Tuesday, August 29, 2006

LAPORAN PERKEMBANGAN LAPANGAN

Rekonstruksi Desa Jeumeurang – Kembang TanjungAkhir Februari 2006
Pendahuluan
Sebelum saya melaporkan perkembangan terakhir yang berkenaan dengan kondisi fisik pembangunan Rekonstruksi Desa Jeumeurang, Kec. Kembang Tanjung, Pidie, ada baiknya saya kemukakan beberapa pendapat pribadi yang saya rasa sangat penting untuk dimunculkan. Pertama, ketika kunjungan beberapa kali sebelum saya dimandatkan menjadi Bendahara Program Rekonstruksi Desa Jeumeurang yang berakhir pada sebuah rekomendasi lapangan mengenai diharuskannya mengganti Bendahara Keuangan terdahulu, mental saya secara psikologis sempat ‘jatuh’ melihat program yang besar dengan uang yang sangat besar juga tetapi lemah dalam pengelolaannya (begitu juga ketika saya telah menerima surat tugas dan menjalankannya).

Kedua, segala teori dan argumentasi yang sempat saya pikirkan di Jakarta mengenai ‘idealnya’ proses yang harus dijalankan, dalam kenyataannya dilapangan ternyata bisa berubah sampai 180o dikarenakan berbagai macam factor, baik dari dalam maupun dari luar. Ketiga, jalinan komunikasi dan koordinasi antar para pihak yang terkait dalam prinsip-prinsip yang tidak transparan dan berbeda visi satu sama lain. Dan yang keempat, fungsi dan wewenang Koordinator Program yang menurut saya sudah disorientasi sehingga membuat management dan akumulasi dari keseluruhan tugas dan tanggung jawabnya menjadi tidak terarah.

Pembacaan situasi lapangan dan pengerjaan teknis yang menjadi prioritas dan berkenaan dengan ‘kemauan’ awal dalam kesepakatan, dalam frame ideal, sebenarnya sudah bisa menggambarkan apa yang dimaksud dan apa yang akan dilakukan. Periode awal pengerjaan Proyek Rekonstruksi Desa Jeumeurang, dimana TdH-NL menyertakan tim konsultan sebagai pendamping, sebetulnya sudah mewakili dan sangat representative untuk SHMI, terutama yang berada dilapangan untuk menuntaskan pekerjaan dan menjawab tanggung jawab SHMI secara keseluruhan terhadap TdH-NL dalam Program tersebut.

Saya tidak akan bisa obyektif dalam membuat laporan ini, tapi paling tidak harapan dari saya ini bukan kemudian menjadi ‘pembelaan diri’, apa yang menjadi misi awal saya selama mengemban tugas sebagai Bendahara Program bisa saya pertanggungjawabkan. Begitu juga dengan frame yang lebih besar dari misi saya terhadap Program tersebut, bahwa nama baik SHMI dari pengalaman yang buruk dibulan-bulan awal Program, setidaknya bisa diperbaiki dan dipertanggungjawabkan dihadapan funding dan masyarakat korban tsunami.

Identifikasi Permasalahan
Pada awal saya menjalankan tugas sebagai Bendahara Program, Bulan Oktober 2005, tidak ada persoalan yang serius terjadi dilapangan. Karena pada waktu itu Program Rekonstruksi sudah memasuki Tahap II akhir penyelesaian. Yang artinya, saya datang dan menjalankan tugas secara spesifik hanya menyelesaikan pembayaran honor tukang tanpa ada hal-hal lain yang berkenaan dengan itu, seperti: melakukan pembelian dan pembayaran material maupun bertemu dengan supplier.

Pada bulan berikutnya, November 2005, ketika TdH-NL menyetujui request kebutuhan dana yang SHMI ajukan, proses yang baru saya temui dalam pengerjaan teknis Program terjadi. Saya melakukan pembelian dan pembayaran, juga bertemu dengan supplier seperti yang dimandatkan dalam surat tugas saya. Mekanisme pengerjaannya pada waktu itu, secara realistis, masih banyak terdapat kekurangan. Pertama, supplier yang saya temui untuk melakukan transaksi jual beli adalah ‘orang lama’ yang kemudian saya sebut sebagai kontak Soni dari awal dalam melakukan jual beli material. Kedua, secara administrative, saya mendesak kepada Soni untuk melakukan perjanjian jual beli diantara kedua belah pihak dan sebagai tuntutan dan keharusan yang nantinya akan menjadi pembuktian dalam audit, ini tidak dilakukan pada awal proses pengerjaan dan terjadi kelambatan pada tahap dimana saya ada dan akhirnya bisa dipenuhi. Dan ketiga, sebagai pertimbangan kenapa dua hal tersebut saya sebutkan adalah bagaimana kemudian ‘sisa uang’ dalam pembayaran bisa mudah dinegosiasikan antara kedua belah pihak dalam bukti pembelian.

Sampai pada proses tersebut, pembacaan saya mengenai kondisi dilapangan seutuhnya belum bisa dikatakan saya dapat menguasai. Karena saya ‘ditaruh’ sebagai orang dan pihak yang dianggap bisa menyelesaikan persoalan terdahulu, waktu yang relative singkat membuat saya harus terus mengikuti ritme dan pola pada tahapan konsep. Fokus pada pengelolaan keuangan Program TdH-NL sebagai pembuktian akurat yang dilaporkan kepada Bagian Keuangan di Jakarta tetap jadi prioritas saya.

Ada beberapa hal yang ingin saya kemukakan berkaitan dengan aktivitas di bulan November 2005, dimana pada awal pemesanan material, hitungan barang material sisa dilapangan ada dan menjadi milik SHMI yang tidak dilaporkan (nantinya persoalan ini akan saya kemukakan pada item rekomendasi menghadapi audit). Hitungan material sisa tersebut, yang menjadi tugas dan tanggung jawab Staff Teknis dan Staff Logistik, sebetulnya lemah dalam proses penghitungan dan pertanggungjawaban. Hitungan material dengan perkiraan kasar dan manual serta berlanjut kemudian pada mekanisme pembelian material baru, tidak sepenuhnya bisa dikatakan mewakili kebutuhan secara keseluruhan dari jumlah material (penjelasan berikutnya ada pada paragraph di Bulan Januari 2006).

Pada Bulan Desember 2005, diakhir bulan tersebut, saya dan Soni akhirnya memutuskan pulang ke Jakarta. Karena pada saat-saat di bulan tersebut, kunjungan untuk kesekian kalinya dari tim Konsultan Keuangan yang dikirim TdH-NL kembali mengunjungi lapangan. Diskusi antara saya dan Konsultan Keuangan pada saat itu, tercetus beberapa rekomendasi yang keluar dan harus segera disikapi oleh tim SHMI dilapangan. Rekomendasi tersebut kemudian saya sampaikan kepada Soni untuk disikapi lebih lanjut. Rekomendasi tersebut antara lain, berkenaan dengan batas waktu yang tercantum di MoU antara TdH-NL dan SHMI, yang disebutkan disitu bahwa Program berakhir pada Bulan Desember 2005 beserta dengan RAB Baru yang dipakai dalam budget program, yang seterusnya harus secara tertulis disetujui oleh kedua belah pihak.

Otomatis, pada Bulan Januari 2006, konsentrasi untuk membuat laporan dan meminta persetujuan secara tertulis dari TdH-NL menjadi prioritas pekerjaan di Jakarta. Bagian pekerjaan tersebut menjadi tanggungjawab Soni kemudian untuk bisa merealisasikan bentuk surat persetujuan diantara kedua belah pihak. Namun, pekerjaan tersebut belum sepenuhnya selesai, e-mail dari ICCO mengenai rencana kedatangannya di Jeumeurang pada minggu kedua di Bulan Januari 2006 harus juga dijawab oleh SHMI.

Praktis, saya dan Soni akhirnya kembali kelapangan untuk menemui kedatangan tim ICCO ke Jeumeurang (laporan mengenai pertemuan tersebut sudah pernah saya sampaikan ke Bu Ade), walaupun beban laporan dan hal-hal yang bersifat administrative dari TdH-NL belum bisa terealisasi.

Datang dilapangan bukan berarti seluruh persoalan di bulan sebelumnya sudah teratasi. Selain untuk menemui kunjungan ICCO dilapangan, kendala-kendala kemudian bermunculan. Kendala paling pelik selama kurang lebih dua minggu lapangan ditinggal, material seperti batu bata menjadi persoalan utama. Sampai pada satu bulan tepatnya pembelian material, kurang dari sepertiga dari jumlah keselurahan batu bata yang dipesan (jumlah keseluruhan yang dipesan kurang lebih berjumlah 180.000 biji). Disinilah masalah kemudian timbul.

Fungsi Koordinator yang kurang pro aktif dalam menyelesaikan persoalan tersebut, membuat proses teknis pengerjaan menjadi lambat. Usaha untuk menemui dan mempertanyakan kelambatan material hanya tergantung telp dan sms. Usaha itupun mengalami kebuntuan, selain telepon seluler supplier tersebut dimatikan, ketika sms masukpun hanya dijanjikan bahkan sampai tidak dijawab.

Usaha terakhir yang dilakukan adalah mendatangi rumah supplier (dengan catatan, tetap pada kurang pro aktifnya Koordinator). Setelah itu, diadakan pertemuan di depan Alun-alun Kota Sigli, dimana supplier tersebut mengakui bahwa uang pembelian material batu bata dipakai dan diputar untuk proyek yang sedang dia jalani dan mengalami kebuntuan. Jalan terakhir, akhirnya material tersebut kembali diambil alih oleh SHMI dalam pembeliannya dan diadakan perjanjian ulang (ada surat perjanjian dan jaminan/borg dari supplier).

Kenapa akhirnya kita yang membeli dan dari mana uangnya? Saya yang merekomendasikan kepada Soni untuk mengambil kebijakan tersebut. Dengan alasan, proses fisik tidak boleh dibiarkan berlarut-larut menunggu ketidakpastian dan jalan tersebut adalah pilihan yang terbaik dari yang terburuk, itu yang ada dipikiran saya waktu itu beserta alasan tukang yang tidak bisa kerja dan honor staff yang tertunda akibat hal tersebut. Uang yang dipakai untuk membeli batu bata tersebut adalah uang pengembalian hutang Soni ke SHMI (termin kedua) sebesar Rp. 40.000.000,-. Dari jumlah keseluruhan batu bata yang akhirnya menjadi tanggungan SHMI mengalami kenaikan sebesar kurang lebih 25% dari harga pembelian ke supplier pertama kali. Uang senilai Rp. 40.000.000,- tersebut adalah harga asli dari seluruh batu bata yang dipesan pertama kali dengan jumlah kurang lebih 180.000 biji. Karena kebutuhan batu bata sedang dibutuhkan, pabrik batu bata kemudian menaikkan harganya menjadi Rp. 500,-/biji. Sehingga total keseluruhan uang yang harus SHMI keluarkan berjumlah kurang lebih Rp. 53.000.000,-. (dijelaskan pada paragraph yang mempertanyakan darimana sisa uangnya?)

Kendala batu bata bisa diatasi, namun masalah baru muncul. Dalam pembangunan fisik perumahan, satu material akan berkait dengan material yang lain. Batu bata sudah berada dilapangan dan semen dibutuhkan. Namun kenyataannya, semen menjadi masalah yang tidak kalah seriusnya dari persoalan batu bata. Pola Soni yang membelikan dan membelanjakan material secara keseluruhan (tidak pertahap) dari awal pembangunan, menyebabkan kerumitan dalam prosesnya kemudian dan ditambah dengan tidak adanya ikatan atau perjanjian jual beli.

Kebutuhan semen memang telah dipesan jauh sebelum saya berada dilapangan. Yang saya tahu, pada tahap akhir ini, jumlah semen sebanyak 750 sak tidak jelas keberadaannya. Dikarenakan, mekanisme pembelian pada saat itu melalui calo. Sehingga, sampai saat ini, proses pemasukkan semen kedalam gudang dan lapangan (dengan jumlah tersebut dan yang berasal dari calo) tidak teratasi – penglihatan saya ketika berada dilapangan pada tanggal 27 Februari – 2 Maret 2006 ketika menghadiri pertemuan dengan tim audit TdH-NL.

Resolusi Identifikasi Persoalan
Sebetulnya, kendala-kendala tersebut bisa diatasi oleh lapangan. Tanpa harus meminjam kembali uang yang telah ada di kas SHMI Jakarta dan tanpa harus terlalu berlarut-larut dalam segi waktu persoalannya.

Soal Batu Bata, uang pinjaman dari SHMI berjumlah Rp. 40.000.000,-, sedangkan pembayaran batu bata berjumlah Rp. 53.000.000,-, darimana sisa uangnya?
Seperti saya jelaskan dipembuka, bahwa kondisi lapangan berbeda jauh dengan kondisi ideal di Jakarta. “Uang Saving” bukan hanya ada di Jakarta, tetapi juga ada dilapangan. Secara spesifik saya jelaskan bahwa dalam setiap kali pembelian dan pembayaran (dengan pertimbangan negosiasi penjual dan pembeli terhadap pembuktian yang saya jelaskan diatas), terdapat “Uang Sisa” sebanyak kurang lebih Rp. 60.000.000,- dalam setiap kali transaksi. Selama dua kali request, setidaknya ada 2 kali pembelian dan pembayaran serta “Uang Sisa”.

Dari “Uang Sisa” tersebut, sebanyak Rp. 40.000.000,- diserahkan ke SHMI sebagai bentuk pengembalian hutang Soni dan sudah dilakukan juga sebanyak 2 termin. Sisa dari uang tersebut, ada ditangan Soni dengan dimasukkan kedalam rekening tabungan BRI cabang Sigli atas nama M. Soni Qodri.

Selengkapnya, sebagai bagian dari rasa tanggungjawab lapangan dalam menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan, “Uang Sisa” tersebut pada awalnya menjadi kesepakatan bersama untuk dipergunakan menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Dalam artian, pengkondisian hal tersebut telah disepakati diawal. Dengan asumsi, lapangan bisa menjawab kendala-kendala yang terjadi. Namun sayangnya, identifikasi, kesepakatan, proses dan pencapaiannya tidak seideal gambaran semula. Persoalan yang kemudian terjadi lebih dikarenakan pada persoalan pribadi yang menyebabkan seluruh rencana berantakan dalam segi teknis.

Peran Bendahara Program
Dalam hal tersebut, saya sebagai Bendahara Program hanya terbatas dan terorientasi pada persoalan laporan keuangan yang jelas sesuai budget, rapi dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan “Uang Sisa”, saya hanya bisa mengusahakan dari setiap “Uang Sisa” yang didapat pada setiap termin untuk pengembalian hutang (pemenuhan tanggungjawab Soni terhadap hutang-hutangnya yang harus dia penuhi ke SHMI). Selebihnya, dengan berbagai macam pertimbangan, “Uang Sisa” setelah pembayaran pencicilan hutang diambil alih Soni dan memang tidak ada niat dari saya untuk memegangnya.

Menghadapi Audit
Satu persoalan yang sebetulnya juga harus dipikirkan ekstra oleh pihak-pihak yang terkait. Ini berhubungan dengan data-data secara administrative dalam program ini.

Yang paling penting untuk diantisipasi dalam menghadapi audit pada minggu ke III Maret 2006 nanti adalah, bagaimana kelengkapan data-data administrative sejak awal bisa cocok antara jumlah pembelian material yang sudah dibeli, kebutuhan awal sampai laporan pertanggungjawaban dari segi logistik (pemakaian, pengeluaran dan barang-barang material sisa). Kalaupun ada barang-barang material sisa atau perlu tambahan karena jumlahnya kurang atau meleset dari perhitungan, harus disertai pembuktian melalui mekanisme berita acara dengan lampiran-lampiran pendukungnya.

Begitupun dari sisi keuangan, mulai dari awal pengerjaan program, beberapa hal-hal yang bersifat administrative sangat diperlukan. Penglihatan saya selama ini, harapan untuk bisa menjawab audit nanti jauh dari ideal. Terlebih dengan proses atau pola yang telah dilakukan sebelum saya mengemban amanat Bendahara Program.

Rekomendasi
Dari paparan saya, ada beberapa hal yang sebetulnya menjadi sangat perlu untuk disikapi dan ditindak lanjuti. Pertama, mengembalikan orientasi Koordinator Program pada program yang tengah menjadi tanggungjawabnya. Paling tidak, untuk bersikap tegas dan focus pada apa yang akan dia hadapi dan SHMI tentunya. Kedua, Surat Perpanjangan Kontrak Kerja untuk semua pihak-pihak yang terkait dalam menjawab tantangan dan permasalahan kedepan yang berkaitan dengan program ini. Dan yang ketiga, supervisi serta time frame dalam menghadapi sisa waktu yang TdH-NL berikan dalam menyelesaikan program Rekonstruksi paling lambat akhir Maret 2006 ini.

Penutup
Demikian laporan perkembangan lapangan yang saya buat. Jika terdapat hal-hal yang kemudian menimbulkan tanda tanya, jalan diskusi akan menjadi sangat efektif. Sebagai bagian dari rasa penuh tanggungjawab dan sebagai komitmen saya terhadap nama baik SHMI.


Jakarta, 4 Maret 2006
Yang Membuat Laporan,



Tomix Pribadi
Bendahara Lapangan

Saturday, August 12, 2006

Yang Marah Di Aceh

MASJID adalah nama sebuah kampung di Aceh terletak di pinggir pantai. Wartawan The New York Times Jane Perlez mengunjungi desa itu, lalu melaporkan dalam korannya keadaan Masjid sesudah 19 bulan terjadinya tsunami. Rumah-rumah yang dibangun di sana oleh badan bantuan Save the Children (Selamatkan Kanak-kanak) terbukti tidak bisa di diami. Beberapa rumah di bangun dalam waktu tiga hari, kata penduduk. Pondasi gedung sekolah tetap tersia-siakan, ditanami oleh rerumputan.
"Penduduk marah. Para pekerja pemberi bantuan mengumber janji-janji, tetapi tidak berwujud kenyataan" ujar Innu Barkar, kepala desa sembari berjalan seputar rumah-rumah kosong tidak terhuni. Kehidupan di Aceh pasca tsunami bulan Desember 2004 telah jadi agak normal. Sebagian besar kanak-kanak bersekolah lagi. Jalanan dibangun lagi. Pasar-pasar terbuka penuh dengan produk hasil lokal. Pekerjaan tidak terlalu sulit mencarinya. Dan bahkan persetujuan damai antara pemerintah pusat dengan GAM tetap bertahan utuh.
Hampir tiap orang telah dipindahkan dari tenda-tenda berlumpur, kendati banyak keluarga masih mendiami bedeng-bedeng yang bobrok. Tetapi di bawah permukaan aktivitas terdapat suatu selubung ketidakpuasan terhadap badan-badan bantuan internasional. Suatu perasaan bahwa janji-janji muluk yang didukung oleh sumbangan-sumbangan yang tiada taranya, baik besar maupun kecil dari seputar dunia masih akan harus dipenuhi.
Bagi banyak orang jumlah 8,5 miliar dolar AS yang dikatakan oleh badan-badan kemanusiaan, pemerintah-pemerintah asing dan Indonesia akan dibelanjakan bagi pembangunan kembali Aceh tampaknya bagaikan suatu khayalan belaka. Dalam beberapa hal mereka benar. Sampai sekarang, Bank Dunia mengatakan hanya 1,5 miliar dolar AS dari 8,5 miliar dolar yang disumbangkan kepada malapetaka telah dikeluarkan.
Lebih daripada itu, banyak dari jumlah yang telah dikeluarkan tidaklah dibelanjakan dengan baik. Sebuah kritik pedas diterbitkan tanggal 14 Juli oleh Koalisi Evaluasi Tsunami, termasuk para ahli dari pemerintah-pemerintah Barat, PBB dan badan-badan bantuan internasional, dan didukung oleh mantan Presiden Bill Clinton telah membuat jelas bahwa penduduk desa-desa Aceh tidak hanya menggerutu. Banyak dari ratusan badan bantuan yang mengalir ke Aceh pasca tsunami telah memperlihatkan "kesombongan dan ketidaktahuan" dan seringkali punya staf-staf terdiri dari "pekerja-pekerja tidak becus (inkompeten)" yang datang dan pergi dengan cepat, kata laporan tersebut.
Meskipun bermilyar-milyar dolar berupa sumbangan (donations) yang berarti jumlah rekor 7100 dolar AS untuk setiap orang yang terkena (tsunami), berbanding dengan 3 dolar bagi setiap orang yang selamat dari banjir di Bangladesh tahun 2004, penduduk Aceh tidaklah melihat buah hasil kedermawanan itu, kata laporan tadi.
Penilaian yang dicatat oleh Bill Clinton dalam kata pengantar laporan mengandung "bacaan yang tidak enak", mengecam badan-badan bantuan karena memberikan lebih banyak perhatian kepada mengiklankan "brands" atau merek-merek mereka dan menerbitkan laporan-laporan yang memuji-muji diri sendiri ketimbang memberikan pertanggunganjawab atas pengeluaran-pengeluaran mereka.
Badan-badan bantuan internasional telah bertindak relatif bagus selama tiga bulan pertama sesudah tsunami, tatkala mereka menyerahkan bahan makanan dan air, dan menjauhkan penyakit-penyakit. Akan tetapi banyak dari sukses itu untuk sebagian besar adalah berkat organisasi-organisasi lokal, kata laporan. Bagi rekonstruksi jangka panjang, laporan mengatakan bahwa kekurangan keahlian (expertise) oleh badan-badan bantuan telah mengakibatkan "hasil-hasil brengsek".
Pembangunan rumah sesungguhnya adalah sumber utama keluh-kesah atau komplain. Di beberapa daerah kumpulan-kumpulan perumahan baru, dengan atap sengnya berkilauan di matahari tropis, telah bertumbuh subur di lanskap yang gersang. Di daerah-daerah lain, baris demi baris bedeng-bedeng bobrok yang membengkak dengan keluarga-keluarga bertumpukan dalam ruangan-ruangan kecil merupakan saksi dari lambannya pembangunan rumah baru keluarga. Secara keseluruhan kira-kira 25.000 rumah baru yang dibangun oleh jenis luas badan-badan bantuan telah diselesaikan dari jumlah 120.000 rumah yang diproyeksikan diperlukan adanya, demikian menurut badan PBB Habitat.
Banyak alasan mengapa harapan-harapan tidak terpenuhi, ujar Kuntoro Mangkusubroto, ketua badan rehabilitasi dan rekonstruksi Indonesia. Punya banyak uang dari sumbangan publik sebagaimana belum pernah dialami sebelumnya, badan-badan bantuan merasa dipaksa maju terus membangun rumah-rumah, sekalipun mereka kekurangan pengalaman. "Mereka bilang, Mari kita bangun". Mereka tidak bicara mengenai kontrak-kontrak, tidak ada perjanjian-perjanjian dengan para kontraktor. "Soalnya ialah bangun rumah, boom, boom, boom" ujar Kuntoro. Dia telah memberi peringatan kepada badan-badan bantuan. "Saya terus bilang kepada mereka bahwa jenis orang-orang yang mereka punya, cara mereka mengelola, harus berubah. Diperlukan waktu hingga akhir Desember yang lalu meyakinkan mereka untuk berubah" kata Kuntoro.
Kolom Rosihan Anwar
WASPADA online
07 Aug 06 16:25 WIB