Monday, January 24, 2011

LPPI – BI Gelar Dialog Perbankan 2011


Mengawali tahun 2011, LPPI bekerjasama dengan Bank Indonesia mengadakan Dialog Perbankan Tahun 2011 yang dilaksanakan di Ruang Serbaguna - Bumi LPPI, 24 Januari 2011. Dialog ini merupakan acara rutin LPPI setiap tahun dan juga sebagai kelanjutan dari Banker’s Dinner yang diadakan oleh Bank Indonesia beberapa hari lalu.

Dalam kata sambutan dipembukaan acara, Direktur Utama LPPI Subarjo Joyosumarto menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai arah kebijakan Bank Indonesia tahun 2011 yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di acara Banker’s Dinner yang meliputi kebijakan baru dalam penilaian tingkat kesehatan bank dengan memasukan unsur risk management dalam perhitungan tingkat kesehatan bank, dimana akan dilakukan pengukuran ketahanan bank dalam menghadapi risiko.

Kebijakan ini merupakan langkah untuk menghadapi ASEAN Economic Community, dimana sepuluh negara ASEAN akan diberlakukan sebagai sebuah negara besar tanpa ada batasan dalam kegiatan ekonomi, baik itu pergerakan barang maupun jasa dalam lingkungan negara ASEAN.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia siap menghadapi persaingan tersebut? Menilik pengalaman dideklarasikannya China ASEAN Free Trade Agreement sehingga perlu kesiapan yang cukup terutama pada industri perbankan.

Memasuki acara inti dari Dialog Perbankan Tahun 2011, hadir sebagai moderator Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti didampingi oleh para panelis yang berkompeten dibidangnya, seperti: Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Dr. Wimboh Santoso, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr. A. Tony Prasetiantono, Ketua Umum PERBANAS Drs. Sigit Pramono, MBA dan Direktur LPPI/Pengurus Pusat Ikatan Bankir Indonesia Dr. I. Supomo.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Dr. Wimboh Santoso sebagai panelis pertama melalui paparannya yang berjudul “Kebijakan Perbankan: Rational dan Implementasinya di Indonesia”, mengulas latar belakang dikeluarkannya kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2011 yang didasari oleh: Bank merupakan lembaga untuk transmisi kebijakan moneter, transformasi dana masyarakat oleh bank, risiko diambil alih dari pemilik dana oleh bank, asymmetric information vs moral hazard, timbul issu principal dan agency problem, kebijakan diperlukan untuk sistem keuangan dan perlindungan nasabah, public vs capture interest theory dan liberalisasi industri perbankan ASEAN.

Sehingga, dalam konteks systemic risk, risk externalities telah menimbulkan systemic risk, kebijakan perbankan perlu diarahkan agar bank bisa tahan terhadap systemic risk, kebijakan makro prudential untuk menjaga stabilitas sistem keuangan perlu diterapkan di perbankan dan transmisi kebijakan moneter tidak efektif tanpa didukung stabilitas sistem keuangan.

Paparan tersebut kemudian bermuara pada kebijakan perbankan di Indonesia yang meliputi: Kebijakan Penguatan Stabilitas Moneter, Kebijakan Makroprudential dan Kebijakan Mikroprudential yang melingkupi tiga aspek (Kebijakan Mendorong Peran Intermediasi, Kebijakan Meningkatkan Ketahanan Perbankan dan Penguatan Fungsi Pengawasan).

Panelis berikutnya adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr. A. Tony Prasetiantono, dalam paparannya yang berjudul “Economic Outlook 2011: Global Capital Flows, Double Dip Recessions, and Commodity Prices Pressuredijelaskan bahwa perekonomian global tahun 2010 lebih baik dari tahun 2009 yang lalu. Meski demikian, situasi masih penuh ketidakpastian dikarenakan masih terdapatnya peluang untuk terjadinya double-dip recession. Selain itu, capital flows besar-besaran dari negara-negara maju ke emerging markets terus terjadi ditambah dengan currency wars, Amerika Serikat yang memberlakukan quantitative easing (cetak uang), defisit APBN AS dan Eropa yang sangat besar, Indonesia yang kebanjiran capital inflows serta harga minyak dunia yang naik diikuti dengan harga komoditas.

Hingga akhirnya, mimpi BI untuk melakukan Redenominasi pada Bulan Juli 2010 tertunda, dikarenakan terjadinya Inflasi yang cukup tinggi di tahun 2010 sebesar 6,9 %.

Menurut Tony, redenominasi kuncinya adalah trust. Kestabilan ekonomi merupakan kunci untuk mendukung perkembangan perekonomian serta untuk menghindari pengalaman yang terjadi di Brazil karena melakukan redenominasi pada saat instabilitas ekonomi terjadi di negara tersebut.

Sehingga, kebijakan Suku Bunga (BI Rate) yang tetap diposisi 6,5 %, diperkirakan bulan depan akan naik dan akan mengalami peninjauan ulang. Kenaikan BI Rate tersebut dalam proyeksinya akan berkisar di angka 6,75% dengan alasan kemungkinan BI untuk mempertahankan lending rate yang rendah.

Namun dengan dinaikkannya BI Rate menjadi 6,75% tidak akan terlalu mempengaruhi pasar dikarenakan tingkat tersebut telah disesuaikan dengan inflasi, lagipula mempertahankan lending rate yang rendah akan meningkatkan risiko NPL, jelasnya lebih lanjut.

Panelis ketiga adalah Ketua Umum PERBANAS Drs. Sigit Pramono, MBA dalam paparannya yang berjudul “Prospek Ekonomi Dan Perbankan 2011”, menjelaskan tentang daya saing ekonomi Indonesia yang meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, dari posisi 42 menjadi 35.

Pencapaian Perbankan Indonesia 2010, seperti: Stabilitas sistem keuangan yang membaik (Financial Stability Index 1,75 - 2007/2008: 2,43), fungsi intermediasi meningkat dengan kredit mencapai Rp. 1.706 Trilliun, kredit bermasalah dibawah 5%, dana pihak ketiga Rp. 2.215 Trilliun, rasio kecukupan modal 16,9%, rasio kredit terhadap PDB 26,1% dengan undisbursed loan Rp. 556,8 Trilliun serta referensi dari Financial Sector Assessment Program (FSAP) yang mengatakan bahwa perbankan Indonesia mampu menghadapi kondisi krisis karena tingkat kepatuhan pada prinsip-prinsip pengawasan bank baik.

Namun disisi lain, beberapa kendala masih menjadi ganjalan penting terhadap pencapaian perbankan Indonesia tahun 2010, seperti: infrastruktur Indonesia yang masih banyak perlu perbaikan baik itu dari jalan-jalan negara dan infrastuktur lainnya, pasokan energy yang masih kurang, daya serap belanja pemerintah pusat dan daerah yang masih kurang serta ancaman eksternal yang datang dari luar seperti currency war yang dipengaruhi oleh kebijakan Amerika dan China dan ancaman perang Korea.

Jika hal-hal ini diperbaiki (infrastruktur, pasokan energy serta daya serap belanja pemerintah pusat dan daerah-red), maka optimisme pasar akan pertumbuhan year on year mencapai 7% seperti negara-negara asia lainnya akan terwujud, jelasnya lebih lanjut.

Sedangkan tantangan perbankan di tahun 2011, menurutnya terbagi menjadi 10 poin penting yang perlu disikapi, yaitu: kredit bank yang masih sulit dengan bunga yang tinggi, pengawasan perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebijakan perbankan Bank Indonesia, kritik terhadap margin perbankan yang didefinisikan sebagai sebuah berkah atau sebuah musibah, implementasi standar internasional: best international practice vs best fit?, asing yang boleh memiliki bank di Indonesia hingga 99%, keterbatasan modal vs ekspansi kredit dan keharusan selalu memperbarui teknologi, belum adanya bank Indonesia berskala internasional yang berperan ditingkat regional, ketidaksiapan menghadapi pasar tunggal ASEAN dan yang tak kalah pentingnya adalah dinamika politik yang tidak menentu.

Sigit kemudian menyampaikan harapannya kepada Bank Indonesia terkait dengan paparannya agar Bank Indonesia mau mendengarkan masukan-masukan dari kalangan industri perbankan. Ini dimaksudkan agar Bank Indonesia tidak terkesan seperti memonopoli kebenaran yang menyangkut seluruh kebijakan yang telah diterapkan dan dirasa benar serta dapat diterima oleh kalangan industri perbankan.

Panelis terakhir dalam Dialog Perbankan Tahun 2011 adalah Direktur LPPI/Pengurus Pusat Ikatan Bankir Indonesia Dr. I. Supomo dengan makalahnya yang berjudul “Meningkatkan Kompetensi Bankir”. Dalam uraiannya dia menjelaskan mengenai perkembangan profesi bankir. Menurutnya, dahulu profesi bankir adalah profesi generalis, karena dahulu seorang bankir diharapkan mampu menguasi segala bidang dalam perbankan, sehingga bankir harus memiliki kompetensi melebihi profesi lainnya.

Perkembangan profesi bankir tidak serumit bankir dahulu, dimana bankir harus menjalani pola karir yang rumit layaknya obat nyamuk. Namun sekarang tidak lagi, saat ini perkembangan terbaru bankir telah beralih dari generalis menjadi spesialis dikarenakan oleh 3 faktor, yaitu: jumlah dan kompleksitas transaksi, permintaan nasabah dan persaingan (produk, layanan/proses, jaringan)

Program pengembangan profesionalisme bankir, merupakan langkah yang harus diambil oleh setiap anggota IBI yang akan menjadi standar bankir, dan diharapkan akan mulai diterapkan oleh seluruh bank di Indonesia.

Disinilah letak pentingnya lembaga pendidikan dalam rangka menstandarisasi kompetensi perbankan, dimana lembaga pendidikan tersebut harus telah merujuk kepada SKKNI agar berlaku nasional. Dengan begitu diharapkan lembaga pendidikan dapat bekerjasama dengan LSPP agar setiap bankir yang telah mengikuti pendidikan yang telah sesuai standar SKKNI agar dapat langsung disertifikasi.

Porsi terbesar yang mengikuti pelatihan dan pendidikan di LPPI masih di dominasi oleh bank-bank pemerintah, dikarenakan oleh faktor populasi dari bank-bank pemerintah merupakan yang terbesar. Hal ini juga yang mendasari BPD untuk mengejar target menjadi regional champion, sehingga dibutuhkan pelatihan dan pendidikan yang terus menerus dan continue, paparnya lebih lanjut mengakhiri.