Monday, May 01, 2006

Hidup yang Berpindah..

Siang itu, ditengah teriknya sinar matahari, sekelompok anak-anak kecil terlihat tengah bersenda gurau ditepian sungai yang menampakan kejernihannya. Didepan sebuah kamp pengungsian di salah satu daerah di Kec. Sigli, Kab. Pidie, canda mereka siang itu mengundang senyum semua pasang mata yang memperhatikannya. Sebuah keceriaan anak-anak pengungsi yang terdampar dalam sebuah desa dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Sudah 2 bulan lamanya mereka berada dalam tenda pengungsian tersebut. Sejak gelombang tsunami memporak porandakan kampung halamannya, anak-anak malang itu harus berpisah untuk sementara waktu dengan suasana kampung halamannya dan berada dalam tenda pengungsian yang disediakan oleh relawan-relawan dari Jakarta. Dan sepenuhnya, kehidupan mereka saat ini sangat tergantung dari bantuan yang datang dari manapun untuk menyambung hidup mereka.

Keceriaan di siang hari itu ternyata tidak dimiliki oleh semua anak yang terhanyut dalam buaian bulir-bulir air sungai yang lembut membelai. Disalah satu sudut pinggiran sungai, nampak sesosok wajah murung dengan tatapan kosong, terdiam menatap keceriaan yang tengah memancingnya untuk ikut hanyut bersama. Rasa enggan yang begitu besar nampak dari raut wajah sipendiam diri tersebut. Dibawah kerimbunan pohon-pohon bambu, ia seakan lebih tertarik oleh ajakan hembusan angin daripada ikut basah dalam kubangan air.

Rahmat, nama si pemilik raut wajah yang murung itu. Dengan sedikit sapaan, lamunan yang sedang menutupi matanya memudar dan digantikan oleh sebuah senyum yang menyempil disudut mulut yang masih kaku. Tangannya kemudian menopang dahu yang semakin berat dengan beban, antara lamunan dan senyum yang tertahan.

Anak yang baru duduk dibangku kelas 5 sebuah sekolah dasar ini, punya alasan tersendiri atas kesendiriannya. Tidak mudah memang untuk membuat senyum yang tersudut itu menjadi sebuah gelak tawa yang mempesona dari sebuah jiwa yang masih menerima cerita kehidupan dengan lapang. Memperhatikan raut wajahnya saja, kita bisa mengartikan seribu satu perasaan duka yang masih menyelimuti jiwa anak sekecil itu apalagi jika kita memandang dengan penuh perasaan turut berduka, kita pasti akan mendapatkan sebuah cermin tentang harapannya yang masih panjang.

“Itu kamera seperti yang di televisi-televisi ya, bang…?, suara agak sayup itu tiba-tiba memecah ke

No comments: