Saturday, August 12, 2006

Yang Marah Di Aceh

MASJID adalah nama sebuah kampung di Aceh terletak di pinggir pantai. Wartawan The New York Times Jane Perlez mengunjungi desa itu, lalu melaporkan dalam korannya keadaan Masjid sesudah 19 bulan terjadinya tsunami. Rumah-rumah yang dibangun di sana oleh badan bantuan Save the Children (Selamatkan Kanak-kanak) terbukti tidak bisa di diami. Beberapa rumah di bangun dalam waktu tiga hari, kata penduduk. Pondasi gedung sekolah tetap tersia-siakan, ditanami oleh rerumputan.
"Penduduk marah. Para pekerja pemberi bantuan mengumber janji-janji, tetapi tidak berwujud kenyataan" ujar Innu Barkar, kepala desa sembari berjalan seputar rumah-rumah kosong tidak terhuni. Kehidupan di Aceh pasca tsunami bulan Desember 2004 telah jadi agak normal. Sebagian besar kanak-kanak bersekolah lagi. Jalanan dibangun lagi. Pasar-pasar terbuka penuh dengan produk hasil lokal. Pekerjaan tidak terlalu sulit mencarinya. Dan bahkan persetujuan damai antara pemerintah pusat dengan GAM tetap bertahan utuh.
Hampir tiap orang telah dipindahkan dari tenda-tenda berlumpur, kendati banyak keluarga masih mendiami bedeng-bedeng yang bobrok. Tetapi di bawah permukaan aktivitas terdapat suatu selubung ketidakpuasan terhadap badan-badan bantuan internasional. Suatu perasaan bahwa janji-janji muluk yang didukung oleh sumbangan-sumbangan yang tiada taranya, baik besar maupun kecil dari seputar dunia masih akan harus dipenuhi.
Bagi banyak orang jumlah 8,5 miliar dolar AS yang dikatakan oleh badan-badan kemanusiaan, pemerintah-pemerintah asing dan Indonesia akan dibelanjakan bagi pembangunan kembali Aceh tampaknya bagaikan suatu khayalan belaka. Dalam beberapa hal mereka benar. Sampai sekarang, Bank Dunia mengatakan hanya 1,5 miliar dolar AS dari 8,5 miliar dolar yang disumbangkan kepada malapetaka telah dikeluarkan.
Lebih daripada itu, banyak dari jumlah yang telah dikeluarkan tidaklah dibelanjakan dengan baik. Sebuah kritik pedas diterbitkan tanggal 14 Juli oleh Koalisi Evaluasi Tsunami, termasuk para ahli dari pemerintah-pemerintah Barat, PBB dan badan-badan bantuan internasional, dan didukung oleh mantan Presiden Bill Clinton telah membuat jelas bahwa penduduk desa-desa Aceh tidak hanya menggerutu. Banyak dari ratusan badan bantuan yang mengalir ke Aceh pasca tsunami telah memperlihatkan "kesombongan dan ketidaktahuan" dan seringkali punya staf-staf terdiri dari "pekerja-pekerja tidak becus (inkompeten)" yang datang dan pergi dengan cepat, kata laporan tersebut.
Meskipun bermilyar-milyar dolar berupa sumbangan (donations) yang berarti jumlah rekor 7100 dolar AS untuk setiap orang yang terkena (tsunami), berbanding dengan 3 dolar bagi setiap orang yang selamat dari banjir di Bangladesh tahun 2004, penduduk Aceh tidaklah melihat buah hasil kedermawanan itu, kata laporan tadi.
Penilaian yang dicatat oleh Bill Clinton dalam kata pengantar laporan mengandung "bacaan yang tidak enak", mengecam badan-badan bantuan karena memberikan lebih banyak perhatian kepada mengiklankan "brands" atau merek-merek mereka dan menerbitkan laporan-laporan yang memuji-muji diri sendiri ketimbang memberikan pertanggunganjawab atas pengeluaran-pengeluaran mereka.
Badan-badan bantuan internasional telah bertindak relatif bagus selama tiga bulan pertama sesudah tsunami, tatkala mereka menyerahkan bahan makanan dan air, dan menjauhkan penyakit-penyakit. Akan tetapi banyak dari sukses itu untuk sebagian besar adalah berkat organisasi-organisasi lokal, kata laporan. Bagi rekonstruksi jangka panjang, laporan mengatakan bahwa kekurangan keahlian (expertise) oleh badan-badan bantuan telah mengakibatkan "hasil-hasil brengsek".
Pembangunan rumah sesungguhnya adalah sumber utama keluh-kesah atau komplain. Di beberapa daerah kumpulan-kumpulan perumahan baru, dengan atap sengnya berkilauan di matahari tropis, telah bertumbuh subur di lanskap yang gersang. Di daerah-daerah lain, baris demi baris bedeng-bedeng bobrok yang membengkak dengan keluarga-keluarga bertumpukan dalam ruangan-ruangan kecil merupakan saksi dari lambannya pembangunan rumah baru keluarga. Secara keseluruhan kira-kira 25.000 rumah baru yang dibangun oleh jenis luas badan-badan bantuan telah diselesaikan dari jumlah 120.000 rumah yang diproyeksikan diperlukan adanya, demikian menurut badan PBB Habitat.
Banyak alasan mengapa harapan-harapan tidak terpenuhi, ujar Kuntoro Mangkusubroto, ketua badan rehabilitasi dan rekonstruksi Indonesia. Punya banyak uang dari sumbangan publik sebagaimana belum pernah dialami sebelumnya, badan-badan bantuan merasa dipaksa maju terus membangun rumah-rumah, sekalipun mereka kekurangan pengalaman. "Mereka bilang, Mari kita bangun". Mereka tidak bicara mengenai kontrak-kontrak, tidak ada perjanjian-perjanjian dengan para kontraktor. "Soalnya ialah bangun rumah, boom, boom, boom" ujar Kuntoro. Dia telah memberi peringatan kepada badan-badan bantuan. "Saya terus bilang kepada mereka bahwa jenis orang-orang yang mereka punya, cara mereka mengelola, harus berubah. Diperlukan waktu hingga akhir Desember yang lalu meyakinkan mereka untuk berubah" kata Kuntoro.
Kolom Rosihan Anwar
WASPADA online
07 Aug 06 16:25 WIB

1 comment:

istvan said...

keren sie om....cuma:
PPPPPPPPPUUUUUSSSSSIIIIIIIINNGGG
panjang bet...?hhhuuuhhh
pegel baca nye...
mending gout download bokep
ya kan....
ya kan....
ya kan....