Monday, December 13, 2010

LPPI – BI GELAR SEMINAR PERANG KURS

Senin, 13 Desember 2010

Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menjadi tuan rumah penyelenggaraan seminar setengah hari dengan tema “Perang Kurs Dan Dampaknya Pada Arus Modal, Suku Bunga Dan Perekonomian Indonesia 2011” di Ruang Serbaguna – Kampus LPPI pada hari Senin, 13 Desember 2010. Seminar ini terselenggara berkat kerjasama LPPI dengan Bank Indonesia sebagai bahan evaluasi dan kajian mengenai kondisi ekonomi dan moneter Indonesia di tahun 2011 mendatang.

Hadir sebagai pembicara dalam kesempatan ini Deputi Gubernur Bank Indonesia Dr. Hartadi A. Sarwono, Komisaris Utama Bank BTPN Prof. (Emeritus) Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Senior Economist And Head Of Government Relations Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan dengan dimoderatori oleh Prof. Adrianus Mooy, Mantan Gubernur Bank Indonesia.

Dr. Hartadi A. Sarwono dalam makalahnya yang berjudul “Global Currency War: Latar Belakang, Respon Kebijakan dan Perekonomian Domestik,” memulai pembicaraan dengan anekdot yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega yang mengungkapkan istilah “perang kurs” pada pertemuan G-20 akibat kekesalannya karena sulit menemukan titik temu mengenai kesesuaian kebijakan dalam rangka menghadapi global economic inbalanced.

Perang kurs diawali oleh terjadinya ketidakseimbangan dalam hubungan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Perekonomian AS yang sangat konsumtif yang menjadi pusat krisis keuangan global tahun 2008 terus mengalami peningkatan defisit perdagangan terhadap China dalam beberapa tahun terakhir.

Situasi perekonomian Amerika Serikat yang semakin memburuk, membuat negara-negara anggota G-7 terpaksa mengambil kebijakan akhir ditengah situasi yang tidak kondusif, dimana rasa ketidakpuasan dengan negara anggota G-20 yang enggan menekan surplus GDP nya, untuk kemudian menggelontorkan stimulus The Fed.

Hal ini akan berdampak apabila aliran dana dari perang kurs yang tidak bisa diserap oleh industri di Amerika Serikat akan mengalir ke Emerging Market. Indonesia sebagai salah satu dari kriteria Emerging Market harus mewaspadai aliran dana yang tidak bisa diserap oleh Amerika Serikat tersebut.

Dikaitkan dengan kebijakan yang akan diambil oleh Indonesia, bahwa diperlukan suatu structural policies tidak hanya sebatas kebijakan moneter maupun fiskal. Hal ini dikarenakan situasi di Indonesia acapkali terjadi over-demand yang tidak diikuti dengan supply side seperti infrastruktur yang mendukungnya.

Sehingga dalam hal ini Indonesia akan mengambil kebijakan dalam rangka menghadapi inflow ini adalah kepada instrumen lain diluar SBI (jangka menengah-panjang) yang beliau sebut dengan kebijakan pilar I (putting sand in the wheel). Kebijakan ini ditunjukan dengan pengurangan lelang SBI, penambahan tenor SBI, serta penghapusan tenor SBI jangka pendek.

Pada akhirnya akan terdapat pembatasan minat investor asing (capital inflow) terhadap instrumen moneter (khususnya SBI) sehingga terjadi shifting dari SBI ke SUN (Surat Utang Negara) yang lebih bertenor jangka panjang. Beberapa indikasi yang masih belum terlihat dan diharapkan akan terlihat yakni shifting ke instrumen pasar modal lainnya yang bersifat jangka menengah-panjang.

Selanjutnya kebijakan pilar II (financial deepening to optimize capital flows into productive use)yang diambil adalah melakukan optimalisasi capital inflow tersebut kepada kegiatan perekonomian yang bersifat produktif. Untuk kebijakan pilar III (preventing the sudden reversal : Financial Safety Net) adalah tindakan yang besifat preventing (hati-hati) dengan tetap mengedepankan prinsip kehatian-hatian dalam mengelola capital inflow tersebut.

Preventing Action ini ditujukan untuk menghindari adanya reversal effect dimana terjadi kontraksi berlebihan pada pasar uang dan pasar modal yang mana Bank Indonesia diwajibkan untuk menjaga kestabilan tersebut. Salah satunya dengan mengendalikan apresiasi rupiah agar dapat tetap kompetitif dari segi ekspor.

Prof. (Emeritus) Dr. Dorodjatun Kunjtoro-Jakti dalam makalahnya yang berjudul “Perang Mata Uang 2010-2011 Sebuah Kenyataan Ataukah Sebuah Mitos: Perspektif Akhir 2010,” mengemukakan bahwa perang dingin kurs ini akan menjadi perang terbuka, hal ini didasarkan bahwa selain inbalanced economics juga dipengaruhi dari property sector dan equity market serta permasalahan lainnya yang ditengarai dengan crossborders situation.

Menurutnya, situasi ini telah biasa terjadi pada sistem perekonomian dunia. Salah satunya dikarenakan saat ini hampir seluruh negara menggunakan free floating exchange rates system. Rasa pesimis terhadap bank sentral dapat berperan maksimal dalam melakukan pengaturan dan pengambilan kebijakan, terlontar dari paparan beliau.

“Borderless situation sewaktu-waktu dapat berubah secara cepat dan merupakan hal yang mustahil apabila suatu negara akan menganut kembali fixed exchange rates. Sehingga, sulit sekali setiap negara saling berkoordinasi dalam menentukan kebijakan,” jelasnya lebih lanjut.

Pada akhirnya, solusi terbaik adalah masing-masing negara sebaiknya dapat mengatur perekonomian rumah tangganya sendiri secara baik. Kesimpulan akhir dari beliau adalah kurs bukan faktor yang dapat dikendalikan untuk kemudian dijadikan ajang persaingan.

Pembicara terakhir dalam seminar tersebut, Fauzi Ichsan melalui makalahnya yang berjudul “Indonesia Di Tahun 2011: Mengalahkan Kinerja Ekonomi Global,” menjelaskan bahwa dua komponen yang menyebabkan currency war dalam hal ini adalah akibat penekanan suku bunga serendah-rendahnya dan intervensi bank sentral ke pasar valas.

Dikaitkan dengan Indonesia, pada tahun lalu IHSG naik sekitar 120% (in USD) dan pada tahun 2010 juga mengalami kenaikan yang signifikan, yang diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2011. Kemudian dijelaskan bahwa kinerja IHSG sangat terpengaruh pada pergerakan mata uang rupiah dengan peningkatan yang tajam pada IHSG diikuti oleh penguatan IDR secara tajam dan penurunan CDS (Credit Default Swap) sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah menjadi alternatif utama para investor asing selain China dan India.

Dijelaskan pula, kecenderungan bank sentral di dunia beralih ke emas akibat dari sulitnya mencari instrument lain yang likuid. Situasi perekonomian dunia, sama dengan situasi di Indonesia yang mana demand side selalu tidak diimbangi dengan sektor riil (supply side) yang memadai dan berakibat pada Financial Asset Inflation. Hal ini dikarenakan kecenderungan investor lebih memilih melakukan investasi dalam bentuk saham yang berdampak menjadi hot money.

Pelemahan dalam penyerapan APBN yang hubungannya dengan sektor riil, dijelaskan bahwa bukan hanya permasalahan pembebasan lahan, ketakutan akan KPK, dll. Akan tetapi merupakan ongkos dari permasalahan kita semua dalam rangka menganut sistem demokrasi saat ini.

Pada akhirnya disimpulkan bahwa monetary policy bukan merupakan satu-satunya kunci dalam menghadapi situasi ini, namun juga perlunya struktur dan koordinasi kebijakan antar instansi. (adm/tp)

No comments: