Tuesday, October 26, 2010

“Value” Merupakan Bagian Terpenting Dari Pelaksanaan Praktik Good Corporate Governance (GCG)


“Nilai etik harus dilakukan dengan kerelaan maksimal, sedangkan untuk hukum dan peraturan harus dilakukan dengan kepatuhan minimal”, terang Anugerah Pekerti melalui paparannya pada diskusi panel yang diselenggarakan oleh LPPI dalam rangkaian acara Sekolah Staff dan Pimpinan Bank (SESPIBANK), Senin, 25 Oktober 2010.

Lebih lanjut, Komisaris Independen PT. Samudera Indonesia dan PT. United Tractors Tbk ini menguraikan beberapa pokok pikirannya yang menyangkut tentang pelaksanaan Good Corporate Governance di Indonesia. Menurutnya, Tata Kelola Yang Baik akan menentukan reputasi sebuah perusahaan dimata masyarakat.

“Hukuman dari pasar akan sangat kejam jika sebuah perusahaan tidak mengamalkan prinsip-prinsip dasar Tata Kelola Yang Baik”, imbuhnya. Dia mencontohkan kejadian di tahun 2009 yang lalu, dimana sebuah perusahaan otomotif terkemuka dari Jepang menjadi sebuah perusahaan terbaik didunia dan ditahun kemudian berbalik menjadi perusahaan yang harus menarik berjuta-juta produksi kendaraannya karena sebuah hal yang sepele dan yang tidak disangka-sangka oleh perusahaan tersebut.

Diskusi panel yang terselenggara sebagai bagian dari pendalaman materi bagi para peserta pendidikan program SESPIBANK LPPI juga dimaksudkan sebagai referensi para peserta yang nantinya berperan menjalankan perusahaan. Selain menghadirkan Anugerah Pekerti, diskusi panel tersebut juga menghadirkan Mantan Kepala BPKP Soedarjono dan Direktur Kepatuhan Bank Danamon Fransiska Oei.

Senada dengan Anugerah Pekerti, Soedarjono dan Fransiska Oei menekankan pentingnya Good Corporate Governance untuk diaplikasikan pada industri perbankan dengan sebaik-baiknya. Terlebih, bisnis perbankan merupakan bisnis yang lebih disandarkan pada rasa kepercayaan, terang para pembicara lebih lanjut.

Materi diskusi panel tersebut diberikan dengan didasari pada krisis perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang bukan sebagai akibat dari merosotnya nilai tukar rupiah, melainkan karena belum berjalannya praktek Good Corporate Governance di kalangan perbankan. Terjadinya pelanggaran batas maksimum pemberian kredit, rendahnya praktek manajemen risiko, tidak adanya transparansi terhadap informasi keuangan kepada nasabah, dan adanya dominasi para pemegang saham dalam mengatur operasional perbankan menyebabkan rapuhnya industri perbankan nasional. Juga terdapat pada contoh kasus kehancuran Enron akibat skandal akuntansi pada 2001 yang semakin menyadarkan kalangan pengusaha tentang pentingnya Good Corporate Governance dalam mencegah kegagalan perusahaan.

Mulai saat itulah Tata Kelola Yang Baik (Good Corporate Governance) mengemuka. Dengan melaksanakan konsep GCG, diharapkan tercipta citra lembaga yang dapat dipercaya. Artinya ada keyakinan bahwa bisnis perbankan dikelola dengan baik sehingga dapat tumbuh secara sehat, kuat dan efisien.

Sebagai sebuah lembaga perbankan yang dipercaya oleh Pemerintah dalam mengelola dana masyarakat, Manajemen sadar bahwa kepercayaan publik disamping tergantung pada kinerja dan kemampuan Bank dalam mengelola risiko, juga diperlukan adanya sikap profesionalisme, independensi, integritas dari para pengurus serta transparansi atas informasi yang berkaitan dengan kondisi keuangan maupun non keuangan kepada Publik, namun dengan tidak sama sekali mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan Bank sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.

Perwujudan dari pemikiran tersebut hanya dapat dilaksanakan apabila Bank dalam melakukan aktivitasnya senantiasa menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang meliputi lima prinsip dasar. Pertama, transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bank Indonesia sendiri melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/12/DPNP tentang Perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum mewajibkan Bank Umum yang ada di lndonesia untuk melaksanakan praktek Good Corporate Governance terutama dalam penerapan Prinsip Transparansi dalam pengelolaan bank untuk mencegah terulangnya kembali kejadian masa lampau.

Baik Anugerah Pekerti, Soedarjono maupun Fransiska Oei sepakat bahwa penerapan Good Corporate Governance harus berbasiskan “value” atau nilai yang terdapat pada pribadi masing-masing dan harus ditularkan kepada perusahaannya dalam menjaga kepercayaan masyarakat dan demi terhindarnya dari hukuman pasar, dibarengi dengan moral dan etika serta perangkat hukum yang memadai.

Thursday, October 14, 2010

Kalangan Perbankan Dalam Peluang Ekonomi Indonesia dan Wilayah

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lainnya. Pemahaman mengenai pertumbuhan ekonomi wilayah tentunya akan menentukan arah dan kebijakan tentang perencanaan pembangunan ekonomi daerah tersebut. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan ekonomi daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial serta fisik daerah itu sendiri.

Melengkapi wacana tersebut diatas, dalam makalah yang berjudul “Ekonomi Wilayah Dan Pemahaman Lingkungan Bisnis Wilayah” yang disampaikan oleh Prof. Dr. Hj. Rina Indiastuti, S.E, M.SIE Pengamat Ekonomi dari Univesitas Padjajaran, dalam rangkaian acara Sekolah Staff dan Pimpinan Bank (SESPIBANK) di Kampus LPPI (12/10/2010) disebutkan bahwa beberapa indikator tentang ekonomi wilayah terdiri dari kinerja ekonomi yang meliputi kinerja ekonomi dalam kaitannya tentang kinerja pergerakan barang/jasa dan orang. Indikator mengenai kegiatan, ukuran dan struktur ekonomi, kemudian stabilitas ekonomi serta kebijakan dan regulasi.

Untuk mencapai hal tersebut, seperti dijelaskan dalam makalah, diperlukan analisa yang mendalam mengenai potensi ekonomi wilayah dengan beberapa kategori yang mencakup seputar pertanyaan tentang subwilayah yang akan menjadi pengungkit kinerja ekonomi wilayah, subsektor atau industri yang menjadi pengungkit kinerja ekonomi wilayah, interaksi antar subwilayah dalam penyediaan faktor produksi mengenai distribusi output dan perdagangan, serta sebaran kegiatan ekonominya.

Uraian lebih lanjut mengenai faktor-faktor penunjang terhadap peluang ekonomi Indonesia dan wilayah adalah konteks tidak lepasnya kondisi perekonomian global yang cenderung membaik dan sangat berdampak positif terhadap gairah serta kinerja perekonomian daerah. Faktor pendukung terhadap peluang lainnya juga terdapat di tahun 2010 ini, dimana era perdagangan bebas negara ASEAN – China telah dimulai dan juga ASEAN Economic Community pada tahun 2015 mendatang.

Yang tidak kalah penting dari faktor-faktor tersebut terdapat di agenda pemerintah bersama swasta/masyarakat yang meliputi persiapan SDM yang bermutu, pembangunan infrastruktur, memperkuat kelembagaan, memerankan lembaga keuangan dan pasar uang serta mengembangkan IPTEK.

Dalam kesempatan yang sama, Program Director SESPIBANK LPPI Djoko Sarwono menambahkan tentang pentingnya penekanan akan stimulus sektor riil terhadap UKM di daerah-daerah. Menurutnya, ekonomi wilayah akan tambah bergairah jika para investor mau menggandeng pengusaha-pengusaha yang ada di daerah untuk terus menciptakan barang-barang produksi.

Dicontohkan oleh Djoko Sarwono, sebagai sebuah referensi, ketika ia mengunjungi sebuah daerah di Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, dimana daerah tersebut menjadi sentra kerajinan tangan dalam bentuk sandal. Melalui sebuah proses tanya jawab kepada para pengrajin, pada dasarnya kebutuhan ekspor terhadap hasil dari kerajinan tangan tersebut dalam setiap bulannya mengalami peningkatan pesanan. Satu dan lain hal, para pengrajin terpaksa mengabaikan permintaan pasar akibat kekurangan modal untuk membeli sebuah alat produksi yang memudahkan pengrajin untuk berproduksi lebih banyak lagi. Melalui survey karakter ekonomi, sosial dan pasar daerah tersebut, para pengrajin akhirnya mendapat kemudahan dari bank lokal untuk mendapatkan pinjaman membeli alat produksi. Alhasil, kebutuhan pasar terhadap permintaan produksi terpenuhi dan daerah tersebut secara mandiri dapat menjawab peningkatan ekonomi wilayah.

Seperti kita ketahui, tulang punggung perekonomian Indonesia lebih banyak berada pada sektor industri dimana pertanian, perdagangan dan sektor riil menjadi primadona yang membanggakan bagi Indonesia dalam meningkatkan perekonomian. Menurut data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, pada Triwulan II – 2010 kinerja perekonomian daerah menguatkan indikasi meningkatnya perekonomian nasional terutama didorong oleh membaiknya investasi yang dipicu oleh masih tingginya permintaan domestik dan ekspor.

Dalam rangka penguatan peran sektor UMKM dalam perekonomian nasional, Bank Indonesia telah menggulirkan program Pilot Project Klaster UMKM dan Tim Fasilitasi Percepatan Pembangunan Ekonomi Daerah (TFPPED) sejak beberapa tahun lalu. Program ini mengacu pada penelitian komoditi/sektor ekonomi unggulan daerah (Baseline Economic Survey) dan bertujuan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan sehingga perbankan lebih berani melakukan pembiayaan kepada sektor UMKM yang prospektif.

Data Bank Indonesia tentang UMKM yang tersebar diseluruh penjuru tanah air menunjukkan angka yang signifikan untuk ditindak lanjuti oleh kalangan perbankan. Secara akumulatif, data tersebut menunjukkan angka 5.232 jumlah responden survey dalam kategori profil usaha mikro, kecil dan menengah yang potensial dibiayai oleh perbankan yang tersebar kedalam beberapa jenis usaha.

Menjawab kebutuhan akan dana investasi terhadap para pengusaha-pengusaha daerah yang kekurangan modal melalui fasilitas kredit dan korelasinya dengan dunia perbankan, peluang untuk bersinergi menjadi sangat memungkinkan kedua belah pihak mencapai kerjasama. Kalangan perbankan mempunyai sumber dana, para pengusaha mempunyai peran dalam segi produktivitas. Kedua sisi tersebut, dalam konteks melihat peluang dan memajukan pendapatan daerah, menjadi prospek kedepan untuk lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.

Wednesday, October 06, 2010

BI Rate Bertahan Pada Posisi 6,5 %


Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 5 Oktober 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada tingkat 6,50%. Melalui surat edaran bernomor No. 12/43/PSHM/Humas yang ditanda tangani oleh Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Dyah N.K. Makhijani itu tercantum beberapa alasan mengenai penetapan tingkat suku bunga tersebut.

Alasan yang mendasari keputusan penetapan tingkat suku bunga tersebut meliputi pandangan Dewan Gubernur BI tentang proses pemulihan ekonomi global yang masih terus berlangsung walaupun diwarnai kekhawatiran perlambatan pada beberapa negara utama. Pandangan lainnya, pada sisi domestik pertumbuhan ekonomi sampai dengan triwulan III-2010 tumbuh cukup tinggi terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor, dari sisi harga yang tercatat mengenai tekanan inflasi IHK pada bulan September 2010 masih bersumber pada volatile foods, stabilitas sistem perbankan yang tetap terjaga disertai dengan terus meningkatnya pertumbuhan kredit serta keyakinan terhadap perkembangan ekonomi global dan domestik yang diperkirakan akan terus membaik kedepannya.

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution melalui keterangannya di Gedung BI, Jakarta, seperti dikutip detik.com, mengatakan bahwa dengan resiko inflasi yang tinggi, pemerintah dan BI terus melakukan usaha agar laju inflasi tetap mencapai target 5 plus minus 1%. "Ini jadi pertimbangan BI menahan BI Rate," tukasnya.

Senada dengan hal tersebut, Pengamat Pasar Uang dan Dirut PT. Finan Corpindo Nusa Edwin Sinaga, seperti diberitakan Antaranews.com, Senin, 6 September 2010 di Jakarta mengatakan bahwa bertahannya suku bunga BI Rate selama 14 kali berturut-turut memicu pelaku pasar khususnya asing lebih aktif bermain di pasar saham dan uang.

"Pasar saham diserbu pelaku pasar yang membeli saham-saham unggulan dan lapis dua sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) naik tajam melewati angka batas 3.200 poin," katanya menjelaskan.

IHSG sebelumnya tercatat mengalami keterpurukan hingga berada dibawah angka 3.100 poin. Akibat sentimen positif dari pasar eksternal (dengan data terbaru ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan) ditambah para pelaku pasar yang merespon dengan melakukan investasi karena melihat peluang yang makin besar, IHSG kemudian kembali menunjukkan penguatannya.

Disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam catatannya menyebutkan bahwa pada bulan September 2010 inflasi tercatat sebesar 0,44%. Industri sandang dan pakaian menyumbang inflasi terbesar, sebanyak 1,08%. Setelah itu diikuti oleh makanan 0,44%, minuman dan rokok 0,52%, perumahan air dan listrik 0,25%, kesehatan 0,23%, pendidikan 0,26%, serta transportasi dan komunikasi 0,57%. Sehingga inflasi tahun kalender Januari-September 2010 mencapai 5,28%, sementara inflasi year on year (yoy) 5,8%.


Diolah dari berbagai sumber