ya Pak. Maaf saya baru dengar istilah itu..."
R: "Antum muslimah bukan?"
W: "Iya pak....."
R: "Husss, jangan panggil pak ke ana. Panggil saja Bang, kalau antum dipanggil Pak nanti antum cepet tua.." ("Emang udah tua sihhhhhhh", batin Winny)
W: "Ana itu apa artinya bang?"
R: "Ana itu artinya saya..."
W: "Oh gitu.."
R: "Kalau antum muslimah, kok nggak pakai jilbab?"
W: "Belum pengen eh belum siap pak, eh bang..."
R: "Ingat ya, antum harus segera pakai jilbab. Itu kewajiban sebagai muslimah. Pokoknya kudu! Perempuan yang pakai kaos ketat atau you-can-see itu temannya setan. Tidak pantas dilihat dan terlihat seperti perempuan murahan. Kalau antum ke Tangerang pakai pakaian seperti itu bisa ditangkap! Ada itu Perda-nya! Antum ingat-ingat ya pesan ana."
W: "Iya bang, nanti kalau Winny udah siap lahir batin. Tapi ngomong-ngomong, kok abang naksir sama Angel Lelga yang nggak pakai jilbab?"
R: Masya Allah, itu kecelakaan. Waktu itu ana pas tergoda setan. Sudah, sudah. Jangan ungkit masa lalu, itu tidak baik."
W: "Oh begitu.."
R: "Ada pertanyaan lain? Ana lagi banyak tamu niih.."
W: "Menurut bang Rhoma, apa sih definisi pornoaksi itu?"
R: "Masya Allah, pornoaksi itu haram hukumnya. Pornoaksi adalah suatu tindakan atau perilaku porno yang membuat kita jadi berpikiran kotor. Yang berbuat pornoaksi jelas masuk neraka jahanam!"
W: "Apa konkretnya pikiran kotor itu, Bang?"
R: "Ya..itu pikiran yang ngeres karena pengaruh setan jahanam, yang membuat kita jadi 'terangsang' karena melihat hal-hal seperti itu.."
W: "Maksudnya, apanya yang terangsang, Bang..?"
R: (sambil mesam-mesem) "Ya..itulah...ana jadi malu nih ngomongnya. Antum tahulah itu......."
W: "Ooh...I see. Bisa kasih komentar kenapa Bang Rhoma mengatakan kalau gaya panggung dangdut Inul itu juga pornoaksi?"
R: "Ya..karena Inul itu gerakan 'bokong-nya' memang membuat ana dan akhwan-akhwan semua yang lihat jadi berpikir porno.."
W: "Lho, masak sih Bang?"
R: "Ya..dong..coba antum tanya semua penonton terutama yang cowok-cowok deh.."
W: "Bang, mengapa kalau Bang Rhoma beraksi selalu dengan kemeja bagian atas terbuka..dan keliatan bulu dada Bang Rhoma? Menurut Bang Rhoma, apa itu juga pornoaksi?"
R: "Hmm..ya jelas bukan dong! Itu bukan pornoaksi. Itu sekadar buat gaya saja."
W: "Bagaimana kalau saya bilang sama Bang Rhoma karena liat bulu-bulu dada Bang Rhoma...saya jadi merinding? Maksud saya...lalu saya jadi berpikiran..hmmm..yang gimana gitu sama abang?"
R: (muka merah menahan marah) "Ya kalo gitu..antum gak usah liat bulu dada ana dong!"
W: "Ya kalo gitu..Bang Rhoma juga NGGAK USAH LIAT BOKONG INUL!"
R: @#%&^$8@!&$##******

Rhoma pun mengusir Wina....
he...he...namanya aja wawancara Imajiner!
PEACE OUT, BRO…

Hidup yang Berpindah..

Siang itu, ditengah teriknya sinar matahari, sekelompok anak-anak kecil terlihat tengah bersenda gurau ditepian sungai yang menampakan kejernihannya. Didepan sebuah kamp pengungsian di salah satu daerah di Kec. Sigli, Kab. Pidie, canda mereka siang itu mengundang senyum semua pasang mata yang memperhatikannya. Sebuah keceriaan anak-anak pengungsi yang terdampar dalam sebuah desa dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Sudah 2 bulan lamanya mereka berada dalam tenda pengungsian tersebut. Sejak gelombang tsunami memporak porandakan kampung halamannya, anak-anak malang itu harus berpisah untuk sementara waktu dengan suasana kampung halamannya dan berada dalam tenda pengungsian yang disediakan oleh relawan-relawan dari Jakarta. Dan sepenuhnya, kehidupan mereka saat ini sangat tergantung dari bantuan yang datang dari manapun untuk menyambung hidup mereka.

Keceriaan di siang hari itu ternyata tidak dimiliki oleh semua anak yang terhanyut dalam buaian bulir-bulir air sungai yang lembut membelai. Disalah satu sudut pinggiran sungai, nampak sesosok wajah murung dengan tatapan kosong, terdiam menatap keceriaan yang tengah memancingnya untuk ikut hanyut bersama. Rasa enggan yang begitu besar nampak dari raut wajah sipendiam diri tersebut. Dibawah kerimbunan pohon-pohon bambu, ia seakan lebih tertarik oleh ajakan hembusan angin daripada ikut basah dalam kubangan air.

Rahmat, nama si pemilik raut wajah yang murung itu. Dengan sedikit sapaan, lamunan yang sedang menutupi matanya memudar dan digantikan oleh sebuah senyum yang menyempil disudut mulut yang masih kaku. Tangannya kemudian menopang dahu yang semakin berat dengan beban, antara lamunan dan senyum yang tertahan.

Anak yang baru duduk dibangku kelas 5 sebuah sekolah dasar ini, punya alasan tersendiri atas kesendiriannya. Tidak mudah memang untuk membuat senyum yang tersudut itu menjadi sebuah gelak tawa yang mempesona dari sebuah jiwa yang masih menerima cerita kehidupan dengan lapang. Memperhatikan raut wajahnya saja, kita bisa mengartikan seribu satu perasaan duka yang masih menyelimuti jiwa anak sekecil itu apalagi jika kita memandang dengan penuh perasaan turut berduka, kita pasti akan mendapatkan sebuah cermin tentang harapannya yang masih panjang.

“Itu kamera seperti yang di televisi-televisi ya, bang…?, suara agak sayup itu tiba-tiba memecah ke

Pejuang-pejuang Yang Turun Gunung..

Semua perhatian tertuju pada sesosok pemuda yang baru saja hadir ditengah-tengah desa. Perhatian yang menyiratkan perasaan yang penuh arti dari kepulangan salah seorang warga desa yang telah lama “menghilang” sejak Nanggroe Aceh Darussalam menyandang predikat sebagai daerah yang berstatus Darurat Militer.


Hari-hari belakangan ini, wajah baru itu terlihat disekitar kami. Wajah baru yang nampak tidak asing keberadaannya bagi masyarakat disalah satu desa wilayah Pidie. Selidik punya selidik, wajah baru yang kemudian dikenal dengan nama Din ini ternyata adalah salah satu dari anggota GAM yang meletakkan senjata dan kemudian pulang kekampung halamannya.

Keakraban nampak terpancar diwajahnya. Tak terlihat sama sekali atribut atau identitas miring mengenai pria ini. Identitas bahwa pria ini adalah salah satu dari cap “eks-anggota gerakan separatis”.

Senyum dan tegur sapa acap kali ia lontarkan tatkala berjumpa dengan kami. Maklum saja, keberadaan kami di desa tersebut tak lain adalah sebagai tamu yang sengaja datang untuk melihat perkembangan terakhir desa setelah dihantam gelombang dahsyat tsunami beberapa waktu lalu. Dan tak jarang pula, pemuda ini seringkali singgah dan bercakap-cakap kepada kami seperti layaknya masyarakat Aceh pada umumnya.

Dalam sebuah kesempatan, kamipun terlibat dalam sebuah percakapan yang mengarah pada cerita pengalaman pribadi sang pemuda. Cerita seputar perasaannya saat ini berada kembali di kampung halaman beserta dengan pengalaman-pengalaman yang ia rasakan ketika hati kecilnya memutuskan untuk ikut memanggul senjata, bergerilya di gunung dan belantara Serambi Mekkah.


Tiba di Kampung Halaman

Rasa syukur dia ucapkan berulang kali tatkala kami singgung mengenai kepulangannya kekampung halaman. Menurutnya, berada kembali ditengah-tengah keluarga dan lingkungan masyarakat adalah sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kerinduan yang dalam terhadap suasana kampung halaman begitu terlihat dari raut wajah pemuda ini. Karena lebih dari dua tahun lamanya ia tak bersua dengan orang tua, saudara maupun para kerabat. Terlebih lagi, ketika pilihannya jatuh untuk pergi dari kampung halaman dengan memanggul senjata, ia meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung anak pertamanya.

Keharuan pun memuncak diseisi rumahnya ketika wajah letih dan kumal itu berada dipintu masuk. Tidak satupun dari anggota keluarganya yang mengira kalau orang yang telah dianggap hilang ini kembali hadir ditengah-tengah keluarga. Tanpa kabar berita, ia tiba-tiba pulang dengan membawa sejuta kerinduan untuk orang tua, adik-adik, sang istri bahkan kepada anaknya yang kini telah tumbuh besar.

“Bapak saya menangis lama sekali. Lebih dari satu jam dia menangisi kehadiran saya dihadapannya. Dia tidak menyangka kalau saya akhirnya kembali kerumah, setelah tak kunjung kabar dari saya selama dua tahun lebih”, paparnya menjelaskan.

Melihat seluruh keluarganya tetap utuh setelah mendengar kabar tsunami menghantam kampung halamannya adalah perasaan lebih yang luar biasa ia dapatkan ketika pulang. Tak peduli kalau rumahnya kini hanya beratapkan rumbia dengan dinding-dinding kayu seadanya, melihat seluruh keluarganya berkumpul dan bisa menghabiskan waktu dengan anak istrinya adalah kegembiraan yang lain.

Dengan memutuskan pulang kekampung, sebetulnya bukan pilihan mudah yang harus ia ambil. Setelah mendengar kabar tentang perjanjian damai antara RI dan GAM di Helsinski, ia mendapat perintah dari atasannya untuk mematuhi seluruh isi kesepakatan dengan segala resikonya. Termasuk harus berpisah dengan “sang istri kedua” yang selama ini menemaninya bergerilya, yaitu sepucuk senapan jenis AK-47 yang telah dipotong-potong menjadi tiga bagian oleh anggota Aceh Monitoring Mission (AMM).

“Saya tidak punya pikiran apapun selain langsung pulang kerumah setelah melihat senjata yang menemani saya selama ini dipotong-potong. Walaupun perasaan saya sedih ketika melihat senjata itu dipotong-potong, tapi keinginan yang kuat untuk pulang kerumah tiba-tiba muncul. Pulang kerumah untuk menghapus kesedihan dan bertemu dengan keluarga saya”, terangnya lebih lanjut.


Pilihannya Bergerilya Bersama GAM

Ia tergabung kedalam pasukan GAM wilayah Tepi Raya, Pidie. Walaupun ia hanya menyandang status sebagai anggota, tapi namanya cukup dipandang didalam kelompok itu. Sebelum naik ke gunung dan bergerilya, ia pernah menyandang status sebagai komandan angkatan laut GAM ditingkat kecamatan. Karena letak dan keberadaannya di pesisir pantai, ia punya keahlian yang cukup untuk memimpin armada laut GAM. Status Darurat Militer yang terus menerus memburunya, menyebabkan jumlah anggotanya semakin sedikit karena banyak yang tewas atau ditangkap. Ia kemudian ditarik kedalam kelompok gerilyawan dan memperkuat barisan kelompok bersenjata di wilayah tersebut.

Ia menceritakan bagaimana pertama kali dirinya bergabung bersama GAM.
“Di suatu waktu ketika saya tengah berjalan di salah satu desa tetangga, saya melihat bagaimana penderitaan seorang bapak-bapak yang tengah mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan. Padahal bapak tersebut tidak tahu menahu soal keterlibatan tetangganya yang telah tewas sebelumnya akibat diterjang peluru aparat keamanan. Banyak lagi kesaksian yang saya lihat dengan mata kepala dari kekejaman perang terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa, tapi harus menanggung semua beban ini”, terangnya menegaskan.

Dari keterangannya tersebut, ia lalu menambahkan cerita tentang kondisi seorang kawan seperjuangannya yang merasakan kehilangan orang tua akibat perang. Disiksa dan dibunuh didepan mata membuatnya termotivasi untuk menuntut tanggung jawab pelaku dan membalas dendam terhadap kematian orang tuanya.

Lebih lanjut, ia menegaskan, “Tekad kami bulat pada waktu itu untuk membela daerah (Aceh,red) dan agama. Terlebih tentang membalas dendam terhadap kematian orang tua dan saudara-saudara kami, itu perjuangan yang mulia menurut kami”.

“Demi itu semua, kami pernah bergerilya dari wilayah kami (Tepi Raya, red) ke Meulaboh dengan berjalan kaki. Perjalanan yang melelahkan serta menghabiskan banyak waktu selama delapan hari adalah salah satu bagian dari tekad awal kami, karena itu bagian dan salah satu wujud dari perjuangan kami membela tanah Aceh”, imbuhnya.


Keinginan Untuk Hidup Normal Selamanya

Cerita lalu seputar perang dan pengalaman bergerilya, perlahan demi perlahan ia coba hilangkan. Rasa geram dan benci terhadap aparat keamanan, hanya ia timpali dengan sebuah perasaan positif yang menginginkan sebuah kondisi perubahan yang permanent untuk Aceh. Walaupun disatu sisi, ada beberapa hal yang tidak bisa ia lupakan dengan mudah, mengingat karakter Pemerintah RI yang selalu condong kearah diskriminatif terhadap Aceh.

“Selama TNI atau Pemerintah RI bersikap baik dan mematuhi isi dari kesepakatan damai, kamipun akan berlaku yang sama”, tegasnya.

“Perintah dari atasan kami untuk mematuhi seluruh isi dari kesepakatan damai, tetap kami pegang walaupun saat ini banyak dari teman-teman kami yang pulang kekampung halaman. Tidak ada satupun niat dari kami untuk menggagalkan kesepakatan damai tersebut. Bagi kami, menodai isi kesepakatan damai adalah sama dengan melukai lebih dalam hati saudara-saudara kami yang tengah kesusahan akibat bencana tsunami”, tegasnya lebih lanjut.

Ia banyak berharap bahwa proses perdamaian kali ini bisa seterusnya ia dan saudara-saudaranya (masyarakat Aceh, red) rasakan. Kegagalan Jeda Kemanusiaan dan CoHA beberapa waktu lalu sangat ia harapkan untuk tidak terjadi lagi. Udara bebas yang tengah ia dan teman-temannya hirup, terasa nikmat dan sangat disayangkan kalau ternyata dibatasi kesempatannya. Bagaimanapun juga, ia telah dengan sepenuh hati menyerahkan proses perdamaian ini kepada Pemerintah RI untuk bisa direalisasikan semaksimal mungkin. Keinginan sepenuh hati itulah yang ia tuangkan dalam bentuk melepaskan senjata dari genggamannya serta kepulangannya kekampung halaman. Ia sendiripun ingin melihat dan merasakan bagaimana tanah kelahiran serta saudara-saudaranya bisa mendapatkan apa yang selama ini selalu dipersengketakan, rasa keadilan dan kesejahteraan.

Dipenutup pembicaraan, ia meninggalkan pesan kepada kami dengan harapan bisa disampaikan kepada masyarakat yang lain. Status dan pengakuannya kini sebagai warga negara Republik Indonesia mutlak menjadi tanggung jawab Pemerintah RI, termasuk bagaimana nasib dan kelanjutan hidupnya dihari depan.


Kembang Tanjung, Pidie
September 2005
*Telah dipublikasikan di Aceh Loen Sayang, edisi Oktober 2005