Monday, May 01, 2006

MENAGIH JANJI DARI JAKARTA

Satu lagi cerita yang belum tuntas dibacakan oleh pemegang tampuk kekuasaan negeri ini terhadap Aceh. Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang sedianya diundangkan akhir Maret ini, harus mengalami penundaan untuk sekian waktu kedepan.

Memang bukan tanpa dasar penundaan ini terjadi, terlebih ketika bicara persoalan Aceh. Ibarat sebuah pohon, dari mulai akar sampai daun, pupuk dan perawatannya harus benar-benar diperhatikan agar kualitas pohon itu bisa terjaga. Begitu juga dengan persoalan Aceh, momentum perdamaian pasca MoU Helsinki sampai pada pembahasan RUU PA yang akhirnya tertunda, satu bagian dari proses yang harus diperhatikan untuk menjaga proses perdamaian.

Bukan tanpa sebab namun bukan juga harus membiaskan problem Aceh menjadi keluar jalur seperti yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Karena semangat yang melatar belakangi MoU Helsinki adalah semangat kedua belah pihak untuk bisa memberi dan menerima prinsip-prinsip dasar kehidupan, baik sebagai warga negara maupun secara kelompok yang mengakui keutuhan dan kedaulatan Republik ini.

Semangat kedua belah pihak tersebut juga harus mengacu pada amanat yang terumuskan dengan baik dalam MoU Helsinki. Bahwasanya, jutaan rakyat Aceh yang miskin ditengah kekayaan alam dan ratusan ribu korban tsunami, menjadi landasan penting untuk disikapi dengan arif, bijaksana dan bermartabat. Itu sudah dilakukan, dengan itikad baik dari GAM yang terus menerus menjaga komitmen perdamaian dengan rasa penuh tanggung jawab teradap masyarakat Aceh.

Lalu, bagaimana dengan pemerintah RI? Adakah jaminan pasti yang bisa membuat GAM dan masyarakat Aceh lainnya tidak berharap-harap cemas menunggu keputusan Jakarta yang penuh dengan kepentingan, serta dapat mengakomodir secara keseluruhan semangat Mou Helsinki dan semangat masyarakat Aceh untuk mendapatkan rasa keadilan yang selama ini dieksploitasi dan dianaktirikan dalam sebuah bentuk Undang-undang?

Tugas baru pemerintah Indonesia terhadap penundaan pengesahan RUU PA, mau tidak mau harus dicatat dalam daftar urutan teratas persoalan masa depan bangsa yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Dengan tidak membiaskan dan tidak memanipulir amanat MoU Helsinki serta berkaca kepada kebutuhan mendasar rakyat Aceh yang sudah sepenuhnya percaya kepada bangsa ini.

Sehingga, janji yang tertunda dan kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia, masih tetap bersinar untuk menyemangati fase-fase proses perdamaian selanjutnya. Serta sebagai bukti kepada dunia internasional, bahwa Indonesia tidak berkelakar terhadap masa depan rakyatnya dalam memenuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan.
Tomix Pribadi
*Pemimpin Redaksi Aceh Loen Sayang
Dipublikasikan di Aceh Loen Sayang edisi Maret 2006

No comments: