Tuesday, June 06, 2006

Bob Marley, Revolusi, dan Perdamaian

Jalan Riang Menafsir Revolusi

Di tengah gemuruh revolusi dunia, tepatnya 6 Februari 1945, Bob Marley yang bernama asli Robert Nesta Marley lahir di Jamaika.

oleh Chavchay Syaifullah, Sastrawan Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat

It takes a revolution, to make a solution Too much confusion, so much frustrationI don't wanna live in the park Can't trust no shadows after darkSo, my friend, I wish that you could seeLike a bird in the tree, the prisoners must be free!(Revolution, Bob Marley)

Di tengah gemuruh revolusi dunia, tepatnya 6 Februari 1945, Bob Marley yang bernama asli Robert Nesta Marley lahir di Jamaika. Seperti anak kecil umumnya di sebuah negeri miskin, Bob pun ikut bekerja mencari nafkah.

Sepulang dari sekolah, ia bersama ibunya, Cedella Marley, membuat usaha pengelasan secara kecil-kecilan, meski Bob akhirnya menyadari potensinya bukan di situ. Lalu ia pilih bernyanyi dan bermusik dengan banyak belajar dari Joe Higgs, tetangganya di Kingstone, yang juga pemusik dan pencipta lagu.

Sejak itu dia aktif mempelajari musik, termasuk mengkonsumsi musik asal Amerika melalui radio. Begitu banyak aliran yang didengar, pilihan jatuh pada reggae. Dia pun banyak mempelajari musik-musik reggae dari para pendahulunya, seperti Jimmy Cliff dan Horace Andy.

Berkat Bob, reggae makin digemari khalayak. Musik serapan ska, calypso, dan mento ini terus mendayu menelisik telinga, menggerakkan tubuh.

Keberadaan ganja yang dihalalkan oleh Perdana Menteri Jamaika, Michael Manley, pada dekade 1970-an, ikut memberikan kontribusi bagi reggae. Ganja yang oleh kaum Rastafarian dianggap sebagai ritual dalam menegaskan diri sebagai manusia pencinta perdamaian dan kebersamaan hidup, ternyata sangat cocok dialognya dengan irama musik reggae.

Bob Marley bukan sekadar penyanyi. Dari buku yang ditulis Helmi Y. Haska, Bob Marley: Rasta, Reggae, Revolusi, kita kian tahu bahwa dia juga pejuang, penyeru revolusi, dan pengabdi kemerdekaan manusia dari segala bentuk penjajahan.

Dia bukan sekadar pengikut kaum Rastafarian, tapi telah menjadi guru bagi mereka. Ia juga tidak semata mengajak orang untuk selalu optimistis dalam memandang hidup, tapi ia telah mencontohkan itu sepanjang masa hidupnya.

Ketegaran Bob Marley terutama tampak saat tragedi penembakan pada 3 Desember 1976 menimpa dirinya. Tragedi itu tak membuat dia ciut, meski lengan dan dadanya ditembus peluru panas.

Bob makin tegas. Bahkan dua hari setelah peristiwa itu, ia tetap menggelar konser besarnya yang telah lama direncanakan, "Smile Jamaica", di arena National Heroes Circle. Konser ini digelar khusus untuk misi perdamaian menjelang pemilihan umum 15 Desember 1976 di Jamaika yang sedang berkecamuk.

Saat pertunjukan berakhir, Bob menunjukkan bekas luka tembak yang belum sembuh kepada para penggemarnya. Di atas panggung besar itu ia tertawa lantang. Menertawakan para penembak yang pengecut.

Sebagai musisi yang taat pada nilai-nilai kemanusiaan, Bob Marley selalu menyerukan perdamaian di setiap konsernya.

Tak berhenti di situ. Bob disebut ikut memberi dukungan moril dan materiil bagi perjuangan kemerdekaan negeri Zimbabwe dari nafsu imperialisme Inggris. Dia pun "terlibat" dengan kelompok perjuangan teologis sekte Rastafari asal Karibia. Musisi ini kian akrab dengan perjuangan kaum marginal di belahan negeri Afrika.

Dalam banyak tulisannya, sosiolog Antonio Gramsci pernah menyinggung kategori tokoh pinggiran semacam ini. Di setiap kelas sosial tertentu, perlu ada satu atau lebih kekuatan intelektual yang dapat merumuskan peran bersama dalam reformasi moral, intelektual, ekonomi, dan sosial.

Dengan demikian, setiap golongan dari yang besar hingga kecil mampu menciptakan kekuatan intelektualnya sendiri dalam menghadapi hegemoni. Itulah "intelektual lokal" yang oleh Gramsci disebut dengan "intelektual organik".

Rasa-rasanya tak berlebihan menyebut Bob Marley sebagai intelektual organik dari Jamaika yang miskin atau dari sekte Rastafarian yang bergelora itu. Sebagai penganut sekte Rastafari, Bob tahu persis bagaimana ia harus bersikap mengatasi kegagapan makna dalam janji perdamaian yang terbungkus rapi dalam kitab suci agama-agama formal.

Rastafarian sendiri merupakan wujud sekte yang lahir dari pemberontakan atas Judaisme dan Kristenitas. Rastafarian juga merupakan perlawanan atas warisan kesombongan Babilonia, seperti tecermin juga dalam otoritarianisme Mussolini yang menjajah tanah suci kaum Rastafarian, Ethiopia, pada 1935.

Pergolakan spiritual Bob Marley, dengan demikian, seiring dengan revolusi teologis kaum Rastafarian. Begitulah, dalam sejarahnya, kaum Rastafarian mengangkat Ras Tafari Makkonen sebagai Haile Selassie (raja segala raja) atau kurang-lebih "sejajar" sebagai pengejewantahan Tuhan.

Bob Marley makin meresapi hakikat kemanusiaan, saat dia (terpaksa) mengikuti wajib militer, dalam perantauan di Amerika Serikat. Musuhnya adalah Vietnam.

Dia lari dari kewajiban itu. Diam-diam, banyak karya lagu yang bersinggungan dengan revolusi, perang, politik, dan tragedi kemanusiaan lahir.

Coba saja kita perhatikan seruannya: "One love, one hearth. Let's get together and feel all right. Hear the children crying!" (One Love). Dengan riang, dia mengembuskan indahnya perdamaian.

-Koran TEMPO, 24 Juli 2005

No comments: