Friday, December 15, 2006

Jugun Ianfu: Sejarah Perbudakan Seksual Jaman Jepang

Jugun Ianfu atau disebut juga budak seks dalam masa Jepang, kembali diangkat ke permukaan. Dalam putaran pertama kampanye tanggal 10 Nopember 2006 diadakan pemutaran film dan diskusi bertema “Jugun Ianfu: Sejarah Perbudakan Seksual Jaman Jepang Yang Terlupakan”. Jaringan advokasi Jugun Ianfu Indonesia terdiri dari berbagai lembaga non pemerintah seperti Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi, Komnas HAM, dan Lembaga Bantuan Hukum, memulai kampanye advokasi mengangkat masalah ini.

Radio Nederland berbincang-bincang dengan koordinator Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Dyah Bintarini, ibu Mardiyem salah seorang eks Jugun Ianfu dan Budi Hartono dari LBH Jogyakarta. Berikut rangkuman perbincangan tersebut.

Perempuan Menjadi Budak Seks
Dalam perang dunia ke II, sekitar 200.000 perempuan Asia dipaksa menjadi budak seks tentara kerajaan Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadunya. Pada Desember tahun 2001 di Den Haag Negeri Belanda, Peradilan Internasional, ICC, memutuskan agar pemerintah Jepang meminta maaf dan memberi ganti rugi kepada para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks semasa perang dunia II. Tribunal Internasional Kejahatan Perang Terhadap Perempuan juga menyatakan bahwa Kaisar Jepang Hirohito dan pejabat-pejabat senior Jepang lainnya pada waktu itu bersalah melakukan kejahatan perang.

Pahlawan
Peradilan yang didirikan oleh koalisi kelompok-kelompok perempuan dan aktivis HAM ini merupakan lanjutan peradilan di Tokyo satu tahun sebelumnya, di mana pada waktu itu didengar kesaksian-kesaksian dari para eks Jugun Ianfu. Tetapi keputusan tribunal tidaklah mengikat, dan lebih bersifat seruan moral belaka. Saat ini, lima tahun sudah berlalu tapi belum tampak kemajuan yang berarti. Menurut Dyah Bintarini, generasi muda tidak mengetahui sejarah Jugun Ianfu. Karena itulah sejarah Jugun Ianfu tersebut harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia. Para perempuan eks Jugun Ianfu tidak layak disebut perempuan bernasib sial ataupun pembawa aib. Tetapi patut disebut sebagai pahlawan.

Memperjuangkan Hak
Para perempuan eks Jugun Ianfu saat ini telah memasuki usia senja. Bahkan banyak yang telah tutup usia. Ibu Mardiyem yang diberi nama Momoye oleh tentara Jepang, walaupun sudah memasuki usia senja masih gigih memperjuangkan hak-hak para eks Jugun Ianfu. Ibu Mardiyem: "Sebetulnya saya tahun 1959 itu sudah mulai berontak, ya. Tapi pada siapa saya ini mencari keadilan mau ngadu pada siapa? Saya nggak pernah nganggur untuk kesibukan supaya nggak terlalu ingat masa lalu. Setelah 1993 ada pengacara Jepang di Jakarta, 13 orang mendaftar. Belum ada reaksi dari pemerintah. Setelah ada pengumuman saya baca, langsung ke LBH. LBH saja belum siap. Jadi yang pertama ke LBH itu saya".

Pengakuan dan Permintaan Maaf
Sejumlah LSM perempuan di Jepang yang bersimpati pada perjuangan eks Jugun Ianfu mengundang ibu Mardiyem ke Jepang bahkan ke negara-negara asing lainnya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada masa lalu. Yang terpenting bagi ibu Mardiyem dan para perempuan eks Jugun Ianfu bukan saja masalah ganti rugi, tetapi yang terutama adalah pengakuan salah dan permintaan maaf.
Di Tokyo Jepang, tempat dilaksanakan Peradilan Rakyat Internasional yang mayoritas terdiri dari perempuan, para perempuan eks Jugun Ianfu berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Saya sangking terharunya sampai mencucurkan air mata demikian ibu Mardiyem. "Saya sebelumnya sudah siap mental pokoknya saya kalau ada peluang, saya tetap berjuang terus. Di pundak saya beban berat sekali. Bukan untuk saya sendiri atau kelompok saya sendiri. Yah, Indonesialah". Tutur ibu Mardiyem. Beserta para eks Jugun Ianfu, ibu Mardiyem tidak saja menghadapi lembaga formal seperti pemerintah Jepang dan Indonesia dalam menuntut keadilan dan pengakuan, tapi mereka juga harus menghadapi tatapan sinis, sindiran, dan perlakuan masyarakat yang menghakimi.
Masalah Moral

Dalam keputusan Peradilan Rakyat Internasional antara lain diputuskan mengenai masalah moral, yaitu Kaisar Hirohito dinyatakan bersalah dalam kejahatan seks perang dunia ke II dan harus melakukan permintaan maaf kepada para korban demikian Bpk. Budi Hartono. Tetapi keputusan tersebut tidak mengikat. Bagaimana tentang kemungkinan pembentukan tribunal internasional seperti Tribunal Yugoslavia atau Rwanda?

"Tadinya kita mau mengarah ke sana tapi ada hambatan karena ada batas-batas dalam Peradilan Internasional yaitu harus ada ikut sertanya, dalam hal ini adalah negara. Sementara negara Indonesia sendiri tidak perduli sama sekali terhadap korban kejahatan seks ini. Justru pemerintah Indonesia ini cenderung sangat ketakutan terhadap pemerintah Jepang, karena dikaitkan dengan bantuan yang masuk di Indonesia". Demikian bpk. Budi Hartono dari LBH Jogyakarta.

Sumber:
www.ranesi.nl /Juliani Wahjana dan Nina Nanlohy

No comments: