Wednesday, July 19, 2006

DOA YANG MENGANCAM

“Ya Tuhan, bertahun-tahun aku berdoa pada-Mu, memohon agar Kau lepaskan aku dari kemiskinan yang sekian lama menjerat kehidupanku, tapi nyatanya sampai kini aku tetap miskin dan bahkan bertambah miskin, hingga aku menganggap bahwa Engkau tak pernah mendengar doaku, apalagi mengabulkannya. Karena saat ini aku sudah tak punya apa-apa lagi selain badan dan sepasang pakaian yang kukenakan, aku ingin memohon pada-Mu untuk yang terakhir kali. Kalau sampai matahari terbit esok hari Engkau tak juga mengabulkan doaku, aku mohon ampun pada-Mu untuk yang terakhir kali pula, sebab setelah itu aku akan meninggalkan-Mu.”

Itulah doa terakhir Monsera, seorang penduduk miskin yang tinggal di pingiran Kota Ampari, ibu kota negeri Kalyana. Setelah itu ia menutup pintu rumah tempat tinggalnya, menguncinya dan menyerahkah kunci pada si empunya rumah yang telah berbulan-bulan menagih tunggakan uang sewa padanya.

“Suatu saat saya akan kembali untuk membayar utangku,”

Si empunya rumah cuma tersenyum sinis dan membiarkan Monsera pergi.

Monsera lalu berpamitan pada para tetangga, pemilik warung makan, pemilik toko kelontong, penjual minyak tanah, ialah semua yang berpiutang padanya dengan ucapan sama. “Suatu saat saya akan kembali untuk membayar utangku.” Dan semua juga membiarkannya pergi tanpa berharap Monsera akan menepati janjinya.

Lelaki berbadan kurus itu lalu meninggalkan ibu kota, berjalan kaki memasuki wilayah berhutan, mencari kelinci, umbi-umbian, dan buah-buahan, untuk bersantap malam, lalu tidur di dahan sebuah pohon besar; menanti datangnya pagi.

Monsera terbangun oleh tetesan embun yang membasahi mukanya, dan setelah itu tak bisa tidur lagi sampai ufuk timur memerah. Ia berdebar-debar menunggu terbitnya Matahari, berharap-harap cemas membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

“Apakah Tuhan mendengar doaku? Apakah Tuhan terusik oleh ancamanku?”

Sampai Matahari terbit dan Monsera meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan ini, tak ada kejadian istimewa terjadi. Monsera mulai kesal dan putus asa, tapi terus berjalan meninggalkan hutan dan memasuki padang rumput savana.

Seperti ingin bunuh diri, Monsera menantang teriknya Matahari tanpa berbekal setetes pun air dan menantang dinginnya malam tanpa berbekal selembar pun selimut. Pada hari ketujuh, Monsera tergeletak tanpa daya di atas permukaan rumput. Saat itu hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera.

Paginya, seorang saudagar kuda bernama Sinaro menemukan tubuh Monsera yang hangus dan mengiranya sudah jadi mayat. Sinaro menggali liang kubur, mendoakan Monsera dan menguburnya. Tapi begitu gumpalan tanah mengenai muka Monsera, mulutnya sedikit bergerak. Ternyata Monsera cuma mati suri. Sinaro kaget sekali dan membawa Monsera pulang ke rumahnya di negeri Salaban.


* * *
Setelah sebulan lebih dirawat keluarga Sinaro, luka bakar yang diderita Monsera berangsur sembuh. Kesadarannya berangsur pulih. Monsera mulai bisa bicara sepatah dua patah kata, tapi masih menderita amnesia. Masuk bulan ketiga barulah ingatannya kembali normal, dan bisa berbincang secara wajar dengan orang-orang disekitarnya.

Suatu hari Monsera tertarik pada foto lama keluarga ayah Sinaro yang ditaruh di atas almari pakaian. Lama Monsera mengamati foto itu, lalu menunjuk seorang bocah yang ada di situ dan menanyakannya pada Sinaro. “Ini saudaramu?”

Sinaro agak kaget, lalu bercerita dengan perasaan sedih. “Ya, namanya Sridar. Ia hilang waktu ikut perang saudara sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang tak pernah ada kepastian dia masih hidup atau sudah meninggal.”

“Dia masih hidup,” kata Monsera penuh kepastian. “Belum lama saya bertemu dia di Rodamar.”

Sinaro terperanjat. “Kamu yakin?”

“Saya yakin.”

“Tapi itu foto dua puluh lima tahun yang lalu, Monsera. Bagaimana kamu yakin yang kamu temui di Rodamar itu adalah Sridar adikku?”

“Sebaiknya kita sama-sama ke Rodamar. Sridar tinggal di salah-satu perumahan rakyat di pinggiran kota.”

Antara percaya dan tidak, Sinaro berangkat ke Rodamar bersama sanak saudara yang lain, mengikuti petunjuk Monsera. Tiga hari dua malam mereka berkuda menyeberangi padang pasir dan berhasil mencapai Rodamar dengan selamat. Dengan mudah Monsera menunjukkan jalan-jalan dalam kota yang harus dilalui, sampai akhirnya menemukan perumahan rakyat yang dimaksud. Dan berhasil menemukan Sridar!

Tak terkira betapa gembira Sinaro dan sanak-saudara lainnya, bisa berjumpa lagi dengan Sridar yang sudah sepuluh tahun mereka anggap hilang ini. Dan tak terkira pula rasa terima kasih mereka pada Monsera yang telah membantu menemukan Sridar.

Belakangan Monsera merasa takut dan heran pada dirinya sendiri, setelah sadar bahwa sebelum ini ia sama sekali belum pernah pergi ke Rodamar. Jadi bagaimana ia bisa tahu seorang bernama Sridar yang belum pernah dikenalnya tinggal di sebuah kota yang belum pernah didatanginya pula?

Sekembali ke rumah Sinaro, Monsera meminjam foto-foto yang lain, mengamati wajah-wajah dalam foto itu. Dalam waktu singkat ia ternyata bisa melihat perjalanan kehidupan orang yang diamatinya bagaikan sebuah film panjang. Melihat Sinaro waktu masih berpacaran. Melihat Sinaro melamar calon istrinya. Melihat istrinya melahirkan anak pertama. Dan melihat saat ini istrinya sedang berbelanja di pasar.

Tak ayal, kemampuan lebih yang dimiliki Monsera cepat diketahui orang-orang. Mereka berbondong-bondong mendatangi Monsera, menanyakan anak atau ayah atau suami atau sanak saudara mereka yang hilang pada waktu perang saudara. Banyak yang sedih setelah Monsera mengatakan yang mereka cari sudah meninggal. Namun banyak pula yang bergembira seperti Sinaro, berhasil bertemu kembali dengan yang selama ini menghilang entah ke mana. Hadiah berupa uang, emas, maupun barang-barang berharga lainnya, sebagai tanda terima kasih, mengalir deras ke pundi-pundi Monsera. Sampai akhirnya pemerintah negeri Salaban mendengar pula kehebatan Monsera, lalu mengangkat Monsera sebagai pejabat khusus di kepolisian dengan gaji yang sangat tinggi, dan memberinya tugas melacak para penjahat yang melarikan diri.

Monsera pun menjadi orang yang kaya raya. Dan ditengah-tengah kekayaannya yang melimpah itu, ia merasa dirinya telah berhasil mengancam Tuhan lewat doanya.


* * *
Setelah cukup lama berbakti bagi rakyat dan pemerintahan Salaban, Monsera pulang ke negerinya. Yang pertama dilakukannya ialah menemui para mantan tetangga, dan membayar semua piutang mereka. Setelah itu Monsera meninggalkan Kota Ampari, pergi ke sebuah dusun termiskin di negeri Kalyana, menemui ibunya yang selama ini ditinggalkannya begitu saja.

Si ibu yang tua dan renta nyaris tak mengenali Monsera yang gemuk dan bersih.

“Tuhan akhirnya mengabulkan doa saya, Ibu! Bahkan lebih dari sekedar terbebas dari kemiskinan, saya sekarang jadi kaya raya!”

Monsera lalu membawa ibunya pindah ke kota untuk tinggal bersamanya di sebuah kastil termegah dan termahal di Ampari yang sudah dibelinya. Kekayaan ibunya yang dibawa dari dusun cuma sebuah tas kecil berisi selembar kain dan foto-foto lama. Monsera membakar kain tua itu dan meminta para pembantunya membelikan lusinan kain sutera sebagai pengganti. Monsera membeli pula bingkai-bingkai emas untuk memasang foto-foto keluarga yang dibawa ibunya.

Monsera tersenyum sendiri melihat sebuah foto ibunya waktu masih muda.

“Cantik sekali,” gumam Monsera. Lalu, diluar kehendaknya, kilasan-kilasan gambaran masa lalu mulai berkelebat secara bening dan meyakinkan.

Seorang wanita bernama Lastina berdandan di muka cermin… Malam hari dia berjalan di kaki lima mengenakan pakaian seronok, melambai-lambaikan tangan pada setiap kereta kuda yang lewat, sampai salah satu berhenti dan membawanya pergi… Sekilas nampak Lastina digauli seorang pria… Lalu digauli pria lain di tempat lain pula… Lastina hamil, gagal menggugurkan kandungan, merayu seorang preman jalanan untuk minta dinikahi… Lastina menikah dengan preman itu… Si preman kaget setelah tahu Lastina sudah hamil… Si preman meninggalkan Lastina begitu saja… Lastina melahirkan anaknya… Dan diberi nama Monsera.


* * *
“Ini pasti salah! Tak mungkin ibuku seorang pelacur!” Monsera berteriak dalam hati sambil membuang foto-foto ditangannya. Perasaannya terguncang hebat, merasa begitu takut kalau pandangannya benar belaka. “Katakanlah padaku, ya, Tuhan, bahwa pandanganku kali ini keliru.”

Namun jawaban dari Tuhan dalam bentuk apa pun ta pernah diterimanya. Dan tetap saja setiap ia melihat foto ibunya, gambaran masa lalu yang kelam itu kembali berkerjap-kerjap. Bahkan kian lama kian benderang sekaligus menjijikkan.

Sampai akhirnya Monsera tak kuat bertahan dan memohon lagi kepada Tuhan. “Aku sungguh bersyukur Engkau telah memberiku rezeki yang berlimpah, ya, Tuhan, tapi sekarang tolong bebaskan aku dari keahlianku melihat masa lalu, dan kembalikan aku sebagai manusia biasa.”

Setelah sehari, dua hari, seminggu, sebulan Monsera terus berdoa dan berdoa, kemampuan supranaturalnya tak kunjung menghilang. Ia mulai tak sabar dan terucaplah ancaman seperti yang dulu pernah dilakukannya. “Kalau Kau tak juga mengabulkan doaku, ya, Tuhan, aku akan segera meninggalkan-Mu.”

Kali ini ia merasa ancamannya pada Tuhan sama sekali tak mempan. Sedikitpun tidak ada perubahan terjadi dalam dirinya. Lama-lama Monsera berpikir, jangan-jangan dengan ancamannya yang pertama dulu Tuhan marah dan lebih dulu meninggalkannya. Kalau memang begitu, segala mukjizat yang diterimanya selama ini bisa jadi bukan anugerah dari Tuhan, melainkan pemberian dari setan.

Maka Monsera pun berkata, “Hai, setan! Jangan kau siksa aku dengan pemberianmu yang justru membuatku menderita. Kembalikan aku seperti manusia biasa! Kalau kau tidak mau melakukannya, aku akan kembali mengabdi pada Tuhan!”

Seketika hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera.

Paginya, orang-orang menemukan tubuh Monsera yang hangus dan mati suri. Mereka berebut membawa Monsera ke rumah sakit terbaik. Pemerintah pusat menginstruksikan Departemen Kesehatan agar mengerahkan semua dokter ahli di seluruh negeri untuk menyelamatkan aset negara berupa manusia bernama Monsera ini.

Tak lebih dari sebulan Monsera tersadar dari mati surinya. Yang pertama dia lihat adalah seorang perawat jaga bernama Datim yang berwajah sedih. Monsera mengajaknya berkenalan dan bertanya kenapa Datim nampak sangat bersedih.

“Suami saya memohon izin pada saya untuk menikah lagi karena setelah delapan tahun menikah saya tak bisa memberinya anak,” jawab Datim.

Monsera terdiam menatap Datim. Tiba-tiba di luar kehendaknya, kilasan-kilasan adegan berkelebatan seperti biasa dia alami. Kali ini ia meihat Datim muntah-muntah di kamar mandi, lalu bicara dengan dokter yang mengucap selamat atas kehamilannya.

“Kenapa Tuan Monsera menatap saya seperti itu?”

“Aku lihat engkau hamil, Datim.”

“Ah. Tuan pandai menyenang-nyenangkan perasaan wanita. Kalau dalam benak Tuan terbayang di masa lalu saya hamil, tentulah saya sudah melahirkan atau malah anak saya sudah besar.”

Sekonyong-konyong Monsera menjadi cemas. “Jangan-jangan…”

“Jangan-jangan apa, Tuang Monsera?”

“Jangan-jangan aku melihat sesuatu yang belum terjadi.”

Ternyata benar! Seminggu setelah itu Datim muntah-muntah, pergi ke dokter dan dinyatakan hamil. Datim sangat gembira dan menceritakannya pada semua orang. Dalam tempo singkat seluruh warga negeri Kalyana tahu, bahwa sekarang Monsera bukan cuma bisa melihat kejadian yang sudah terjadi di masa lalu, tetapi juga kejadian yang belum terjadi di masa yang akan datang, hanya dengan menatap wajah orang yang akan mengalaminya. Maka berbondong-bondonglah orang mendatangi Monsera, menanyakan masa-depan pekerjaan mereka, jabatan, jodoh, vonis hakim, nomor undian, dan segala sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan oleh yang bersangkutan. Dan belakangan terbukti, bahwa yang dilihat secara maya oleh Monsera semuanya benar-benar terjadi!

Monsera kewalahan menampung imbalan berupa uang berjuta-juta, emas berkilo-kilo maupun berlian berkarat-karat, sampai ia sendiri tak sempat menghitung, apalagi menikmatinya. Sampai suatu saat ia merasa sangat lelah dan menyempatkan diri beristirahat sesaat, membasuh muka di wastafel, dan menatap wajahnya di cermin. Monsera pun tertegun. Tak lama kemudian muncul kilasan-kilasan kejadian sebagaimana selalu terjadi setiap ia menatap wajah seseorang…

Kali ini yang nampak ialah seorang lelaki kaya raya berwajah letih yang merasa bosan dengan kekayaannya, menyamar sebagai rakyat bersahaja dan lari dari rumahnya sendiri di tengah malam sunyi. Sekelompok penjahat mencegatnya, menodongkan senjata mereka ke tubuh laki-laki ini dan menghardiknya keras.

“Serahkan semua uangmu!”

“Saya tidak bawa uang sesen pun. Semua saya tinggal di rumah. Ambillah sesuka kalian kalau kalian mau.”

“Jangan main-main! Serahkan uangmu sekarang juga!”

Laki-laki ini mengulangi jawaban yang sama, hingga para penodongnya marah dan menghujamkan senjata mereka berkali-kali ke tubuhnya.

“Tidaaaak!” Monsera berteriak. “Aku tidak mau mati dengan cara begituuu!!!”

Tapi kali ini Monsera tak tahu lagi kepada siapa ia harus berdoa.


Jakarta, 29 Maret 2001



Cerpen Karya Jujur Prananto
Dari Cerpen Pilihan KOMPAS 2002

Thursday, July 06, 2006

AKHIRNYA KUTEMUKAN MEREKA YANG HILANG!

Berangsur-angsur Kamil menduga bahwa rangkaian kejadian yang pada akhirnya membawanya masuk rumah sakit ini ialah jebakan semata. Sebutir peluru melesat dari ujung laras sebuah senapan dan menembus dada kirinya pastilah cuma ilusi belaka. Dia bahkan telah memberanikan diri meraba permukaan kulit di balik ikatan perban, dan menemukan kenyataannya tak ada luka disitu.

Jadi kenapa saya harus masuk rumah sakit?” Jam menunjuk setengah tiga dini hari.

Lampu utama kamar perawatan telah lama dimatikan. Kamil bangkit duduk, mencabut pipa-pipa infus dan oksigen yang malang-melintang di sekitar tubuhnya, turun dari ranjang, berjingkat keluar ruangan dan setengah berlari menembus keremangan koridor rumah sakit menuju gerbang utama. Sepertinya malam begitu rakus mengisap semua suara, hingga suasana begitu senyap. Langkah-langkah Kamil sampai tak menyisakan desis apa pun, hingga para satpam yang tertidur di gardu depan sama sekali bergeming tatkala Kamil melintas dua meter di sampingnya.

Belakangan Kamil baru sadar bahwa ia tak pernah mengenal nama ruma sakit yang ditinggalinya selama entah berapa hari ini. Berarti selama masa tak sadarkan diri ia mungkin lebih dibawa ke kota lain, atau provinsi lain, atau jangan-jangan ke luar pulau.

“Jadi di mana sekarang saya berada?”

Kamil terus berjalan melintasi jalanan sepi yang terang benderang. Dia sangat berharap bisa berjumpa dengan seseorang yang mengenalnya, atau dikenalnya, atau sembarang orang yang paling tidak bisa dia tanyai seputar tempat keberadaan dirinya saat ini, tetapi bahkan orang yang sekadar masih terjaga saja sama sekali tak dijumpainya.

“Jadi kepada siapa saya harus bertanya?”

Pertanyaan ini ternyata tak terlalu lama tak berjawab, sebab agak jauh di depan sana tampak seorang pemuda berjalan sendirian ke arahnya. Langkahnya mencitrakan rasa percaya diri yang tinggi. Berangsur wajahnya tampak jelas, mulai tampak senyum di wajah yang teduh, dan Kamil merasa pernah mengenalnya. Oh, ternyata bukan Cuma pernah mengenalnya, tetapi sangat mengenalnya, karena dia adalah teman dekat, pernah jadi teman sekampus, seangkatan, satu kos-kosan, bahkan sekamar!

“Yusuf….??”

Pemuda ini tersenyum makin lebar dan berucap pelan, “Ya, Kamil.”

Kamil segera beringsut maju dan memeluk sahabatnya ini erat-erat. “Kamu ternyata masih hidup, Yusuf?”

“Ingat yang dulu pernah saya katakana ke kamu? Cepat atau lambat kita akan bertemu.”

“Lalu dimana selama ini kamu berada? Dua tahun lebih kamu menghilang, Suf! Segala upaya telah kami lakukan untuk mencari kamu, Ahmad, Agam, Budiman, dan yang lain, sampai foto kalian kami buat poster dan kami sebar ke seluruh Indonesia sebagai nama-nama korban penculikan yang sampai sekarang belum ditemukan.”

“Seperti yang kamu lihat, saya ada disini.”

“Tetapi, kenapa tidak pernah menemui kami? Kenapa kamu tidak mengikuti jejak teman-teman lain yang mengumumkan secara terbuka perihal penculikan yang mereka alami? Waktu itu mereka memang bebas bicara apa saja tanpa harus takut kepada siapapun, termasuk aparat kemanan.”

Yusuf terdiam beberapa saat menatap Kamil. Lalu melihat sekeliling dan bergumam lirih. “Saya tidak mungkin melakukannya, Kamil.”

“Kenapa?”

“Kamu tahu kita sekarang berada dimana?”

Kamil gantian terdiam. Ia ingat lagi bahwa ia akan bertanya tentang keberadaan dirinya kepada orang yang pertama dia temui.

“Memang kita di mana?”

“Nama tempat ini tidak penting, tetapi yang pasti dari sini saya tidak bisa bertemu dengan semua teman lama di Jakarta. Kamu pun akan merasa hal yang sama setelah berhasil melarikan diri dari rumah sakit.”

“Dari mana kamu tahu saya lari dari rmah sakit??”

“Tidak bisa bertemu teman-teman di Jakarta bukan berarti saya sama sekali buta perkembangan situasi, Kamil. Saya tahu kamu bentrok dengan aparat keamanan waktu melakukan demo ke Cendana. Sampai kamu tertembak dan masuk rumah sakit.”

“Tetapi, saya yakin itu cuma rekayasa, Suf, sebab ternyata saya sama sekali tidak terluka. Mereka cuma mengupayakan agar saya masuk rumah sakit, hingga bisa menahan saya di luar ketentuan hukum.”

“Saya dulu juga merasa mengalami hal yang sama. Sampai saya terbuang kemari dan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mendengar dan melihat.”

“Bukan begitu, Yusuf. Kamu cuma terlalu putus asa. Besok pagi kita sama-sama berusaha keluar dari tempat ini. Kembali ke Jakarta.”

Yusuf menghela nafas panjang. “Kembali ke Jakarta sebenarnya bukan masalah.”

“Jadi apa persoalannya?”

Yusuf menepuk pundak Kamil dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Berjalan meninggalkan jalan raya, berbelok memasuki lorong kecil menurun, menyisir tebing sampai ke dasarnya, ialah sebuah pantai yang begitu indah dan terang benderang oleh ribuan lampu yang menghiasi pada hampir setiap rumah serta pohon yang berdiri dan tumbuh sejajar garis pantai.

Kamil terpana. Terkesima melihat semua yang terbentang di hadapannya. Yusuf lalu membawanya ke sebuah rumah yang termegah di antara yang lain. Sebelum Yusuf mengetuk pintu, pintu itu sudah terlebih dulu terbuka, dibuka dari dalam oleh beberapa pemuda yang langsung memperlihatkan senumnya. “Selamat datang, Kamil.”

Kamil tercengang. Ahmad! Agam! Budiman! Mereka semua ada disini!

Maka terjadilah sebuah reuni yang mengharukan. Kamil merasa terbuai dalam sebuah mimpi yang teramat indah. Semua ternyata selamat. Semua masih hidup. Masih bisa tertawa dan bicara. Tetapi, kembali ke Jakarta?

“Kamu benar-benar ingin kembali ke Jakarta?” tanya mereka beramai-ramai.

“Tentu saja. Bukankah kita semua punya sanak-saudara di sana? Saya bahkan sudah berkeluarga. Anak-istri saya menanti saya pulang.”

Teman-teman Kamil saling berpandangan. Yusuf lalu membuka sebuah almari besi, mengambil sebotol minuman dari dalamnya dan memberikannya pada Kamil.

“Minumlah sampai habis. Kita akan melakukan sebuah perjalanan yang jauh dan melelahkan.”

Kamil menenggak minuman itu dan berangsur hilang kesadaran.

Entah berapa lama.

Sampai ia tersadar dan menemukan dirinya berada diruangan tertutup yang panas, pengab, dan menyesakkan. Yusuf dan yang lain ada disitu pula bersama-sama. “Kita ada di mana?”

“Ini adalah ruang tahanan tempat terakhir kita disekap,” Yusuf menjawab, dan kemudian menarik lengan Kamil, memintanya melongok ke sebuah jendela kecil berteralis besi lima belas mili.

“Kamu lihat orang-orang yang sedang bermain kartu itu? Yang berbadan paling besar ialah Sersan Mayor Hariman. Yang dua lagi Sersan Satu Sarkawi dan Sersan Dua Kusnen, yang bertugas memegangi kedua tangan dan kaki saya setiap Serma Hariman memasang kabel untuk menyetrum tubuh saya.”

“Kamu yakin mereka pelakunya?”

“Ya.”

“Kenapa tidak kamu laporkan ke teman-teman di kantor pusat?”

“Orang-orang ini cuma menjalankan perintah.”

“Bukankah dari mereka bisa dikorek keterangan tentang siapa yang memberi perintah pada mereka?”

“Semuanya sudah jelas,” Yusuf mengeluarkan gulungan kertas dari dalam tasnya dan memperlihatkannya ke Kamil. “Dokumen ini saya ambil dari lemari arsip mereka. Surat perintah dari komandan untuk menjalankan operasi melenyapkan kita.”

Kamil terperangah. “Kalau begitu kita bisa menuntut mereka secara hukum!”

“Sabar, Kamil. Sebaiknya kami antar kamu pulang dulu ke rumah.”


* * *
Jauh lewat tengah malam Kamil tiba di gerbang perumahan tempat tinggalnya, berjalan kaki melintasi gardu hansip yang didiami tiga peronda. Rupanya tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya, namun Kamil justru bersyukur bisa terus berjalan tanpa harus banyak berbasa-basi.

Kamil memang ingin segera bertemu Tanti, istrinya, dan si kecil Reza yang bulan depan baru akan berulang tahun pertama. Ia pun mempercepat langkah dan segera tiba di depan rumah.

Beberapa saat ia terpaku di depan pintu pagar, seperti ingin meneliti ada-tidaknya perubahan pada rumah itu setelah sekian lama dia tinggalkan. Yang pasti halaman depan pintu kotor dan sebagian rumput tampak mongering. Pastilah istrinya menjadi terlalu sibuk hingga tak sempat merawat keasrian halaman rumahnya ini.

Hati-hati Kamil membuka pintu pagar yang tak terkunci, nyaris tak bersuara, namun ternyata cukup mengagetkan seekor kucing yang semula tiduran di sofa teras. Kucing ini terlonjak bangkit dan menggeram keras, namun Kamil tak peduli dan terus melangkah ke pintu butulan. Diambilnya anak kunci yang seperti biasanya tersimpan di balik pot kaktus, lalu ia masuk ke dalam dengan perasaan berdebar.

Tanti sudah tertidur memeluk si kecil Reza yang terlelap pula ketika Kamil hati-hati membuka pintu kamar. Kamil tak tega membangunkan istri dan anaknya dan cuma berani secara lembut mencium kening dan pipi mereka, lalu membaringkan badannya di atas karpet di samping tempat tidur. Matanya terpejam, namun tak kunjung terlelap hingga jam di dinding menunjuk pukul lima. Saat itulah Tanti terbangun, turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mengambil air sembahyang. Kamil membuka mata dan hendak mengatakan, “Saya tidak tidur,” tetapi istrinya keburu menutup pintu. Seperti dirinya. Tanti juga tak pernah tega membangunkan orang tidur. Kamil lalu bangkit dan pindah ke tempat tidur; lama menatap si kecil Reza, mengelus-elus pipinya, menciumi tangannya. Tak lama kemudian anak ini terjaga, membuka matanya lebar-lebar. Kamil membuat ekspresi lucu dengan menggembungkan pipinya. Reza tertawa-tawa.

Sampai Tanti masuk kamar lagi dan terheran-heran melihat anaknya.

“Heeii, sudah bangun, ya? Tertawa sama siapa, sayang?”

Tanti lalu menggendong anaknya, mencium pipinya. Tak lama kemudian ibu Tanti melongok ke dalam, heran pula melihat cucunya sudah terbangun. “Tumben?”

“Sudah bangun kepagian, tidak menangis pula. Malah tertawa-tawa.”

“Dia melihat ayahnya, barangkali.”

“Ah, Ibu.”

“Mungkin saja suamimu belum ikhlas berpisah dengan kalian.”

Tanti mendekap anaknya erat-erat. Tetapi, ia sendiri kemudian merasa berdebar dan melihat sekeliling ruangan, lalu bertanya dengan nada berbisik. “Benar, sayang? Reza lihat ayah? Di mana? Bilang sama ayah, Reza sebentar lagi mau ulang tahun, ayah. Reza sayang ayah.”

Sekonyong-konyong tawa Reza terhenti. Lalu menangis keras dan menggapai-gapaikan tangannya ke arah pintu.”


Cerpen Jujur Prananto
Dari Cerpen Pilihan KOMPAS 2002