Friday, December 15, 2006

Kesaksian Seputar Tragedi Kudeta 1965: Buku Harian Seorang Tapol

Ia termasuk tapol yang mujur dalam arti memiliki kesempatan menulis buku harian selama beberapa tahun (1966-1971). Ketika itu ia bersama ratusan tapol lain dijadikan romusa modern melakukan kerja rodi di daerah Banten dalam proyek Angkatan Darat yang disebut ’Operasi Bhakti Siliwangi’, antara lain memperbaiki jalan-jalan di daerah Banten sepanjang beberapa puluh kilometer, membangun kampus Universitas Maulana Yusuf (UNMA), antena radio persiapan RRI Serang, membersihkan pelabuhan Karangantu. Piringan hitam yang diputar di radio itu ternyata miliknya yang dibawanya dari Moskwa dan telah dirampas dari kamar asramanya di Cilegon. Kesempatan menulis buku harian merupakan barang langka, bahkan suatu kemewahan bagi seorang tapol G30S. Pena, kertas, buku, informasi dan perangkat peradaban lain merupakan musuh besar bagi rezim penindas jika jatuh ditangan mereka yang dianggap lawan politiknya.

Dalam salah satu catatannya, cukup menarik bahwa penangkapan di Banten dilakukan sejak dini. Minggu, 3 Oktober 1965, Ir. Soerjo Darsono diambil oleh Polisi dari mes di Serang dan dibawa ke Cilegon. Pada suatu hari pasti datang pula giliran kami yang lain, karena suasana menyudutkan PKI dan organisasi-organisasi massa yang dianggap ada kaitannya dengan PKI semakin gencar. Aparat didaerah terkesan lebih rajin mendahului Jakarta. Begitu cepatnya vonis dijatuhkan kepada PKI dan organisasi mantelnya, atau sesuatu yang memang sudah diatur demikian? Sebagai tapol, Ir. DSM Sastrosudirdjo sadar buku harian yang ditulisnya mengandung risiko. Dengan demikian ia secara sadar pula menerapkan berbagai kiat berkelit. Sebagian catatan itu dibuatnya dalam bahasa Rusia dengan huruf Kiril, juga dengan huruf Jawa dalam bahasa Jawa. Selanjutnya secara berangsur dikirimkannya melalui saudara kandung yang menjenguknya untuk disimpan bersama buku-buku koleksi miliknya yang sebagian masih dapat diselamatkan. Dengan masgul ia mencatat ketika melihat sebuah buku tebal kamus teknik yang dibawanya dari Moskwa dijadikan ganjal korsi jaksa yang memeriksanya, ”Ia seorang terpelajar bergelar sarjana hukum, tetapi belum berbudaya.”

Ketika menjadi mahasiswa di ITB Bandung, ia memasuki CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang digolongkan sebagai mantel PKI dengan pertimbangan sederhana, tidak ada perploncoan. Ketika ia memilih studi ke Moskwa dalam jurusan metalurgi, hal itu pun dilakukannya dengan pertimbangan lugas, pabrik baja pertama Indonesia di Cilegon dengan bantuan dan teknologi Uni Soviet. Tidak ada pertimbangan dan semangat politik atau ideologi yang menggebu sebagai yang menjadi kecenderungan umum masa itu sebagai respons terhadap retorika politik kebangsaan Presiden Sukarno. Dengan penuh idealisme ia menimba ilmu yang akan berguna bagi tanah air tercinta. Semangat semacam itulah yang terus-menerus dipeliharanya dalam bertahan hidup selama 12 tahun sebagai tapol di tahanan, kerja rodi dan pembuangan dalam solidaritas tinggi sebagai bagian watak pribadinya. Ia menjadi anggota SBBT (Sarekat Buruh Baja Trikora) beberapa bulan sebelum meletusnya G30S, ia bukan anggota resmi ataupun anggota ilegal PKI, bahkan ia pun bukan penganut Marxisme. Pernyataan ini tidak ada urusannya dengan pemaafan, pujian atau memandang rendah. Kenyataan itu merupakan salah satu petunjuk penindasan yang dilakukan rezim yang berkuasa dilakukan terhadap seluruh elemen yang dianggap membahayakan sang rezim.

Bagi banyak aktivis organisasi (kiri), dipenjarakan bukan merupakan kejutan besar tanpa disangka, meskipun pembunuhan besar-besaran tetap merupakan hal yang tidak diperhitungkan bahkan oleh para petinggi PKI pun. Bagi para aktivis hal itu merupakan risiko sikap politik yang dipilihnya. Sebaliknya bagi Ir. DSM Sastrosudirdo sesuatu yang tak pernah terlintas dibenaknya. Ia belajar, bekerja, belajar berorganisasi tanpa melakukan kalkulasi politik, tetapi lebih dibimbing oleh kata hati nurani tanpa pamrih apa pun kecuali ingin berbuat sebaiknya untuk negeri ini melalui kemampuan dan studinya. Di tengah kemelut tercemplung sebagai tapol pekerja rodi dengan nasib tidak menentu, ia masih sempat meneruskan hobinya untuk belajar bahasa Italia. Ia mengulang mimpi Italianya yang menjadi kenyataan ketika sedang studi di Moskwa, berkeliling ke berbagai pelosok Italia sebagai tamu kehormatan sejumlah keluarga pada suatu libur musim panas pada 1962.

Perjalanan gratis itu diorganisasikan oleh koran penting Italia, L’Unita, sebagai tanggapan terhadap surat pembaca yang ditulisnya dari Moskwa. Di samping sempat melempar tiga koin di Fontana di Trevi, Roma, ala film dan lagu romantis Three Coins in the Fountain, tempat ratusan turis tiap hari berduyun-duyun datang untuk melempar koin. Ia pun sempat didaftar sebagai anggota kehormatan Pemuda Anti Fasis. Dalam kunjungannya ke kota Grosseto, bagian dari agenda koran L’Unita, tempat partai komunis memenangkan pemilu lokal, dirinya disambut bak tamu agung. Dalam hatinya sempat malu karena merasa dirinya seorang pemuda yang bukan apa-apa. ”Tuan rumah yang menyambutku tahu benar aku bukan tokoh, hanya seorang mahasiswa dari negeri jauh. Benar-benar sambutan luar biasa yang mengharukan. Aku dibawa ke Balai Kota diperkenalkan pada walikota yang tengah rapat, ada kepala polisi dan beberapa pejabat tingkat daerah. Semuanya menyambut dengan antusias dan bukan basa-basi, bahkan aku diantar salah seorang dari pejabat daerah untuk meninjau sebuah proyek, Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Lardarello. Di kota ini aku tinggal bersama keluarga muda Barzanti Nedo, di via Porto Lorento 47. Rupanya ada pula orang Italia yang mengenakan semacam bakiak kayu di rumah, aku pun mengikuti cara mereka. Mimpi pun berakhir, ia mendapati dirinya masih sebagai tapol. Ia tak pernah menyesal akan keputusan-keputusannya, akan nasib yang menimpanya.

Menurut catatannya urusan korupsi sudah dihadapinya ketika dia baru saja bekerja di Proyek Pabrik Baja Trikora di Cilegon, bagian penerimaan barang-barang dari Uni Soviet. Ketika itu, Ir. Tunky Ariwibowo yang kelak menjadi orang penting Orde Baru juga bekerja ditempat yang sama. ”Pengalaman baru juga kujumpai di Cilegon, korupsi dalam bentuknya yang begitu telanjang tanpa tedeng aling-aling, dibicarakan dengan santai tanpa rasa bersalah atau malu. Di awal 1965 sebagian pekerjaan pengangkutan barang eks Rusia dari Tanjung Priok ke Cilegon diborongkan pada kontraktor yang memiliki armada angkutan cukup besar, Direktorat Angkutan Angkatan Darat (DAAD), bagian dari Angkatan Darat. Proses negosiasi penentuan tarifnya tidaklah kuketahui, di atasku ada pimpinan lebih tinggi, Ir. Lintong Toruan dan diatasnya Ir. Tunky Ariwibowo. Sebagai tenaga pelaksana dan pengawas dilapangan aku tinggal menerima kiriman barang di Cilegon, menghitung kubikasi barang yang sebagian besar berbentuk peti kayu atau tonase yang dibongkar dilapangan, kemudian mengakurkan dengan tagihan kontraktor untuk periode yang sama. Suatu kali terjadi selisih begitu besar, kontraktor mengirim seorang petugas berpangkat letnan satu membawa tagihan Rp. 121.000.000. Menurut perhitunganku, dalam periode tagihan yang sama nilainya hanya Rp. 96.000.000, selisih Rp. 25.000.000.

Utusan dari Jakarta bersikukuh jumlah tagihannya sebesar angka tersebut, sedang aku pun bersikeras dengan catatanku. Karena tidak tercapai kata sepakat, datang atasan sang letnan satu, seorang letnan kolonel. Beberapa kali tidak berhasil rupanya membuat Pak Letkol putus asa, dia datang ke asrama malam hari dan meminta berbicara empat mata. Malam itu dia berterus terang mengatakan sebenarnya dia pun tahu nilai tagihan sebenarnya 96 juta, tetapi sengaja dinaikkan menjadi 121 juta. Antara percaya dan tidak, dalam hati kubayangkan dinaikkan 25 juta, kenaikan lebih dari 25 prosen, untuk siapa saja? Pak Letkol berjanji memberiku sekian, lalu siapa lagi yang diberi janji? Kalau berita acara penerimaan barang kuteken, atasanku akan langsung memberi tanda ’Acc’ dan kuitansi akan dibayar oleh Bagian Keuangan. Sebagai perbandingan gaji pokok sebagai Pegawai Negeri golongan F-2 saat itu Rp. 17.200 ditambah tunjangan beras dan lain-lain bisa mencapai Rp. 40.000. Dengan tegas kukatakan kepada Pak Letkol aku tidak akan meneken Berita Acara yang keliru tersebut. Beberapa kali Pak Letkol mengirim utusan dari Jakarta mendesak, datang dengan memakai pakaian seragam militer dan sekian kali pakai pakaian sipil, tetap kutolak. Akhirnya dia pun menyerah mengubah Berita Acara sesuai data yang benar, saat disodorkan aku bilang, “Kalau angka ini yang Bapak sodorkan, dari dulu sudah saya teken”. Itulah korupsi telanjang tersebut.

Sekalipun studi dan pekerjaannya dibidang teknik, perhatiannya sangat luas pada bidang-bidang lain, ekonomi, politik, sosial, sejarah, sastra, musik, bahasa, ekologi, dengan demikian catatannya berwarna-warni penuh dengan aspek kemanusiaan. Bertahun-tahun ia terlatih menulis catatan harian, selalu memberikan deskripsi dengan teliti dan rinci, mudah bagi kita membayangkannya. Catatan yang dibuatnya akan dapat dijadikan bahan dasar menarik bagi pembuat film yang berminat. Sebagai seorang tapol yang sedang bekerja rodi, ia masih sempat memikirkan soal sejarah Banten yang hilang karena penemuan benda-benda bersejarah ketika dilakukan pengerukan pelabuhan kuno Karangantu tidak didokumentasikan. Ia sempat membuat uraian tentang gagasan Propinsi Banten yang dewasa ini sudah menjadi kenyataan.

Ketika membaca majalah luar negeri (Februari 1970) tentang kekayaan seorang pejabat Orba sebesar 38 juta dollar, ia langsung menghitung. Ongkos seorang tapol ketika itu Rp. 35/hari, jika dijadikan Rp. 100 maka tiap tapol akan makan kenyang bergizi. Dengan kurs Rp. 378 masa itu, maka sang koruptor dapat memelihara 500 budak tapol yang ada di Banten dengan kenyang bergizi selama 554 tahun. Perhitungan sederhana yang pahit ini menggugah renungan kita. Selama lebih dari 30 tahun ini berapa miliar dollar kekayaan negeri ini telah dijarah oleh para penguasa dan pengusaha hitam. Berapa miliar dollar dana yang telah terakumulasi mereka kuasai dengan segala macam cara? Bukankah kini dengan dana tersebut mereka dapat memperbudak jutaan rakyat, 200 juta rakyat Indonesia? Karenanya money politics merupakan ancaman nyata yang telah dan akan terjadi, tidak aneh jika reformasi baru kulit tanpa isi.


(Sebagian pengantar naskah belum terbit Ir Djoko Sri Muljono, Banten Seabad Setelah Max Havelaar, Catatan Seorang Tapol 12 Tahun Dalam Tahanan, Kerja Rodi & Pembuangan, penyunting dan pengantar oleh Harsutejo)
Harsutejo/rumahkiri.net

Jugun Ianfu: Sejarah Perbudakan Seksual Jaman Jepang

Jugun Ianfu atau disebut juga budak seks dalam masa Jepang, kembali diangkat ke permukaan. Dalam putaran pertama kampanye tanggal 10 Nopember 2006 diadakan pemutaran film dan diskusi bertema “Jugun Ianfu: Sejarah Perbudakan Seksual Jaman Jepang Yang Terlupakan”. Jaringan advokasi Jugun Ianfu Indonesia terdiri dari berbagai lembaga non pemerintah seperti Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi, Komnas HAM, dan Lembaga Bantuan Hukum, memulai kampanye advokasi mengangkat masalah ini.

Radio Nederland berbincang-bincang dengan koordinator Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Dyah Bintarini, ibu Mardiyem salah seorang eks Jugun Ianfu dan Budi Hartono dari LBH Jogyakarta. Berikut rangkuman perbincangan tersebut.

Perempuan Menjadi Budak Seks
Dalam perang dunia ke II, sekitar 200.000 perempuan Asia dipaksa menjadi budak seks tentara kerajaan Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadunya. Pada Desember tahun 2001 di Den Haag Negeri Belanda, Peradilan Internasional, ICC, memutuskan agar pemerintah Jepang meminta maaf dan memberi ganti rugi kepada para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks semasa perang dunia II. Tribunal Internasional Kejahatan Perang Terhadap Perempuan juga menyatakan bahwa Kaisar Jepang Hirohito dan pejabat-pejabat senior Jepang lainnya pada waktu itu bersalah melakukan kejahatan perang.

Pahlawan
Peradilan yang didirikan oleh koalisi kelompok-kelompok perempuan dan aktivis HAM ini merupakan lanjutan peradilan di Tokyo satu tahun sebelumnya, di mana pada waktu itu didengar kesaksian-kesaksian dari para eks Jugun Ianfu. Tetapi keputusan tribunal tidaklah mengikat, dan lebih bersifat seruan moral belaka. Saat ini, lima tahun sudah berlalu tapi belum tampak kemajuan yang berarti. Menurut Dyah Bintarini, generasi muda tidak mengetahui sejarah Jugun Ianfu. Karena itulah sejarah Jugun Ianfu tersebut harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia. Para perempuan eks Jugun Ianfu tidak layak disebut perempuan bernasib sial ataupun pembawa aib. Tetapi patut disebut sebagai pahlawan.

Memperjuangkan Hak
Para perempuan eks Jugun Ianfu saat ini telah memasuki usia senja. Bahkan banyak yang telah tutup usia. Ibu Mardiyem yang diberi nama Momoye oleh tentara Jepang, walaupun sudah memasuki usia senja masih gigih memperjuangkan hak-hak para eks Jugun Ianfu. Ibu Mardiyem: "Sebetulnya saya tahun 1959 itu sudah mulai berontak, ya. Tapi pada siapa saya ini mencari keadilan mau ngadu pada siapa? Saya nggak pernah nganggur untuk kesibukan supaya nggak terlalu ingat masa lalu. Setelah 1993 ada pengacara Jepang di Jakarta, 13 orang mendaftar. Belum ada reaksi dari pemerintah. Setelah ada pengumuman saya baca, langsung ke LBH. LBH saja belum siap. Jadi yang pertama ke LBH itu saya".

Pengakuan dan Permintaan Maaf
Sejumlah LSM perempuan di Jepang yang bersimpati pada perjuangan eks Jugun Ianfu mengundang ibu Mardiyem ke Jepang bahkan ke negara-negara asing lainnya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada masa lalu. Yang terpenting bagi ibu Mardiyem dan para perempuan eks Jugun Ianfu bukan saja masalah ganti rugi, tetapi yang terutama adalah pengakuan salah dan permintaan maaf.
Di Tokyo Jepang, tempat dilaksanakan Peradilan Rakyat Internasional yang mayoritas terdiri dari perempuan, para perempuan eks Jugun Ianfu berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Saya sangking terharunya sampai mencucurkan air mata demikian ibu Mardiyem. "Saya sebelumnya sudah siap mental pokoknya saya kalau ada peluang, saya tetap berjuang terus. Di pundak saya beban berat sekali. Bukan untuk saya sendiri atau kelompok saya sendiri. Yah, Indonesialah". Tutur ibu Mardiyem. Beserta para eks Jugun Ianfu, ibu Mardiyem tidak saja menghadapi lembaga formal seperti pemerintah Jepang dan Indonesia dalam menuntut keadilan dan pengakuan, tapi mereka juga harus menghadapi tatapan sinis, sindiran, dan perlakuan masyarakat yang menghakimi.
Masalah Moral

Dalam keputusan Peradilan Rakyat Internasional antara lain diputuskan mengenai masalah moral, yaitu Kaisar Hirohito dinyatakan bersalah dalam kejahatan seks perang dunia ke II dan harus melakukan permintaan maaf kepada para korban demikian Bpk. Budi Hartono. Tetapi keputusan tersebut tidak mengikat. Bagaimana tentang kemungkinan pembentukan tribunal internasional seperti Tribunal Yugoslavia atau Rwanda?

"Tadinya kita mau mengarah ke sana tapi ada hambatan karena ada batas-batas dalam Peradilan Internasional yaitu harus ada ikut sertanya, dalam hal ini adalah negara. Sementara negara Indonesia sendiri tidak perduli sama sekali terhadap korban kejahatan seks ini. Justru pemerintah Indonesia ini cenderung sangat ketakutan terhadap pemerintah Jepang, karena dikaitkan dengan bantuan yang masuk di Indonesia". Demikian bpk. Budi Hartono dari LBH Jogyakarta.

Sumber:
www.ranesi.nl /Juliani Wahjana dan Nina Nanlohy

Wednesday, December 13, 2006

Digul di Bulan Desember

Kasih sayang guru yang tak terlupakanKasihan ya, anak buaya itu..
Hujan terus menerus. Sungai Digul meluap dan arusnya deras. Pohon-pohon yang tumbang di hulu sungai Digul hanyut terbawa air yang mengalir deras. Kami yang tinggal di kampung B dan kampung C tidak kebanjiran, karena tempat perumahan kami cukup tinggi. Hanya ladang-ladang di tepi sungai Digul digenangi air. Dari rumah teman kami, Bedjo kecil anaknya oom Prawiro, ladang-ladang yang tergenang air itu bisa terlihat jelas. Ladangnya oom Matsari, oom Prawiro, oom Surodirodo, oom Wongsokarno dan lain-lain digenangi air. Air itu melebihi tingginya lanjaran kacang panjang. Biasanya kalau sudah kebanjiran seperti ini hanya tanaman kacang tanah yang bisa terus tumbuh dan bisa dipanen. Yang lainnya tak bisa diharapkan lagi.
Hujan belum juga reda. Pagi-pagi aku yang biasanya malas bangun digugah beberapa kali oleh adikku Rahmah. Rahmah memang rajin dan tak pernah terlambat bangun. Dan aku yang pemalas bangun, tetap ingin tidur. Selimut jarik (kain panjang) yang sudah lusuh dan penuh tambalan itu ditarik adikku Rahmah. “Bangun. Cepat sarapan. Telurnya yang setengah sudah kumakan. Sisanya setengah untuk mas Ribut (Ribut namapanggilanku waktu kecil). Cepat dikit. Nanti telat sekolah seperti kemarin. Untung meneer Said Ali tidak marah. Malu ‘kan?”
Aku segera bangun, cuci muka – tidak berani mandi karena dingin. Ibuku tidak marah, sebab ibuku tahu aku belum sembuh betul dari sakit malaria dan malariaku kronis. Waktu diopname di rumah sakit darah merahku hanya tinggal 40%. Aku tidak tahu cara menghitung darah, aku hanya menirukan apa yang dikatakan dokter Van Alderen ketika itu.
Setelah aku sarapan ibuku segera keluar rumah gerimisan memotong dua pelepah daun pisang raja di samping rumah. Dengan berpayungkan daun pisang itu kami berdua berangkat ke sekolah.
Aku dan adikku Rohmah berjalan hati-hati melewati rumah oom Nanang (Zainal Abidin), guru kami waktu kami sekolah di MES (Malay English School). Dulu ketika ayahku masih natura (natura adalah orang-orang buangan Digul yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda dan hanya mendapat catu berupa beras, kacang hijau, gula merah dan lain-lain dalam bentuk natura) kami sekolah di sekolah partikelir (swasta) tapi karena sekarang ayahku sudah tunduk kepada gubernemen dan mau bekerja di seberang (tempat tinggal para bb ambtenaar–bb singkatan dari binnenlands bestuur–pegawai pemerintah kolonial Belanda).
Oya, aku teruskan dulu perjalananku dan adikku ke sekolah. Setelah melewati rumah oom Nanang dan semak-semak kecil kami membelok ke kiri menuruni jurang menyeberang jembatan. Kemudian melewati rumah teman kami Rusdi anaknya oom Samingun, rumah oom Sadi, lewat jembatan di bawah pohon Loo, kemudian lewat rumah oom Sumo Taruno yang anaknya adalah mas Bedjo besar, yu Watiyem, Siti Natura gendut (namanya sama dengan anaknya oom Mohammad Amin atau oom Madamin adik yu Khamsinah)–dan terus berjalan melewati rumah Oom Sunaryo ayahnya mbak Sulastri yang sering dipanggil Black Kosong karena kulitnya memang cukup hitam manis, lewat rumah oom Nurati yang pintar melukis, lewat rumah meneer Said Ali guru kami, lewat rumah oom Sugoro (Sugoro yang memberi nama “Irian” utk New Guinea atau Papua), lewat rumah oom Sarpinudji kemudian menyeberang jalan lewat badminton baan dan sampailah di sekolah. Pakaianku dan pakaian adikku basah. Hanya sebagian kecil saja yang kering.
“Het is veel beter dan jullie niet naar school gaan,” kata meneer Said Ali. Rupanya guru kami itu merasa iba dan kasihan melihat kami basah kuyup.
Siapa bilang meneer Said Ali galak, kata hatiku. Meneer Said Ali memang sering memberi hukuman kepada anak-anak yang nakal dan beling. Tapi itu semua karena rasa kasih sayangnya kepada anak-anak didiknya.
Hari itu kami belajar tekun. Suara meneer Sujitno Reno Hadiwirijo kami dengarkan dengan tekun, diselingi suara bunyi hujan di atap sekolah yang terbuat dari seng. Temanku sekelas Mintargo, (anak oom Sarpinudji), Tri Harsono (anak oom Hardjo Prawito, Fadalat (anak oom Agus Sulaiman), Rukmini (anak oom Ibnu), Sukaesih (anak oom Djojo Penatas) dan lain-lain. semuanya belajar dengan rajin. Di kelasku ini tidak ada anak yang beling. Hanya kadang-kadang Mintargo teman akrabku itu suka nyelelek dan membuat teman-teman wanita marah.
Bel jam satu tanda pelajaran usai berbunyi. Dengan tertib kami mengemasi buku pelajaran dan berbaris keluar sekolah.
Mujur hujan sudah reda. Di langit awan putih masih menggantung menandakan masih akan hujan lagi. Temanku mas Supadmoyo (anaknya oom Hardjo Prawito kakaknya Triharsono) berlari-lari menghampiriku. Dia berbisik di telingaku, “nanti kita peraon, ya” (peraon – berperahu – main perahu). “Baklah, aku tunggu ya. Tapi jangan kesorean," jawabku.
Berperahu sambil Main dengan Anak Buaya
Sebenarnya siang itu aku harus pergi mengaji. Tapi karena aku merasa sudah hafal betul yang diajarkan oom Fakih (guru ngaji kami–kalau istilah sekarang biasa disebut ustadz), saya sengaja membolos.
Sekitar jam dua lewat temanku mas Supadmoyo dan adiknya Triharsono bersuit dari kejauhan. Aku segera keluar rumah, membawa Juzama dan pamit kepada emakku. “Mbok, aku pergi ngaji, ya,” kataku. Dan aku mencium tangan emakku yang lembut itu dan bergegas keluar rumah.
Dengan melewati halaman rumah oom Kadirun (rumahnya mas Suroso, yu Niswati, yu Siti Aisah, Sukarno, Sumono dan entah siapa lagi nama adik-adiknya) aku memasuki jalan di depan rumah oom Djojo Tugimin (ahli musik) dan kemudian bersama mas Supadmoyo dan Triharsono kami menyusuri jalan melewati rumah mbah Brahim, rumah oom Agus Sulaiman (rumah yu Suhaindah, mas Sayuti, yu Sutihat, Fadalat, Fatonah) dan langsung menuruni jurang yang menuju ke belik (sumur tempat mandi ) yang dibuat oleh oom Kadirun. Kami sampai di belik yang penuh air dibanjiri air sungai Digul yang banjir. Ya, di dekat belik itu ada sungai kecil atau anak sungai yang bermuara di Sungai Digul. Di tepi sungai kecil itulah perahu ayahku tertambat.
Perahu ayahku namanya “Entong” karena bentuknya memang mirip kepompong atau tempat ulat “bertapa” untuk menjadi kupu-kupu. Tapi walaupun perahu ini seperti kepompong bentuknya, lajunya bukan main dan mendayungnya tidak memakan banyak tenaga. Panjang perahu ini hampir 8 meter dan cukup lebar dan tidak oleng dan tidak mudah terbalik seperti perahu oom Subroto dari Malaria bestrijding yang bercat putih itu.
Rantai perahu segera kulepas dari tambatannya. Dengan Sigap mas Supadmoyo naik di haluan Triharsono naik di tengah dan aku naik dan duduk di bagian belakang (kemudi). Perahu mulai didayung dan aku mengemudikan perahu itu. Sungai kecil yang berkelak-kelok itu kami ikuti alir airnya dan sampailah kami di ladang yang digenangi air sungai Digul, lebar, lebar sekali seperti lautan.
“Jangan ke muara kali! Belok kiri saja ke bawah halaman rumah oom Nayoan. Di situ kita bisa berenang-renang dan kita pakai batang pisang sebagai pelampung,” kata mas Supad. “Dik Ribut harus belajar berenang sampai betul-betul bisa berenang, jangan berenang seperti kodok. Dan kamu Tri (Triharsono–adik mas Supad), ajari Ribut berenang, ya!" kata mas Supad lagi.
Perahu kubelokkan ke kiri menuju halamam rumah oom Nayoan yang kebanjiran. Halaman yang curam saja yang kebanjiran sehingga menyerupai kolam renang yang lebar dan luas, sedang rumahnya berada di tempat yang tinggi dan tidak dicapai air.
Perahu ditambat dan kami semua turun. Kami bertiga telanjang bulat. Pakaian kami taruh di tepian dan kami mulai berenang. Airnya segar dan bening (maksudnya tidak keruh seperti sungai-sungai di Jakarta). Air itu akan mulai butek kalau sungai Digul mulai surut.
Setelah agak lama kami berenang-renang, datang temanku Rusdi (anaknya oom Samingun), Bedjo (anaknya oom Prawiro) dan Sadjad (anaknya oom Wongso Karno). Mereka juga mau berenang-renang.
Walaupun aku berteman akrab dengan Rusdi waktu bermain layangan, tapi kalau berenang aku tidak mau berteman dengan dia karena beberapa kali aku hampir tenggelam berperahu dengan dia. Dia suka sekali membalikkan perahu karena dia memang pintar berenang sedangkan aku sendiri berenangnya masih seperti kodok. Aku lebih senang berperahu dengan mas Supad karena mas Supad mengajariku dengan penuh rasa kasih sayang seorang kakak. Mas Supad, Triharsono dan aku segera naik perahu lagi.
“Kemana?" tanyaku.
“Ke hilir,” jawab mas Supad.
Perahu segera kukemudikan ke hilir menuju ke arah rakit yang tertambat di bawah perengan Standard School Met Nederlands, yaitu satu-satunya sekolah gubernemen setingkat dengan HIS (Holands Inlandsche School) di Jawa. Mas Supad sudah kelas tujuh sedang Triharsono dan aku sendiri masih kelas lima.
Perahu melaju ke hilir di atas perladangan yang kebanjiran melewati rumah-rumah oom Soediyat, mbah Pawiro Sarjono, oom Sadi, oom Samingun, oom Sumo Taruno, oom Sunaryo, oom Nurati. Rumah-rumah itu kelihatan agak jauh dari ladang yang kebanjiran.
Setelah melewati gedung sandiwara bernama “Ontwikeling en Onspaningen” (gedung itu terletak di depan rumah oom Sutan Said Ali (guru kami dan kami menyebutnya dengan bahasa Belanda “meneer Said Ali”) sampailah kami di rakit.
Rakit ini bukan seperti rakit-rakit di sungai-sungai di pulau Jawa. Rakit ini besar dan lebar terbuat dari papan-papan tebal dan balok. Penghubung papan-papan balok ini bukan hanya paku-paku biasa tapi dengan sekrup besi besar-besar dan rakit ini ditambat dengan kabel sebesar pergelangan tanganku.
Di rakit inilah biasanya kalau sebulan sekali kapal Volmalhout, Albatros atau kapal lainnya membawa ransum (beras, kacang hijau, minyak tanah, kelapa dan entah apa lagi) datang dari Jawa, motor boatnya bersandar di rakit ini. Muatan motorboat yang terdiri dari beras, gula, kacang hijau dll. diturunkan di rakit ini dan kemudian oom-oom (orang buangan) mengankutinya ke gudang yang terletak di depan toko Tantui. Toko Tantui adalah satu-satunya toko orang Tionghwa di Digul. Ada juga warung-warung orang buangan misalnya warungnya oom Tambi, oom Yahya Malik Nasution, oom Wongso (pembuat roti) dan warung-warung lainnya – warung-warung kecil yang isi tokonya tidak selengkap toko Tantui.
Air sungai Digul mengalir sangat deras karena banjir. Banyak anak-anak lain yang bermain dan berenang-renang di rakit ini. Tapi kami (mas Supad, Triharsono dan aku tak berani berlama-lama. Kalau ketahuan bapak aku bermain perahu tentu aku dimarahi dan mungkin diikat lagi di bawah pohon jeruk dan digigiti semut ngangrang (semut besar merah) yang pedas sekali gigitannya. Tambatan rantai perahu di rakit kami lepas dan kami mulai mendayung ke arah hulu sungai. Karena arusnya deras kami harus mendayung sekuat tenaga.
Serumpun pohon pandan berduri kami lewati. Seekor anak buaya kuning bertengger di daun pandan yang menjuntai ke air sungai Digul. Anak buaya itu kami hampiri dan kami merasa kasihan kalau-kalau anak buaya itu jatuh ke air tentu akan terbawa arus air yang deras. Triharsono menangkap anak buaya itu dan menaikkannya ke dalam perahu. Anak buaya itu dielus-elus oleh Triharsono dan anak buaya itu diam saja. Sebentar-sebentar lidahnya terjulur keluar. Mungkin dia ingin menetek kata Tri. Mana ada buaya menetek, dia lapar. Kata mas Supad. Dengan membawa anak buaya itu kami terus mudik ke hulu menuju halaman rumah oom Nayoan dan terus ke arah kali bening tempat semula.
Sampai di kali bening aku menoleh ke belakang. Aku terkejut. Induk buaya mengikuti kami.
“Mas Supad, induk buaya itu mengikuti kita,” kataku.
“Biar, biar saja ikut ke rumah kita. Nanti semuanya kita pelihara. Jadi nanti di rumah kita ada kucing, anjing kita si Tupon dan burung nori dan kakatua. Kita beri makan sagu di satu piring agar mereka belajar hidup rukun seperti kita,” jawab mas Supad.
“Ah, tapi aku takut. Induk buaya itu makin dekat, Dia menyentuh dayungku. Kita lepaskan saja anaknya di lanjaran kacang panjang itu,” kataku.
“Mbok, mbok buaya kuning, jangan marah ya. Kita kan bersahabat. Kami sedikit pun tidak menyakiti anakmu, Kami hanya ingin bermain bersama. Mbok buaya juga boleh main ke rumah kami. Nah anakmu kami tenggerkan di lanjaran ini. Tapi hati-hati ya, gendong anakmu pulang.” Kataku.
Nah begitulah. Kami lepaskan anak buaya itu dan segera mengayuh perahu ke arah belik oom Kadirun. Kami segera sampai. Perahu segera kutambatkan di tempat semula dan kami bertiga bergegas pulang ke rumah masing-masing.
Oleh: Tri Ramidjo
Tangerang, Senin Wage 13 Nopember 2006