Thursday, July 06, 2006

AKHIRNYA KUTEMUKAN MEREKA YANG HILANG!

Berangsur-angsur Kamil menduga bahwa rangkaian kejadian yang pada akhirnya membawanya masuk rumah sakit ini ialah jebakan semata. Sebutir peluru melesat dari ujung laras sebuah senapan dan menembus dada kirinya pastilah cuma ilusi belaka. Dia bahkan telah memberanikan diri meraba permukaan kulit di balik ikatan perban, dan menemukan kenyataannya tak ada luka disitu.

Jadi kenapa saya harus masuk rumah sakit?” Jam menunjuk setengah tiga dini hari.

Lampu utama kamar perawatan telah lama dimatikan. Kamil bangkit duduk, mencabut pipa-pipa infus dan oksigen yang malang-melintang di sekitar tubuhnya, turun dari ranjang, berjingkat keluar ruangan dan setengah berlari menembus keremangan koridor rumah sakit menuju gerbang utama. Sepertinya malam begitu rakus mengisap semua suara, hingga suasana begitu senyap. Langkah-langkah Kamil sampai tak menyisakan desis apa pun, hingga para satpam yang tertidur di gardu depan sama sekali bergeming tatkala Kamil melintas dua meter di sampingnya.

Belakangan Kamil baru sadar bahwa ia tak pernah mengenal nama ruma sakit yang ditinggalinya selama entah berapa hari ini. Berarti selama masa tak sadarkan diri ia mungkin lebih dibawa ke kota lain, atau provinsi lain, atau jangan-jangan ke luar pulau.

“Jadi di mana sekarang saya berada?”

Kamil terus berjalan melintasi jalanan sepi yang terang benderang. Dia sangat berharap bisa berjumpa dengan seseorang yang mengenalnya, atau dikenalnya, atau sembarang orang yang paling tidak bisa dia tanyai seputar tempat keberadaan dirinya saat ini, tetapi bahkan orang yang sekadar masih terjaga saja sama sekali tak dijumpainya.

“Jadi kepada siapa saya harus bertanya?”

Pertanyaan ini ternyata tak terlalu lama tak berjawab, sebab agak jauh di depan sana tampak seorang pemuda berjalan sendirian ke arahnya. Langkahnya mencitrakan rasa percaya diri yang tinggi. Berangsur wajahnya tampak jelas, mulai tampak senyum di wajah yang teduh, dan Kamil merasa pernah mengenalnya. Oh, ternyata bukan Cuma pernah mengenalnya, tetapi sangat mengenalnya, karena dia adalah teman dekat, pernah jadi teman sekampus, seangkatan, satu kos-kosan, bahkan sekamar!

“Yusuf….??”

Pemuda ini tersenyum makin lebar dan berucap pelan, “Ya, Kamil.”

Kamil segera beringsut maju dan memeluk sahabatnya ini erat-erat. “Kamu ternyata masih hidup, Yusuf?”

“Ingat yang dulu pernah saya katakana ke kamu? Cepat atau lambat kita akan bertemu.”

“Lalu dimana selama ini kamu berada? Dua tahun lebih kamu menghilang, Suf! Segala upaya telah kami lakukan untuk mencari kamu, Ahmad, Agam, Budiman, dan yang lain, sampai foto kalian kami buat poster dan kami sebar ke seluruh Indonesia sebagai nama-nama korban penculikan yang sampai sekarang belum ditemukan.”

“Seperti yang kamu lihat, saya ada disini.”

“Tetapi, kenapa tidak pernah menemui kami? Kenapa kamu tidak mengikuti jejak teman-teman lain yang mengumumkan secara terbuka perihal penculikan yang mereka alami? Waktu itu mereka memang bebas bicara apa saja tanpa harus takut kepada siapapun, termasuk aparat kemanan.”

Yusuf terdiam beberapa saat menatap Kamil. Lalu melihat sekeliling dan bergumam lirih. “Saya tidak mungkin melakukannya, Kamil.”

“Kenapa?”

“Kamu tahu kita sekarang berada dimana?”

Kamil gantian terdiam. Ia ingat lagi bahwa ia akan bertanya tentang keberadaan dirinya kepada orang yang pertama dia temui.

“Memang kita di mana?”

“Nama tempat ini tidak penting, tetapi yang pasti dari sini saya tidak bisa bertemu dengan semua teman lama di Jakarta. Kamu pun akan merasa hal yang sama setelah berhasil melarikan diri dari rumah sakit.”

“Dari mana kamu tahu saya lari dari rmah sakit??”

“Tidak bisa bertemu teman-teman di Jakarta bukan berarti saya sama sekali buta perkembangan situasi, Kamil. Saya tahu kamu bentrok dengan aparat keamanan waktu melakukan demo ke Cendana. Sampai kamu tertembak dan masuk rumah sakit.”

“Tetapi, saya yakin itu cuma rekayasa, Suf, sebab ternyata saya sama sekali tidak terluka. Mereka cuma mengupayakan agar saya masuk rumah sakit, hingga bisa menahan saya di luar ketentuan hukum.”

“Saya dulu juga merasa mengalami hal yang sama. Sampai saya terbuang kemari dan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mendengar dan melihat.”

“Bukan begitu, Yusuf. Kamu cuma terlalu putus asa. Besok pagi kita sama-sama berusaha keluar dari tempat ini. Kembali ke Jakarta.”

Yusuf menghela nafas panjang. “Kembali ke Jakarta sebenarnya bukan masalah.”

“Jadi apa persoalannya?”

Yusuf menepuk pundak Kamil dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Berjalan meninggalkan jalan raya, berbelok memasuki lorong kecil menurun, menyisir tebing sampai ke dasarnya, ialah sebuah pantai yang begitu indah dan terang benderang oleh ribuan lampu yang menghiasi pada hampir setiap rumah serta pohon yang berdiri dan tumbuh sejajar garis pantai.

Kamil terpana. Terkesima melihat semua yang terbentang di hadapannya. Yusuf lalu membawanya ke sebuah rumah yang termegah di antara yang lain. Sebelum Yusuf mengetuk pintu, pintu itu sudah terlebih dulu terbuka, dibuka dari dalam oleh beberapa pemuda yang langsung memperlihatkan senumnya. “Selamat datang, Kamil.”

Kamil tercengang. Ahmad! Agam! Budiman! Mereka semua ada disini!

Maka terjadilah sebuah reuni yang mengharukan. Kamil merasa terbuai dalam sebuah mimpi yang teramat indah. Semua ternyata selamat. Semua masih hidup. Masih bisa tertawa dan bicara. Tetapi, kembali ke Jakarta?

“Kamu benar-benar ingin kembali ke Jakarta?” tanya mereka beramai-ramai.

“Tentu saja. Bukankah kita semua punya sanak-saudara di sana? Saya bahkan sudah berkeluarga. Anak-istri saya menanti saya pulang.”

Teman-teman Kamil saling berpandangan. Yusuf lalu membuka sebuah almari besi, mengambil sebotol minuman dari dalamnya dan memberikannya pada Kamil.

“Minumlah sampai habis. Kita akan melakukan sebuah perjalanan yang jauh dan melelahkan.”

Kamil menenggak minuman itu dan berangsur hilang kesadaran.

Entah berapa lama.

Sampai ia tersadar dan menemukan dirinya berada diruangan tertutup yang panas, pengab, dan menyesakkan. Yusuf dan yang lain ada disitu pula bersama-sama. “Kita ada di mana?”

“Ini adalah ruang tahanan tempat terakhir kita disekap,” Yusuf menjawab, dan kemudian menarik lengan Kamil, memintanya melongok ke sebuah jendela kecil berteralis besi lima belas mili.

“Kamu lihat orang-orang yang sedang bermain kartu itu? Yang berbadan paling besar ialah Sersan Mayor Hariman. Yang dua lagi Sersan Satu Sarkawi dan Sersan Dua Kusnen, yang bertugas memegangi kedua tangan dan kaki saya setiap Serma Hariman memasang kabel untuk menyetrum tubuh saya.”

“Kamu yakin mereka pelakunya?”

“Ya.”

“Kenapa tidak kamu laporkan ke teman-teman di kantor pusat?”

“Orang-orang ini cuma menjalankan perintah.”

“Bukankah dari mereka bisa dikorek keterangan tentang siapa yang memberi perintah pada mereka?”

“Semuanya sudah jelas,” Yusuf mengeluarkan gulungan kertas dari dalam tasnya dan memperlihatkannya ke Kamil. “Dokumen ini saya ambil dari lemari arsip mereka. Surat perintah dari komandan untuk menjalankan operasi melenyapkan kita.”

Kamil terperangah. “Kalau begitu kita bisa menuntut mereka secara hukum!”

“Sabar, Kamil. Sebaiknya kami antar kamu pulang dulu ke rumah.”


* * *
Jauh lewat tengah malam Kamil tiba di gerbang perumahan tempat tinggalnya, berjalan kaki melintasi gardu hansip yang didiami tiga peronda. Rupanya tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya, namun Kamil justru bersyukur bisa terus berjalan tanpa harus banyak berbasa-basi.

Kamil memang ingin segera bertemu Tanti, istrinya, dan si kecil Reza yang bulan depan baru akan berulang tahun pertama. Ia pun mempercepat langkah dan segera tiba di depan rumah.

Beberapa saat ia terpaku di depan pintu pagar, seperti ingin meneliti ada-tidaknya perubahan pada rumah itu setelah sekian lama dia tinggalkan. Yang pasti halaman depan pintu kotor dan sebagian rumput tampak mongering. Pastilah istrinya menjadi terlalu sibuk hingga tak sempat merawat keasrian halaman rumahnya ini.

Hati-hati Kamil membuka pintu pagar yang tak terkunci, nyaris tak bersuara, namun ternyata cukup mengagetkan seekor kucing yang semula tiduran di sofa teras. Kucing ini terlonjak bangkit dan menggeram keras, namun Kamil tak peduli dan terus melangkah ke pintu butulan. Diambilnya anak kunci yang seperti biasanya tersimpan di balik pot kaktus, lalu ia masuk ke dalam dengan perasaan berdebar.

Tanti sudah tertidur memeluk si kecil Reza yang terlelap pula ketika Kamil hati-hati membuka pintu kamar. Kamil tak tega membangunkan istri dan anaknya dan cuma berani secara lembut mencium kening dan pipi mereka, lalu membaringkan badannya di atas karpet di samping tempat tidur. Matanya terpejam, namun tak kunjung terlelap hingga jam di dinding menunjuk pukul lima. Saat itulah Tanti terbangun, turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mengambil air sembahyang. Kamil membuka mata dan hendak mengatakan, “Saya tidak tidur,” tetapi istrinya keburu menutup pintu. Seperti dirinya. Tanti juga tak pernah tega membangunkan orang tidur. Kamil lalu bangkit dan pindah ke tempat tidur; lama menatap si kecil Reza, mengelus-elus pipinya, menciumi tangannya. Tak lama kemudian anak ini terjaga, membuka matanya lebar-lebar. Kamil membuat ekspresi lucu dengan menggembungkan pipinya. Reza tertawa-tawa.

Sampai Tanti masuk kamar lagi dan terheran-heran melihat anaknya.

“Heeii, sudah bangun, ya? Tertawa sama siapa, sayang?”

Tanti lalu menggendong anaknya, mencium pipinya. Tak lama kemudian ibu Tanti melongok ke dalam, heran pula melihat cucunya sudah terbangun. “Tumben?”

“Sudah bangun kepagian, tidak menangis pula. Malah tertawa-tawa.”

“Dia melihat ayahnya, barangkali.”

“Ah, Ibu.”

“Mungkin saja suamimu belum ikhlas berpisah dengan kalian.”

Tanti mendekap anaknya erat-erat. Tetapi, ia sendiri kemudian merasa berdebar dan melihat sekeliling ruangan, lalu bertanya dengan nada berbisik. “Benar, sayang? Reza lihat ayah? Di mana? Bilang sama ayah, Reza sebentar lagi mau ulang tahun, ayah. Reza sayang ayah.”

Sekonyong-konyong tawa Reza terhenti. Lalu menangis keras dan menggapai-gapaikan tangannya ke arah pintu.”


Cerpen Jujur Prananto
Dari Cerpen Pilihan KOMPAS 2002

No comments: