Tuesday, December 06, 2011

LPPI – AIF Gelar Asian Finance Forum 2011

Krisis keuangan global yang terjadi saat ini sangat terkait erat dengan kondisi perekonomian Amerika yang memburuk. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius. Goncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Gejolak perekonomian yang terjadi di Amerika Serikat telah mempengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan. Keterbukaan ekonomi antar negara, memungkinkan terjadinya resesi di suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya.

Eropa yang notabene kawasan dengan kondisi perekonomian yang cukup stabilpun tak pelak menerima dampak dari krisis perekonomian yang melanda Amerika. Begitu juga dengan kawasan Asia yang perlahan-lahan mulai dihantui oleh krisis global sepanjang tahun 2011 ini. Namun Asia masih berdiri dan tetap kuat dalam menghadapi ancaman badai krisis global yang menghantui perekonomian dunia.

Banyak hal yang signifikan telah terjadi di Asia, termasuk KTT ASEAN ke-19 di Bali baru-baru ini. Dunia telah melihat Asia sebagai sebuah kawasan yang terbukti cukup tangguh dalam menghadapi krisis global dan peran negara-negara Asia menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ini dibuktikan dengan kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang hadir sebagai tamu kehormatan pada KTT para pemimpin ASEAN tersebut.

KTT tersebut lebih jauh menyatakan bahwa Komunitas Ekonomi ASEAN akan menjadi tujuan integrasi ekonomi regional pada tahun 2020. Komunitas Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) akan membentuk negara-negara di kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Sehingga, negara-negara di kawasan ASEAN dapat lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme yang baru untuk mengukur dan memperkuat inisiatif mempercepat integrasi ekonomi regional.

“Sekarang ini industri keuangan global telah menunjukkan tahun transisi dimana ekonomi global mencapai titik perubahan menuju perbaikan. Sekarang ini sangat penting untuk lembaga keuangan memperbaiki efisiensi dan menjadi kokoh dalam memahami kesempatan yang timbul”, papar Direktur Utama LPPI Subarjo Joyosumarto saat memberikan kata sambutan di Asian Finance Forum 2011 dengan tema Asia’s Growth and Innovation In The New Financial Order, Kamis (24/11) lalu.

Acara yang diselenggarakan hasil kerjasama antara Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dan Asian Institute of Finance (AIF) Malaysia selama 2 hari ini mengambil tempat di Laguna Resort & Spa, Nusa Dua – Bali dan dihadiri oleh para pejabat bank dan lembaga keuangan dari beberapa negara di kawasan ASEAN, seperti: Singapura, Filipina, Brunei Darussalam dan Bhutan.

Turut hadir dalam pembukaan forum tersebut Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah dan Senior Director of the Asian Institute of Finance Malaysia Dr. Amat Taap Manshor yang memberikan kata sambutan secara bergantian.

Memasuki sesi diskusi, pembicara pertama Rajiv Biwas seorang Kepala Ekonom IHS Global Insight Asia mengatakan kepada para peserta bahwa ekonomi ASEAN memiliki tugas yang sangat penting sekali untuk menyediakan cadangan pembiayaan perdagangan lintas perbatasan disaat Bank Eropa mulai memangkas jalur perdagangan.

“Kita bisa melihat krisis terjadi setiap hari. Ekonomi-ekonomi negara berkembang di Asia Pasifik sudah mulai terpukul,” terang Rajiv Biwas di Forum tersebut seperti dikutip dari The Malaysian Reserve, Jum’at (25/11).

Paparan ini tertuang dalam diskusi sesi pertama yang mengangkat tema Sustaining Asia’s Growth in the New Financial Order. Selain menghadirkan Rajiv Biwas sebagai pembicara, Dato’ Ooi Sang Kuang (Chairman, CAGAMAS Berhad & Special Advisor to Bank Negara Malaysia) juga menjadi pembicara pada sesi ini dengan dimoderatori oleh Prof Dr Adrianus Mooy (LPPI's Honourable Faculty Member).

Sesi kedua pada forum ini mengangkat tema Asia’s Role in the new Global Financial Architecture dengan menghadirkan pembicara, antara lain: Dr. Suhaedi (Deputy Director Banking Regulation of Bank Indonesia), Dato’ Dr Nik Ramlah Mahmood (Managing Director, Securities Commission- Malaysia) dan Ito Warsito (President Director, Indonesia Stock Exchange) dengan dimoderatori oleh Dr Humayon Dar, (Managing Director & CEO of BMB Islamic Advisory Ltd, and Chairman of Edbiz Consulting Limited, UK).

Memasuki sesi ketiga di forum ini, diskusi roundtable dengan mengangkat tema Innovative Financial Inclusion – New Frontier in Financial Accessibility dengan menghadirkan pembicara, antara lain: Noor Ahmed (Head of Microfinance, State Bank of Pakistan), Christopher Tan (Regional Director, East and Southeast Asia, Grameen Foundation, Philippines), Eduardo C. Jimenez (Consultant on Micro-finance, Central Bank of the Philippine) dengan dimoderatori oleh Dr Amat Taap Manshor (Senior Director, Centres of Excellence, Asian Institute of Finance (AIF), Malaysia).

Dihari kedua Asian Finance Forum 2011, Jum’at (25/11), 2 sesi diselenggarakan berurutan. Dimulai dengan sesi pertama yang mengangkat tema Growth and Innovation in Islamic Finance yang menghadirkan pembicara, antara lain: Dato’ Sri Zukri Samat (Managing Director, Bank Islam Malaysia Berhad), Yuslam Fauzi (President Director of Bank Syariah Mandiri) dan Dr Humayon Dar (Managing Director & CEO of BMB Islamic Advisory Ltd, and Chairman of Edbiz Consulting Limited, UK) dengan dimoderatori oleh Dr Wan Nursofiza Wan Azmi (Senior Research Fellow, Asian Institute of Finance).

Sesi terakhir pada forum ini mengangkat tema Technological Innovation and Finance dengan menghadirkan pembicara, antara lain: Armand Hartono (Director of Bank Central Asia) dan Andrew Lai (Head of Payment Market Infrastructures, Asia Pacific, SWIFT, Singapore) dengan dimoderatori oleh Saifuddien Hasan (Director of Indonesian Banking Development Institute).

Friday, May 27, 2011

Bagaimana Sebuah Kampus Bisa Hidup?

Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) sebagai sebuah kampus teknik swasta tertua di Indonesia, nasibnya kini tinggal di ujung tanduk. Bagaimana tidak? Satu jurusan didalam sebuah fakultas dalam setiap semesternya hanya dapat menjaring 20-30 orang mahasiswa baru. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah jurusan terpaksa ditutup akibat dari tidak adanya mahasiswa baru yang mendaftar. Miris bukan?

Kenyataan tersebut bukan lantas menjadi hal yang harus diratapi atau malah membuat kita mengelus dada. Dari titik nadir inilah moment yang berharga hadir di tengah-tengah kita semua sebagai upaya merefleksikan dan membangkitkan kembali semangat yang dulu pernah dicetuskan oleh Prof. Dr. Ir. Rooseno dalam mendirikan ISTN.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa persaingan antar perguruan tinggi dalam menjaring calon mahasiswa baru terjadi di Indonesia. Tak heran jika persaingan ini memaksa kampus-kampus harus memutar otak untuk “mempercantik diri” agar dilirik oleh calon mahasiswa baru. Lalu, bagaimana dengan ISTN? Apa yang seharusnya ISTN lakukan untuk bisa bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi lainnya?

Setiap perguruan tinggi punya cirinya masing-masing, mulai dari label hingga isinya. Melalui tulisan ini, saya ingin memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana sebuah kampus bisa hidup ditengah-tengah persaingan yang saat ini sangat kompetitif. Saya perlu ingatkan bahwa tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah, namun hanya sebatas pengamatan empiris saya terhadap bidang yang saat ini tengah saya geluti.

Saat ini saya bekerja disebuah Lembaga Pendidikan kalangan perbankan, sebuah lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Yayasan Bank Indonesia. Walaupun masih mempunyai ikatan yang kuat dengan induknya, namun dari segi penghidupan, lembaga pendidikan ini amat sangat mandiri dalam menghidupi seluruh operasionalnya. Dan disetiap akhir tahun, melalui laporan keuangan, lembaga pendidikan ini dapat menghasilkan surplus yang luar biasa.

Ada cerita dibalik itu semua, cerita kesuksesan yang dimulai sejak saat penggantian pucuk pimpinan ditahun 2006 yang lalu. Perlu diketahui, pada tahun tersebut lembaga pendidikan ini hanya mendapati surplus sebesar 300 an Juta Rupiah. Jika mengingat lembaga pendidikan ini adalah “sekolahnya” kalangan perbankan, maka jumlah surplus tersebut bisa dibilang sangat minim untuk sebuah lembaga pendidikan yang memiliki gengsi.

Penggantian pucuk pimpinan, baik itu di tingkat yayasan maupun lembaga pendidikannya, menjadikan moment tersebut sebagai awal dari kebangkitan dan semangat baru dalam memikat bankir-bankir untuk mau mengikuti pendidikan dan pelatihan di lembaga pendidikan ini. Rencana strategis dan Road Map menuju tahun dimana Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mendatang, disusun sedemikian rupa agar lembaga pendidikan ini dapat mengimbangi gerak laju para pelaku bisnis perbankan.

Perombakan total dilakukan, mulai dari struktur organisasi yayasan dan lembaga pendidikan hingga struktur kepegawaian. Perombakan terhadap struktur organisasi dilakukan terhadap anak-anak perusahaan yang tidak menguntungkan yayasan, digabung menjadi satu dibawah naungan dan pengelolaan lembaga pendidikan. Struktur kepegawaian dianalisa, kompetensi karyawan terhadap mutu dan kualitas kerja jadi sorotan untuk dibenahi melalui perekrutan sumber daya manusia yang produktif dengan background pendidikan minimal S-1. Kesemuanya itu dalam kerangka pencapaian target visi dan misi lembaga untuk menjadi lembaga pengembangan perbankan dan jasa keuangan yang terpercaya dan terkemuka di ASEAN. Itu yang pertama..

Yang kedua, strategi menjalankan lembaga pendidikan dan manajemen bisnis agar dapat bersinergi serta menghasilkan income.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak perguruan tinggi yang harus memutar otak untuk bisa menyajikan mutu serta kualitas pendidikan yang baik dengan disokong oleh kinerja pelayanan yang searah. Memutar otak agar dapat menghasilkan surplus yang luar biasa untuk menunjang dan memenuhi tuntutan kebutuhan hidup para karyawannya serta menghasilkan lulusan yang berkompeten dalam persaingan dunia kerja.

Lalu, bagaimana caranya lembaga pendidikan ini memanajemen itu semua? Luas lahan yang dimiliki lembaga pendidikan ini tidak mencapai setengahnya dari luas total lahan yang ISTN miliki. Di lahan yang ada ini, berdiri berbagai macam fasilitas. Mulai dari ruang kantor, ruang kelas, ruang rapat, ruang serba guna, cafetaria, asrama, masjid, lapangan futsal hingga fitness center. Kesemuanya itu adalah asset berharga yg bisa dijadikan pundi-pundi uang.

Tak heran jika pendapatan terbesar dari lembaga pendidikan ini terdapat pada divisi pengelolaan kampus. Bayangkan, divisi pengelolaan kampus dalam setiap tahunnya ditargetkan menghasilkan lebih dari 50 persen dari total keseluruhan dibandingkan dengan target pendapatan divisi-divisi yang lain.

Apakah kemudian dengan keadaan itu semua lantas membuat lembaga pendidikan ini terlena dengan pendapatan yang luar biasa dari segi fasilitas dan meninggalkan visi dan misinya sebagai sebuah lembaga pendidikan? Fasilitas-fasilitas yang ada ini hanya sebagai kebutuhan pelengkap visi dan misi. Lembaga pendidikan ini tetap fokus pada upaya mengembangkan kompetensi para bankir. Sekitar 2 minggu yang lalu, lembaga pendidikan ini mengangkat 5 orang honorable faculty yang berasal dari mantan gubernur Bank Indonesia dan orang-orang yang memiliki reputasi dalam dunia perbankan sebagai “guru besar”.

Dalam jajaran posisi strategis dan pengajar lembaga pendidikan ini terdapat nama-nama yang mempunyai latar belakang dari dunia perbankan, seperti mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, mantan Direktur Utama BNI, Komisaris bank BTN dan setumpuk nama-nama lain. Artinya, dengan menempatkan orang-orang tersebut kedalam posisi penting diharapkan para bankir semakin “terpancing” untuk datang lalu kemudian “ditangkap” oleh fasilitas-fasilitas yang memadai.

Sistem pengolaan keuangannya pun diatur sedemikian rupa. Seluruh pendapatan yang ada dibagi dua, yang satu untuk pembenahan fasilitas kampus dan satu lagi untuk peningkatan gaji para karyawannya. Untuk yayasan, cukup dengan mendapat sisa dari pembagian tersebut. Total pendapatan bersih lembaga pendidikan ini per Desember 2010 setelah dibagi-bagi dengan biaya operasional, berdasarkan laporan keuangan lembaga, telah mencapai angka lebih dari Rp. 5 Milyar. Fantastis bukan?

Yang ketiga, point ini tidak kalah pentingnya dengan point-point sebelumnya, etos kerja dan budaya pelayanan yang diterapkan dan wajib dipegang teguh serta ditaati oleh seluruh karyawannya. Mengingat lembaga pendidikan ini hidup dari kunjungan para bankir-bankir, maka prinsip pelayanan sudah berlaku sejak pintu masuk dimana penjaga keamanan pun diharuskan untuk melakukan 2-5-2 (Istilah untuk tersenyum yang berarti, tarik ujung bibir 2 cm ke kiri dan 2 cm ke kanan ditahan selama 5 detik).

Sebagai tambahan sebelum penutup, lembaga pendidikan ini pada tanggal 7 April yang lalu telah diresmikan sebagai Hutan Kota oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Bila dibandingkan dengan luas dan hijaunya Kampus ISTN tercinta, lembaga pendidikan ini sangat terbatas area yang bisa ditanami oleh pohon. Tapi lembaga pendidikan ini mampu melakukan hal tersebut demi meningkatkan image. Sekali lagi, image itu dibangun untuk “memancing” para peserta kursus yang rata-rata dari kalangan perbankan agar mau datang dan mengikuti pendidikan dan pelatihan di lembaga ini.

Begitulah kira-kira gambaran yang bisa saya share, kiranya tulisan ini bisa menjadi masukan untuk kita semua dalam membangkitkan kembali ISTN dari tidur panjangnya. Sekian dan terima kasih. Salam..

Monday, January 24, 2011

LPPI – BI Gelar Dialog Perbankan 2011


Mengawali tahun 2011, LPPI bekerjasama dengan Bank Indonesia mengadakan Dialog Perbankan Tahun 2011 yang dilaksanakan di Ruang Serbaguna - Bumi LPPI, 24 Januari 2011. Dialog ini merupakan acara rutin LPPI setiap tahun dan juga sebagai kelanjutan dari Banker’s Dinner yang diadakan oleh Bank Indonesia beberapa hari lalu.

Dalam kata sambutan dipembukaan acara, Direktur Utama LPPI Subarjo Joyosumarto menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai arah kebijakan Bank Indonesia tahun 2011 yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di acara Banker’s Dinner yang meliputi kebijakan baru dalam penilaian tingkat kesehatan bank dengan memasukan unsur risk management dalam perhitungan tingkat kesehatan bank, dimana akan dilakukan pengukuran ketahanan bank dalam menghadapi risiko.

Kebijakan ini merupakan langkah untuk menghadapi ASEAN Economic Community, dimana sepuluh negara ASEAN akan diberlakukan sebagai sebuah negara besar tanpa ada batasan dalam kegiatan ekonomi, baik itu pergerakan barang maupun jasa dalam lingkungan negara ASEAN.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia siap menghadapi persaingan tersebut? Menilik pengalaman dideklarasikannya China ASEAN Free Trade Agreement sehingga perlu kesiapan yang cukup terutama pada industri perbankan.

Memasuki acara inti dari Dialog Perbankan Tahun 2011, hadir sebagai moderator Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti didampingi oleh para panelis yang berkompeten dibidangnya, seperti: Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Dr. Wimboh Santoso, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr. A. Tony Prasetiantono, Ketua Umum PERBANAS Drs. Sigit Pramono, MBA dan Direktur LPPI/Pengurus Pusat Ikatan Bankir Indonesia Dr. I. Supomo.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Dr. Wimboh Santoso sebagai panelis pertama melalui paparannya yang berjudul “Kebijakan Perbankan: Rational dan Implementasinya di Indonesia”, mengulas latar belakang dikeluarkannya kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2011 yang didasari oleh: Bank merupakan lembaga untuk transmisi kebijakan moneter, transformasi dana masyarakat oleh bank, risiko diambil alih dari pemilik dana oleh bank, asymmetric information vs moral hazard, timbul issu principal dan agency problem, kebijakan diperlukan untuk sistem keuangan dan perlindungan nasabah, public vs capture interest theory dan liberalisasi industri perbankan ASEAN.

Sehingga, dalam konteks systemic risk, risk externalities telah menimbulkan systemic risk, kebijakan perbankan perlu diarahkan agar bank bisa tahan terhadap systemic risk, kebijakan makro prudential untuk menjaga stabilitas sistem keuangan perlu diterapkan di perbankan dan transmisi kebijakan moneter tidak efektif tanpa didukung stabilitas sistem keuangan.

Paparan tersebut kemudian bermuara pada kebijakan perbankan di Indonesia yang meliputi: Kebijakan Penguatan Stabilitas Moneter, Kebijakan Makroprudential dan Kebijakan Mikroprudential yang melingkupi tiga aspek (Kebijakan Mendorong Peran Intermediasi, Kebijakan Meningkatkan Ketahanan Perbankan dan Penguatan Fungsi Pengawasan).

Panelis berikutnya adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr. A. Tony Prasetiantono, dalam paparannya yang berjudul “Economic Outlook 2011: Global Capital Flows, Double Dip Recessions, and Commodity Prices Pressuredijelaskan bahwa perekonomian global tahun 2010 lebih baik dari tahun 2009 yang lalu. Meski demikian, situasi masih penuh ketidakpastian dikarenakan masih terdapatnya peluang untuk terjadinya double-dip recession. Selain itu, capital flows besar-besaran dari negara-negara maju ke emerging markets terus terjadi ditambah dengan currency wars, Amerika Serikat yang memberlakukan quantitative easing (cetak uang), defisit APBN AS dan Eropa yang sangat besar, Indonesia yang kebanjiran capital inflows serta harga minyak dunia yang naik diikuti dengan harga komoditas.

Hingga akhirnya, mimpi BI untuk melakukan Redenominasi pada Bulan Juli 2010 tertunda, dikarenakan terjadinya Inflasi yang cukup tinggi di tahun 2010 sebesar 6,9 %.

Menurut Tony, redenominasi kuncinya adalah trust. Kestabilan ekonomi merupakan kunci untuk mendukung perkembangan perekonomian serta untuk menghindari pengalaman yang terjadi di Brazil karena melakukan redenominasi pada saat instabilitas ekonomi terjadi di negara tersebut.

Sehingga, kebijakan Suku Bunga (BI Rate) yang tetap diposisi 6,5 %, diperkirakan bulan depan akan naik dan akan mengalami peninjauan ulang. Kenaikan BI Rate tersebut dalam proyeksinya akan berkisar di angka 6,75% dengan alasan kemungkinan BI untuk mempertahankan lending rate yang rendah.

Namun dengan dinaikkannya BI Rate menjadi 6,75% tidak akan terlalu mempengaruhi pasar dikarenakan tingkat tersebut telah disesuaikan dengan inflasi, lagipula mempertahankan lending rate yang rendah akan meningkatkan risiko NPL, jelasnya lebih lanjut.

Panelis ketiga adalah Ketua Umum PERBANAS Drs. Sigit Pramono, MBA dalam paparannya yang berjudul “Prospek Ekonomi Dan Perbankan 2011”, menjelaskan tentang daya saing ekonomi Indonesia yang meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, dari posisi 42 menjadi 35.

Pencapaian Perbankan Indonesia 2010, seperti: Stabilitas sistem keuangan yang membaik (Financial Stability Index 1,75 - 2007/2008: 2,43), fungsi intermediasi meningkat dengan kredit mencapai Rp. 1.706 Trilliun, kredit bermasalah dibawah 5%, dana pihak ketiga Rp. 2.215 Trilliun, rasio kecukupan modal 16,9%, rasio kredit terhadap PDB 26,1% dengan undisbursed loan Rp. 556,8 Trilliun serta referensi dari Financial Sector Assessment Program (FSAP) yang mengatakan bahwa perbankan Indonesia mampu menghadapi kondisi krisis karena tingkat kepatuhan pada prinsip-prinsip pengawasan bank baik.

Namun disisi lain, beberapa kendala masih menjadi ganjalan penting terhadap pencapaian perbankan Indonesia tahun 2010, seperti: infrastruktur Indonesia yang masih banyak perlu perbaikan baik itu dari jalan-jalan negara dan infrastuktur lainnya, pasokan energy yang masih kurang, daya serap belanja pemerintah pusat dan daerah yang masih kurang serta ancaman eksternal yang datang dari luar seperti currency war yang dipengaruhi oleh kebijakan Amerika dan China dan ancaman perang Korea.

Jika hal-hal ini diperbaiki (infrastruktur, pasokan energy serta daya serap belanja pemerintah pusat dan daerah-red), maka optimisme pasar akan pertumbuhan year on year mencapai 7% seperti negara-negara asia lainnya akan terwujud, jelasnya lebih lanjut.

Sedangkan tantangan perbankan di tahun 2011, menurutnya terbagi menjadi 10 poin penting yang perlu disikapi, yaitu: kredit bank yang masih sulit dengan bunga yang tinggi, pengawasan perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebijakan perbankan Bank Indonesia, kritik terhadap margin perbankan yang didefinisikan sebagai sebuah berkah atau sebuah musibah, implementasi standar internasional: best international practice vs best fit?, asing yang boleh memiliki bank di Indonesia hingga 99%, keterbatasan modal vs ekspansi kredit dan keharusan selalu memperbarui teknologi, belum adanya bank Indonesia berskala internasional yang berperan ditingkat regional, ketidaksiapan menghadapi pasar tunggal ASEAN dan yang tak kalah pentingnya adalah dinamika politik yang tidak menentu.

Sigit kemudian menyampaikan harapannya kepada Bank Indonesia terkait dengan paparannya agar Bank Indonesia mau mendengarkan masukan-masukan dari kalangan industri perbankan. Ini dimaksudkan agar Bank Indonesia tidak terkesan seperti memonopoli kebenaran yang menyangkut seluruh kebijakan yang telah diterapkan dan dirasa benar serta dapat diterima oleh kalangan industri perbankan.

Panelis terakhir dalam Dialog Perbankan Tahun 2011 adalah Direktur LPPI/Pengurus Pusat Ikatan Bankir Indonesia Dr. I. Supomo dengan makalahnya yang berjudul “Meningkatkan Kompetensi Bankir”. Dalam uraiannya dia menjelaskan mengenai perkembangan profesi bankir. Menurutnya, dahulu profesi bankir adalah profesi generalis, karena dahulu seorang bankir diharapkan mampu menguasi segala bidang dalam perbankan, sehingga bankir harus memiliki kompetensi melebihi profesi lainnya.

Perkembangan profesi bankir tidak serumit bankir dahulu, dimana bankir harus menjalani pola karir yang rumit layaknya obat nyamuk. Namun sekarang tidak lagi, saat ini perkembangan terbaru bankir telah beralih dari generalis menjadi spesialis dikarenakan oleh 3 faktor, yaitu: jumlah dan kompleksitas transaksi, permintaan nasabah dan persaingan (produk, layanan/proses, jaringan)

Program pengembangan profesionalisme bankir, merupakan langkah yang harus diambil oleh setiap anggota IBI yang akan menjadi standar bankir, dan diharapkan akan mulai diterapkan oleh seluruh bank di Indonesia.

Disinilah letak pentingnya lembaga pendidikan dalam rangka menstandarisasi kompetensi perbankan, dimana lembaga pendidikan tersebut harus telah merujuk kepada SKKNI agar berlaku nasional. Dengan begitu diharapkan lembaga pendidikan dapat bekerjasama dengan LSPP agar setiap bankir yang telah mengikuti pendidikan yang telah sesuai standar SKKNI agar dapat langsung disertifikasi.

Porsi terbesar yang mengikuti pelatihan dan pendidikan di LPPI masih di dominasi oleh bank-bank pemerintah, dikarenakan oleh faktor populasi dari bank-bank pemerintah merupakan yang terbesar. Hal ini juga yang mendasari BPD untuk mengejar target menjadi regional champion, sehingga dibutuhkan pelatihan dan pendidikan yang terus menerus dan continue, paparnya lebih lanjut mengakhiri.