Monday, May 22, 2006

KORBAN, KEADILAN DAN KEDAMAIAN

Dimulai ketika Hasan Tiro Cs memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, upaya untuk meredam sikap protes rakyat Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat, disambut dengan sikap otoriter dan fasis oleh pemerintah RI. Pencarian Hasan Tiro Cs dilakukan, dengan pengiriman pasukan dan status Daerah Operasi Militer (DOM), hidup atau mati. Lantas, masyarakat sipil yang diduga dan dituduh sebagai bagian dari Gerakan Aceh Merdeka, tewas terbunuh sia-sia dengan beragam cara.

Nilai-nilai kemanusiaan tercabik-cabik pada masa itu. Pelanggaran HAM bukan saja menjadi satu hal yang ditentang, tapi sudah menjadi rutinitas dan santapan para pelaku kejahatan kemanusiaan. Tak ada satupun kata belas kasihan terhadap rakyat Aceh yang sudah dijerat dengan dugaan dan tuduhan terhadap label GAM.

Seiring berakhirnya status DOM pada tahun 1989 dan rentetan peristiwa kekerasan lainnya, MoU Helsinski dalam salah satu butirnya mengamanatkan upaya untuk mencari keadilan bagi para korban tindak kekerasan selama kurun waktu tersebut. Pun sebelum diamanatkan oleh MoU Helsinski, beragam upaya sudah ditempuh oleh Pemerintah RI dengan desakan dari berbagai kalangan. Namun hasilnya, segala temuan dari kasus-kasus pelanggaran HAM hanya sebatas menjadi rekomendasi tanpa adanya langkah konkrit dari pemerintah RI untuk menyikapinya lebih lanjut.

Iklim politik dan proteksi terhadap pelaku kekerasan, mendominasi proses yang seharusnya signifikan untuk diselesaikan jauh-jauh hari sebelumnya berdasar dari temuan-temuan dilapangan. Bukan tanpa dasar ini dilakukan, mengingat pelaku kekerasan melibatkan institusi militer, tapi juga mengarah pada perlindungan kepentingan politik dari “investasi” operasi militer yang sudah dilakukan di Aceh.

Memilukan memang pada akhirnya, disatu sisi korban masih mencari dan bertanya-tanya tentang keadilan, disisi lainnya sikap ambigu dari pemerintah RI mendominasi iklim politik terhadap kebenaran dan rekonsiliasi. Sikap mengambil jalan tengah untuk melupakan semua peristiwa dan memaafkan, disinyalir menjadi satu topik yang utama untuk penyelesaian.

Lalu, dimanakah posisi korban dan dimanakah posisi pelaku yang harus bertanggung jawab? Kemana juga damai dan keadilan yang selama ini menjadi substansi dari kesepakatan damai? Akankah semua jawaban tersebut dapat terakomodir dalam pembahasan RUU PA?

Aceh dimasa konflik, bukan saja meninggalkan trauma yang mendalam untuk para korban. Tapi juga, meninggalkan beragam pertanyaan yang hingga hari ini belum bisa dijawab oleh pemegang tampuk kekuasaan negeri ini. Terutama untuk para korban dan rasa keadilan yang niscaya akan menuntun Aceh dalam kedamaian.[T]
Editorial Aceh Loen Sayang
Edisi April 2006

No comments: