Wednesday, March 06, 2013

Seru! Nonton Surfer Taklukan Ombak di Dreamland, Bali



detikTravel Community - Surganya para surfer di Bali bukan hanya Kuta. Para traveler penyuka olahraga surfing banyak juga yang beraksi di Pantai Dreamland. Sambil berjemur, nikmati juga pemandangan para surfer menaklukkan ombak.

Pantai Dreamland berada di Pecatu, Bali. Dulu, namanya memang masih kurang tenar dibandingkan Kuta. Namun sekarang, pantai ini sudah ramai turis, termasuk mereka yang hobi berselancar.

Awalnya, tujuan saya dan beberapa teman adalah Pantai Padang-padang. Namun karena lokasi Pantai Dreamland lebih dekat ketimbang Pantai Padang-padang, akhirnya mobil yang kami tumpangi berbelok arah masuk ke dalam pantai yang terletak dalam kawasan Pecatu Indah Resort ini.


Saya sempat bergumam dalam hati, karena kesan pertama yang didapati setelah tiba di Pantai Dreamland tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Akan tetapi, sesaat kemudian mata saya terpesona oleh hamparan pasir putih dan deburan ombak yang tengah ditaklukan oleh peselancar. "Wow, ini keren!" ujar saya.

Sekilas, pantai ini terlihat sepi pengunjung. Berbeda dengan Pantai Kuta yang telah lama menjadi tujuan para wisatawan domestik dan mancanegara yang saat ini sudah penuh sesak. Pantai Dreamland menawarkan keindahan serupa ditambah dengan bukit yang menutupi pantai dan beberapa bagian karang yang menjorok ke laut.

Bermodalkan satu bungkus rujak buah yang dibeli di lokasi parkir mobil seharga Rp 10.000, saya menyaksikan indahnya panorama pantai sambil duduk di batuan karang. Duduk sambil menikmati rujak buah dan menyaksikan aksi para peselancar di atas deburan ombak nampaknya menjadi pilihan saya sore itu untuk bersantai.

Sesekali kamera digital dengan tambahan lensa panjang saya arahkan ke para peselancar. Aksi mereka menunggu gulungan ombak, usaha mereka mengejar ombak yang datang, sampai meliak-liuknya tubuh memainkan papan selancar tak luput menjadi incaran saya.


Menjelang matahari terbenam, satu persatu aksi narsis para pengunjung terlihat. Bidikan kamera mulai diarahkan ke aneka pose dengan latar belakang sunset yang menawan. Dalam hitungan menit, suasana kemudian berubah menjadi gelap seiring tenggelamnya matahari. Suasana sore kemudian digantikan dengan dentuman musik yang berasal dari kafe dan bar. Lalu, kehidupan malam segera dimulai di Pantai Dreamland.


*Tulisan yg pernah saya buat dan pernah dimuat di detikTravel.
Seluruh foto asli karya saya. Dikutip sebagaimana aslinya dari  http://travel.detik.com/read/2012/11/07/095714/2084288/1025/seru-nonton-surfer-taklukan-ombak-di-dreamland-bali

Tuesday, December 06, 2011

LPPI – AIF Gelar Asian Finance Forum 2011

Krisis keuangan global yang terjadi saat ini sangat terkait erat dengan kondisi perekonomian Amerika yang memburuk. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius. Goncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Gejolak perekonomian yang terjadi di Amerika Serikat telah mempengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan. Keterbukaan ekonomi antar negara, memungkinkan terjadinya resesi di suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya.

Eropa yang notabene kawasan dengan kondisi perekonomian yang cukup stabilpun tak pelak menerima dampak dari krisis perekonomian yang melanda Amerika. Begitu juga dengan kawasan Asia yang perlahan-lahan mulai dihantui oleh krisis global sepanjang tahun 2011 ini. Namun Asia masih berdiri dan tetap kuat dalam menghadapi ancaman badai krisis global yang menghantui perekonomian dunia.

Banyak hal yang signifikan telah terjadi di Asia, termasuk KTT ASEAN ke-19 di Bali baru-baru ini. Dunia telah melihat Asia sebagai sebuah kawasan yang terbukti cukup tangguh dalam menghadapi krisis global dan peran negara-negara Asia menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ini dibuktikan dengan kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang hadir sebagai tamu kehormatan pada KTT para pemimpin ASEAN tersebut.

KTT tersebut lebih jauh menyatakan bahwa Komunitas Ekonomi ASEAN akan menjadi tujuan integrasi ekonomi regional pada tahun 2020. Komunitas Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) akan membentuk negara-negara di kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Sehingga, negara-negara di kawasan ASEAN dapat lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme yang baru untuk mengukur dan memperkuat inisiatif mempercepat integrasi ekonomi regional.

“Sekarang ini industri keuangan global telah menunjukkan tahun transisi dimana ekonomi global mencapai titik perubahan menuju perbaikan. Sekarang ini sangat penting untuk lembaga keuangan memperbaiki efisiensi dan menjadi kokoh dalam memahami kesempatan yang timbul”, papar Direktur Utama LPPI Subarjo Joyosumarto saat memberikan kata sambutan di Asian Finance Forum 2011 dengan tema Asia’s Growth and Innovation In The New Financial Order, Kamis (24/11) lalu.

Acara yang diselenggarakan hasil kerjasama antara Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dan Asian Institute of Finance (AIF) Malaysia selama 2 hari ini mengambil tempat di Laguna Resort & Spa, Nusa Dua – Bali dan dihadiri oleh para pejabat bank dan lembaga keuangan dari beberapa negara di kawasan ASEAN, seperti: Singapura, Filipina, Brunei Darussalam dan Bhutan.

Turut hadir dalam pembukaan forum tersebut Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah dan Senior Director of the Asian Institute of Finance Malaysia Dr. Amat Taap Manshor yang memberikan kata sambutan secara bergantian.

Memasuki sesi diskusi, pembicara pertama Rajiv Biwas seorang Kepala Ekonom IHS Global Insight Asia mengatakan kepada para peserta bahwa ekonomi ASEAN memiliki tugas yang sangat penting sekali untuk menyediakan cadangan pembiayaan perdagangan lintas perbatasan disaat Bank Eropa mulai memangkas jalur perdagangan.

“Kita bisa melihat krisis terjadi setiap hari. Ekonomi-ekonomi negara berkembang di Asia Pasifik sudah mulai terpukul,” terang Rajiv Biwas di Forum tersebut seperti dikutip dari The Malaysian Reserve, Jum’at (25/11).

Paparan ini tertuang dalam diskusi sesi pertama yang mengangkat tema Sustaining Asia’s Growth in the New Financial Order. Selain menghadirkan Rajiv Biwas sebagai pembicara, Dato’ Ooi Sang Kuang (Chairman, CAGAMAS Berhad & Special Advisor to Bank Negara Malaysia) juga menjadi pembicara pada sesi ini dengan dimoderatori oleh Prof Dr Adrianus Mooy (LPPI's Honourable Faculty Member).

Sesi kedua pada forum ini mengangkat tema Asia’s Role in the new Global Financial Architecture dengan menghadirkan pembicara, antara lain: Dr. Suhaedi (Deputy Director Banking Regulation of Bank Indonesia), Dato’ Dr Nik Ramlah Mahmood (Managing Director, Securities Commission- Malaysia) dan Ito Warsito (President Director, Indonesia Stock Exchange) dengan dimoderatori oleh Dr Humayon Dar, (Managing Director & CEO of BMB Islamic Advisory Ltd, and Chairman of Edbiz Consulting Limited, UK).

Memasuki sesi ketiga di forum ini, diskusi roundtable dengan mengangkat tema Innovative Financial Inclusion – New Frontier in Financial Accessibility dengan menghadirkan pembicara, antara lain: Noor Ahmed (Head of Microfinance, State Bank of Pakistan), Christopher Tan (Regional Director, East and Southeast Asia, Grameen Foundation, Philippines), Eduardo C. Jimenez (Consultant on Micro-finance, Central Bank of the Philippine) dengan dimoderatori oleh Dr Amat Taap Manshor (Senior Director, Centres of Excellence, Asian Institute of Finance (AIF), Malaysia).

Dihari kedua Asian Finance Forum 2011, Jum’at (25/11), 2 sesi diselenggarakan berurutan. Dimulai dengan sesi pertama yang mengangkat tema Growth and Innovation in Islamic Finance yang menghadirkan pembicara, antara lain: Dato’ Sri Zukri Samat (Managing Director, Bank Islam Malaysia Berhad), Yuslam Fauzi (President Director of Bank Syariah Mandiri) dan Dr Humayon Dar (Managing Director & CEO of BMB Islamic Advisory Ltd, and Chairman of Edbiz Consulting Limited, UK) dengan dimoderatori oleh Dr Wan Nursofiza Wan Azmi (Senior Research Fellow, Asian Institute of Finance).

Sesi terakhir pada forum ini mengangkat tema Technological Innovation and Finance dengan menghadirkan pembicara, antara lain: Armand Hartono (Director of Bank Central Asia) dan Andrew Lai (Head of Payment Market Infrastructures, Asia Pacific, SWIFT, Singapore) dengan dimoderatori oleh Saifuddien Hasan (Director of Indonesian Banking Development Institute).

Friday, May 27, 2011

Bagaimana Sebuah Kampus Bisa Hidup?

Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) sebagai sebuah kampus teknik swasta tertua di Indonesia, nasibnya kini tinggal di ujung tanduk. Bagaimana tidak? Satu jurusan didalam sebuah fakultas dalam setiap semesternya hanya dapat menjaring 20-30 orang mahasiswa baru. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah jurusan terpaksa ditutup akibat dari tidak adanya mahasiswa baru yang mendaftar. Miris bukan?

Kenyataan tersebut bukan lantas menjadi hal yang harus diratapi atau malah membuat kita mengelus dada. Dari titik nadir inilah moment yang berharga hadir di tengah-tengah kita semua sebagai upaya merefleksikan dan membangkitkan kembali semangat yang dulu pernah dicetuskan oleh Prof. Dr. Ir. Rooseno dalam mendirikan ISTN.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa persaingan antar perguruan tinggi dalam menjaring calon mahasiswa baru terjadi di Indonesia. Tak heran jika persaingan ini memaksa kampus-kampus harus memutar otak untuk “mempercantik diri” agar dilirik oleh calon mahasiswa baru. Lalu, bagaimana dengan ISTN? Apa yang seharusnya ISTN lakukan untuk bisa bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi lainnya?

Setiap perguruan tinggi punya cirinya masing-masing, mulai dari label hingga isinya. Melalui tulisan ini, saya ingin memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana sebuah kampus bisa hidup ditengah-tengah persaingan yang saat ini sangat kompetitif. Saya perlu ingatkan bahwa tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah, namun hanya sebatas pengamatan empiris saya terhadap bidang yang saat ini tengah saya geluti.

Saat ini saya bekerja disebuah Lembaga Pendidikan kalangan perbankan, sebuah lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Yayasan Bank Indonesia. Walaupun masih mempunyai ikatan yang kuat dengan induknya, namun dari segi penghidupan, lembaga pendidikan ini amat sangat mandiri dalam menghidupi seluruh operasionalnya. Dan disetiap akhir tahun, melalui laporan keuangan, lembaga pendidikan ini dapat menghasilkan surplus yang luar biasa.

Ada cerita dibalik itu semua, cerita kesuksesan yang dimulai sejak saat penggantian pucuk pimpinan ditahun 2006 yang lalu. Perlu diketahui, pada tahun tersebut lembaga pendidikan ini hanya mendapati surplus sebesar 300 an Juta Rupiah. Jika mengingat lembaga pendidikan ini adalah “sekolahnya” kalangan perbankan, maka jumlah surplus tersebut bisa dibilang sangat minim untuk sebuah lembaga pendidikan yang memiliki gengsi.

Penggantian pucuk pimpinan, baik itu di tingkat yayasan maupun lembaga pendidikannya, menjadikan moment tersebut sebagai awal dari kebangkitan dan semangat baru dalam memikat bankir-bankir untuk mau mengikuti pendidikan dan pelatihan di lembaga pendidikan ini. Rencana strategis dan Road Map menuju tahun dimana Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mendatang, disusun sedemikian rupa agar lembaga pendidikan ini dapat mengimbangi gerak laju para pelaku bisnis perbankan.

Perombakan total dilakukan, mulai dari struktur organisasi yayasan dan lembaga pendidikan hingga struktur kepegawaian. Perombakan terhadap struktur organisasi dilakukan terhadap anak-anak perusahaan yang tidak menguntungkan yayasan, digabung menjadi satu dibawah naungan dan pengelolaan lembaga pendidikan. Struktur kepegawaian dianalisa, kompetensi karyawan terhadap mutu dan kualitas kerja jadi sorotan untuk dibenahi melalui perekrutan sumber daya manusia yang produktif dengan background pendidikan minimal S-1. Kesemuanya itu dalam kerangka pencapaian target visi dan misi lembaga untuk menjadi lembaga pengembangan perbankan dan jasa keuangan yang terpercaya dan terkemuka di ASEAN. Itu yang pertama..

Yang kedua, strategi menjalankan lembaga pendidikan dan manajemen bisnis agar dapat bersinergi serta menghasilkan income.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak perguruan tinggi yang harus memutar otak untuk bisa menyajikan mutu serta kualitas pendidikan yang baik dengan disokong oleh kinerja pelayanan yang searah. Memutar otak agar dapat menghasilkan surplus yang luar biasa untuk menunjang dan memenuhi tuntutan kebutuhan hidup para karyawannya serta menghasilkan lulusan yang berkompeten dalam persaingan dunia kerja.

Lalu, bagaimana caranya lembaga pendidikan ini memanajemen itu semua? Luas lahan yang dimiliki lembaga pendidikan ini tidak mencapai setengahnya dari luas total lahan yang ISTN miliki. Di lahan yang ada ini, berdiri berbagai macam fasilitas. Mulai dari ruang kantor, ruang kelas, ruang rapat, ruang serba guna, cafetaria, asrama, masjid, lapangan futsal hingga fitness center. Kesemuanya itu adalah asset berharga yg bisa dijadikan pundi-pundi uang.

Tak heran jika pendapatan terbesar dari lembaga pendidikan ini terdapat pada divisi pengelolaan kampus. Bayangkan, divisi pengelolaan kampus dalam setiap tahunnya ditargetkan menghasilkan lebih dari 50 persen dari total keseluruhan dibandingkan dengan target pendapatan divisi-divisi yang lain.

Apakah kemudian dengan keadaan itu semua lantas membuat lembaga pendidikan ini terlena dengan pendapatan yang luar biasa dari segi fasilitas dan meninggalkan visi dan misinya sebagai sebuah lembaga pendidikan? Fasilitas-fasilitas yang ada ini hanya sebagai kebutuhan pelengkap visi dan misi. Lembaga pendidikan ini tetap fokus pada upaya mengembangkan kompetensi para bankir. Sekitar 2 minggu yang lalu, lembaga pendidikan ini mengangkat 5 orang honorable faculty yang berasal dari mantan gubernur Bank Indonesia dan orang-orang yang memiliki reputasi dalam dunia perbankan sebagai “guru besar”.

Dalam jajaran posisi strategis dan pengajar lembaga pendidikan ini terdapat nama-nama yang mempunyai latar belakang dari dunia perbankan, seperti mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, mantan Direktur Utama BNI, Komisaris bank BTN dan setumpuk nama-nama lain. Artinya, dengan menempatkan orang-orang tersebut kedalam posisi penting diharapkan para bankir semakin “terpancing” untuk datang lalu kemudian “ditangkap” oleh fasilitas-fasilitas yang memadai.

Sistem pengolaan keuangannya pun diatur sedemikian rupa. Seluruh pendapatan yang ada dibagi dua, yang satu untuk pembenahan fasilitas kampus dan satu lagi untuk peningkatan gaji para karyawannya. Untuk yayasan, cukup dengan mendapat sisa dari pembagian tersebut. Total pendapatan bersih lembaga pendidikan ini per Desember 2010 setelah dibagi-bagi dengan biaya operasional, berdasarkan laporan keuangan lembaga, telah mencapai angka lebih dari Rp. 5 Milyar. Fantastis bukan?

Yang ketiga, point ini tidak kalah pentingnya dengan point-point sebelumnya, etos kerja dan budaya pelayanan yang diterapkan dan wajib dipegang teguh serta ditaati oleh seluruh karyawannya. Mengingat lembaga pendidikan ini hidup dari kunjungan para bankir-bankir, maka prinsip pelayanan sudah berlaku sejak pintu masuk dimana penjaga keamanan pun diharuskan untuk melakukan 2-5-2 (Istilah untuk tersenyum yang berarti, tarik ujung bibir 2 cm ke kiri dan 2 cm ke kanan ditahan selama 5 detik).

Sebagai tambahan sebelum penutup, lembaga pendidikan ini pada tanggal 7 April yang lalu telah diresmikan sebagai Hutan Kota oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Bila dibandingkan dengan luas dan hijaunya Kampus ISTN tercinta, lembaga pendidikan ini sangat terbatas area yang bisa ditanami oleh pohon. Tapi lembaga pendidikan ini mampu melakukan hal tersebut demi meningkatkan image. Sekali lagi, image itu dibangun untuk “memancing” para peserta kursus yang rata-rata dari kalangan perbankan agar mau datang dan mengikuti pendidikan dan pelatihan di lembaga ini.

Begitulah kira-kira gambaran yang bisa saya share, kiranya tulisan ini bisa menjadi masukan untuk kita semua dalam membangkitkan kembali ISTN dari tidur panjangnya. Sekian dan terima kasih. Salam..

Monday, January 24, 2011

LPPI – BI Gelar Dialog Perbankan 2011


Mengawali tahun 2011, LPPI bekerjasama dengan Bank Indonesia mengadakan Dialog Perbankan Tahun 2011 yang dilaksanakan di Ruang Serbaguna - Bumi LPPI, 24 Januari 2011. Dialog ini merupakan acara rutin LPPI setiap tahun dan juga sebagai kelanjutan dari Banker’s Dinner yang diadakan oleh Bank Indonesia beberapa hari lalu.

Dalam kata sambutan dipembukaan acara, Direktur Utama LPPI Subarjo Joyosumarto menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai arah kebijakan Bank Indonesia tahun 2011 yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di acara Banker’s Dinner yang meliputi kebijakan baru dalam penilaian tingkat kesehatan bank dengan memasukan unsur risk management dalam perhitungan tingkat kesehatan bank, dimana akan dilakukan pengukuran ketahanan bank dalam menghadapi risiko.

Kebijakan ini merupakan langkah untuk menghadapi ASEAN Economic Community, dimana sepuluh negara ASEAN akan diberlakukan sebagai sebuah negara besar tanpa ada batasan dalam kegiatan ekonomi, baik itu pergerakan barang maupun jasa dalam lingkungan negara ASEAN.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia siap menghadapi persaingan tersebut? Menilik pengalaman dideklarasikannya China ASEAN Free Trade Agreement sehingga perlu kesiapan yang cukup terutama pada industri perbankan.

Memasuki acara inti dari Dialog Perbankan Tahun 2011, hadir sebagai moderator Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti didampingi oleh para panelis yang berkompeten dibidangnya, seperti: Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Dr. Wimboh Santoso, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr. A. Tony Prasetiantono, Ketua Umum PERBANAS Drs. Sigit Pramono, MBA dan Direktur LPPI/Pengurus Pusat Ikatan Bankir Indonesia Dr. I. Supomo.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Dr. Wimboh Santoso sebagai panelis pertama melalui paparannya yang berjudul “Kebijakan Perbankan: Rational dan Implementasinya di Indonesia”, mengulas latar belakang dikeluarkannya kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2011 yang didasari oleh: Bank merupakan lembaga untuk transmisi kebijakan moneter, transformasi dana masyarakat oleh bank, risiko diambil alih dari pemilik dana oleh bank, asymmetric information vs moral hazard, timbul issu principal dan agency problem, kebijakan diperlukan untuk sistem keuangan dan perlindungan nasabah, public vs capture interest theory dan liberalisasi industri perbankan ASEAN.

Sehingga, dalam konteks systemic risk, risk externalities telah menimbulkan systemic risk, kebijakan perbankan perlu diarahkan agar bank bisa tahan terhadap systemic risk, kebijakan makro prudential untuk menjaga stabilitas sistem keuangan perlu diterapkan di perbankan dan transmisi kebijakan moneter tidak efektif tanpa didukung stabilitas sistem keuangan.

Paparan tersebut kemudian bermuara pada kebijakan perbankan di Indonesia yang meliputi: Kebijakan Penguatan Stabilitas Moneter, Kebijakan Makroprudential dan Kebijakan Mikroprudential yang melingkupi tiga aspek (Kebijakan Mendorong Peran Intermediasi, Kebijakan Meningkatkan Ketahanan Perbankan dan Penguatan Fungsi Pengawasan).

Panelis berikutnya adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr. A. Tony Prasetiantono, dalam paparannya yang berjudul “Economic Outlook 2011: Global Capital Flows, Double Dip Recessions, and Commodity Prices Pressuredijelaskan bahwa perekonomian global tahun 2010 lebih baik dari tahun 2009 yang lalu. Meski demikian, situasi masih penuh ketidakpastian dikarenakan masih terdapatnya peluang untuk terjadinya double-dip recession. Selain itu, capital flows besar-besaran dari negara-negara maju ke emerging markets terus terjadi ditambah dengan currency wars, Amerika Serikat yang memberlakukan quantitative easing (cetak uang), defisit APBN AS dan Eropa yang sangat besar, Indonesia yang kebanjiran capital inflows serta harga minyak dunia yang naik diikuti dengan harga komoditas.

Hingga akhirnya, mimpi BI untuk melakukan Redenominasi pada Bulan Juli 2010 tertunda, dikarenakan terjadinya Inflasi yang cukup tinggi di tahun 2010 sebesar 6,9 %.

Menurut Tony, redenominasi kuncinya adalah trust. Kestabilan ekonomi merupakan kunci untuk mendukung perkembangan perekonomian serta untuk menghindari pengalaman yang terjadi di Brazil karena melakukan redenominasi pada saat instabilitas ekonomi terjadi di negara tersebut.

Sehingga, kebijakan Suku Bunga (BI Rate) yang tetap diposisi 6,5 %, diperkirakan bulan depan akan naik dan akan mengalami peninjauan ulang. Kenaikan BI Rate tersebut dalam proyeksinya akan berkisar di angka 6,75% dengan alasan kemungkinan BI untuk mempertahankan lending rate yang rendah.

Namun dengan dinaikkannya BI Rate menjadi 6,75% tidak akan terlalu mempengaruhi pasar dikarenakan tingkat tersebut telah disesuaikan dengan inflasi, lagipula mempertahankan lending rate yang rendah akan meningkatkan risiko NPL, jelasnya lebih lanjut.

Panelis ketiga adalah Ketua Umum PERBANAS Drs. Sigit Pramono, MBA dalam paparannya yang berjudul “Prospek Ekonomi Dan Perbankan 2011”, menjelaskan tentang daya saing ekonomi Indonesia yang meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, dari posisi 42 menjadi 35.

Pencapaian Perbankan Indonesia 2010, seperti: Stabilitas sistem keuangan yang membaik (Financial Stability Index 1,75 - 2007/2008: 2,43), fungsi intermediasi meningkat dengan kredit mencapai Rp. 1.706 Trilliun, kredit bermasalah dibawah 5%, dana pihak ketiga Rp. 2.215 Trilliun, rasio kecukupan modal 16,9%, rasio kredit terhadap PDB 26,1% dengan undisbursed loan Rp. 556,8 Trilliun serta referensi dari Financial Sector Assessment Program (FSAP) yang mengatakan bahwa perbankan Indonesia mampu menghadapi kondisi krisis karena tingkat kepatuhan pada prinsip-prinsip pengawasan bank baik.

Namun disisi lain, beberapa kendala masih menjadi ganjalan penting terhadap pencapaian perbankan Indonesia tahun 2010, seperti: infrastruktur Indonesia yang masih banyak perlu perbaikan baik itu dari jalan-jalan negara dan infrastuktur lainnya, pasokan energy yang masih kurang, daya serap belanja pemerintah pusat dan daerah yang masih kurang serta ancaman eksternal yang datang dari luar seperti currency war yang dipengaruhi oleh kebijakan Amerika dan China dan ancaman perang Korea.

Jika hal-hal ini diperbaiki (infrastruktur, pasokan energy serta daya serap belanja pemerintah pusat dan daerah-red), maka optimisme pasar akan pertumbuhan year on year mencapai 7% seperti negara-negara asia lainnya akan terwujud, jelasnya lebih lanjut.

Sedangkan tantangan perbankan di tahun 2011, menurutnya terbagi menjadi 10 poin penting yang perlu disikapi, yaitu: kredit bank yang masih sulit dengan bunga yang tinggi, pengawasan perbankan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebijakan perbankan Bank Indonesia, kritik terhadap margin perbankan yang didefinisikan sebagai sebuah berkah atau sebuah musibah, implementasi standar internasional: best international practice vs best fit?, asing yang boleh memiliki bank di Indonesia hingga 99%, keterbatasan modal vs ekspansi kredit dan keharusan selalu memperbarui teknologi, belum adanya bank Indonesia berskala internasional yang berperan ditingkat regional, ketidaksiapan menghadapi pasar tunggal ASEAN dan yang tak kalah pentingnya adalah dinamika politik yang tidak menentu.

Sigit kemudian menyampaikan harapannya kepada Bank Indonesia terkait dengan paparannya agar Bank Indonesia mau mendengarkan masukan-masukan dari kalangan industri perbankan. Ini dimaksudkan agar Bank Indonesia tidak terkesan seperti memonopoli kebenaran yang menyangkut seluruh kebijakan yang telah diterapkan dan dirasa benar serta dapat diterima oleh kalangan industri perbankan.

Panelis terakhir dalam Dialog Perbankan Tahun 2011 adalah Direktur LPPI/Pengurus Pusat Ikatan Bankir Indonesia Dr. I. Supomo dengan makalahnya yang berjudul “Meningkatkan Kompetensi Bankir”. Dalam uraiannya dia menjelaskan mengenai perkembangan profesi bankir. Menurutnya, dahulu profesi bankir adalah profesi generalis, karena dahulu seorang bankir diharapkan mampu menguasi segala bidang dalam perbankan, sehingga bankir harus memiliki kompetensi melebihi profesi lainnya.

Perkembangan profesi bankir tidak serumit bankir dahulu, dimana bankir harus menjalani pola karir yang rumit layaknya obat nyamuk. Namun sekarang tidak lagi, saat ini perkembangan terbaru bankir telah beralih dari generalis menjadi spesialis dikarenakan oleh 3 faktor, yaitu: jumlah dan kompleksitas transaksi, permintaan nasabah dan persaingan (produk, layanan/proses, jaringan)

Program pengembangan profesionalisme bankir, merupakan langkah yang harus diambil oleh setiap anggota IBI yang akan menjadi standar bankir, dan diharapkan akan mulai diterapkan oleh seluruh bank di Indonesia.

Disinilah letak pentingnya lembaga pendidikan dalam rangka menstandarisasi kompetensi perbankan, dimana lembaga pendidikan tersebut harus telah merujuk kepada SKKNI agar berlaku nasional. Dengan begitu diharapkan lembaga pendidikan dapat bekerjasama dengan LSPP agar setiap bankir yang telah mengikuti pendidikan yang telah sesuai standar SKKNI agar dapat langsung disertifikasi.

Porsi terbesar yang mengikuti pelatihan dan pendidikan di LPPI masih di dominasi oleh bank-bank pemerintah, dikarenakan oleh faktor populasi dari bank-bank pemerintah merupakan yang terbesar. Hal ini juga yang mendasari BPD untuk mengejar target menjadi regional champion, sehingga dibutuhkan pelatihan dan pendidikan yang terus menerus dan continue, paparnya lebih lanjut mengakhiri.

Wednesday, December 15, 2010

Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat

I. Indonesia hari-hari ini...

Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi. Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali. Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri. Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.

Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.

Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya "sofistikasi" untuk sekedar memperlihatkan sifat "elitis" dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.

Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan "uang tunai". Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa "human development index" kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.

Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.

Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.

Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan "titik dan koma" suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.

Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat".

Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal". Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita "melihat dunia" melalui "kecerdasan" dan "perdamaian". Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika "nasionalisme", dan karena itu kedudukan primer konsep "warganegara" tidak cukup dipahami.

"Kewarganegaraan" adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa "kedaulatan rakyat" tidak pernah diberikan pada "wakil rakyat". Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada "si wakil", dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak sama dengan "mayoritarianisme". Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.

Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika "kesantunan" menyisihkan "kritisisme". Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah.

Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai "raja", "tuan", "pembesar" dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.

Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan "aturan politik feodal", aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.

Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat "toleran", sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.

II. Tetapi Republik harus tetap berdiri...

Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep "publik" pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang "ragu-ragu" inilah sesungguhnya yang dapat "membiarkan" demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan "ragu-ragu" ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu "keuntungan moral" di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.

Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.

Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.

Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap.

Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, "suasana" percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon politicon", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis.

Kemajemukan dan "suasana Republik", sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu "yang sosiologis" (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa "yang teologis" tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada "sumpah keempat": beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema "kebangsaan" yang bahkan disempitkan menjadi "keberagaman dan keberagamaan" (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.

Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh "masyarakat sipil", jauh sebelum diformalkan oleh "masyarakat politik" melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna "agamis" pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: "Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" .

Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya "di sini dan sekarang", bukan "nanti dan di sana". Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.

Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya, karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.

Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.

Di dalam republik, "kebenaran" disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya "kebenaran" dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa "kebenaran" itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang "kebenaran" itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih.

Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.

Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!

Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin "negara integralistik", suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.

Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: "itu rumah orang kafir lho!" Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.

Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan "crypto-politics". Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika "mayoritarianisme" itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik.

Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?

Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.

Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.

Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.

III. Dan kita adalah warganegara Dunia...

Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam "mantra penangkal bala" setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, "in-the-making", tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.

Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan "national brand", dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.

Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib" terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.

Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara.

Obsesi kita tentang "ke-Indonesia-an" hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi "kemajemukan baru", yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.

Perkembangan "ruang politik digital" itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.

Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif, untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis.

Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah.

Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi "manusia" hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.

Mengucapkan kemanusiaan sebagai "solidaritas etis" harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai "ruang antagonisme", berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh "pahala akhirat", melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.

Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!

So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang "politics of recognition". Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari "politik pengakuan" ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak "affirmative action" bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak "queer", karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.

Didalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas.

IV. Di Republic of Hope

Kita menyelenggarakan Republik bukan karena keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak ingin bersatu dalam urusan agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar untuk soal-soal akhirat.

Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis. Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah pada kecepatan pikiran dunia.

Di situlah suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan serba-tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.

Pepatah Italia mengingatkan: "Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam". Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of Fear. Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope.

Kita memelihara Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.


Terima kasih.
ROCKY GERUNG
(pengajar Filsafat UI- Sekarang Redaktur srimulyani.net)

presented by Rocky Gerung soft copy by Djoko Prasetyo Zx on Thursday, November 11, 2010 at 8:32pm