Kasih sayang guru yang tak terlupakanKasihan ya, anak buaya itu..
Hujan terus menerus. Sungai Digul meluap dan arusnya deras. Pohon-pohon yang tumbang di hulu sungai Digul hanyut terbawa air yang mengalir deras. Kami yang tinggal di kampung B dan kampung C tidak kebanjiran, karena tempat perumahan kami cukup tinggi. Hanya ladang-ladang di tepi sungai Digul digenangi air. Dari rumah teman kami, Bedjo kecil anaknya oom Prawiro, ladang-ladang yang tergenang air itu bisa terlihat jelas. Ladangnya oom Matsari, oom Prawiro, oom Surodirodo, oom Wongsokarno dan lain-lain digenangi air. Air itu melebihi tingginya lanjaran kacang panjang. Biasanya kalau sudah kebanjiran seperti ini hanya tanaman kacang tanah yang bisa terus tumbuh dan bisa dipanen. Yang lainnya tak bisa diharapkan lagi.
Hujan belum juga reda. Pagi-pagi aku yang biasanya malas bangun digugah beberapa kali oleh adikku Rahmah. Rahmah memang rajin dan tak pernah terlambat bangun. Dan aku yang pemalas bangun, tetap ingin tidur. Selimut jarik (kain panjang) yang sudah lusuh dan penuh tambalan itu ditarik adikku Rahmah. “Bangun. Cepat sarapan. Telurnya yang setengah sudah kumakan. Sisanya setengah untuk mas Ribut (Ribut namapanggilanku waktu kecil). Cepat dikit. Nanti telat sekolah seperti kemarin. Untung meneer Said Ali tidak marah. Malu ‘kan?”
Aku segera bangun, cuci muka – tidak berani mandi karena dingin. Ibuku tidak marah, sebab ibuku tahu aku belum sembuh betul dari sakit malaria dan malariaku kronis. Waktu diopname di rumah sakit darah merahku hanya tinggal 40%. Aku tidak tahu cara menghitung darah, aku hanya menirukan apa yang dikatakan dokter Van Alderen ketika itu.
Setelah aku sarapan ibuku segera keluar rumah gerimisan memotong dua pelepah daun pisang raja di samping rumah. Dengan berpayungkan daun pisang itu kami berdua berangkat ke sekolah.
Aku dan adikku Rohmah berjalan hati-hati melewati rumah oom Nanang (Zainal Abidin), guru kami waktu kami sekolah di MES (Malay English School). Dulu ketika ayahku masih natura (natura adalah orang-orang buangan Digul yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda dan hanya mendapat catu berupa beras, kacang hijau, gula merah dan lain-lain dalam bentuk natura) kami sekolah di sekolah partikelir (swasta) tapi karena sekarang ayahku sudah tunduk kepada gubernemen dan mau bekerja di seberang (tempat tinggal para bb ambtenaar–bb singkatan dari binnenlands bestuur–pegawai pemerintah kolonial Belanda).
Oya, aku teruskan dulu perjalananku dan adikku ke sekolah. Setelah melewati rumah oom Nanang dan semak-semak kecil kami membelok ke kiri menuruni jurang menyeberang jembatan. Kemudian melewati rumah teman kami Rusdi anaknya oom Samingun, rumah oom Sadi, lewat jembatan di bawah pohon Loo, kemudian lewat rumah oom Sumo Taruno yang anaknya adalah mas Bedjo besar, yu Watiyem, Siti Natura gendut (namanya sama dengan anaknya oom Mohammad Amin atau oom Madamin adik yu Khamsinah)–dan terus berjalan melewati rumah Oom Sunaryo ayahnya mbak Sulastri yang sering dipanggil Black Kosong karena kulitnya memang cukup hitam manis, lewat rumah oom Nurati yang pintar melukis, lewat rumah meneer Said Ali guru kami, lewat rumah oom Sugoro (Sugoro yang memberi nama “Irian” utk New Guinea atau Papua), lewat rumah oom Sarpinudji kemudian menyeberang jalan lewat badminton baan dan sampailah di sekolah. Pakaianku dan pakaian adikku basah. Hanya sebagian kecil saja yang kering.
“Het is veel beter dan jullie niet naar school gaan,” kata meneer Said Ali. Rupanya guru kami itu merasa iba dan kasihan melihat kami basah kuyup.
Siapa bilang meneer Said Ali galak, kata hatiku. Meneer Said Ali memang sering memberi hukuman kepada anak-anak yang nakal dan beling. Tapi itu semua karena rasa kasih sayangnya kepada anak-anak didiknya.
Hari itu kami belajar tekun. Suara meneer Sujitno Reno Hadiwirijo kami dengarkan dengan tekun, diselingi suara bunyi hujan di atap sekolah yang terbuat dari seng. Temanku sekelas Mintargo, (anak oom Sarpinudji), Tri Harsono (anak oom Hardjo Prawito, Fadalat (anak oom Agus Sulaiman), Rukmini (anak oom Ibnu), Sukaesih (anak oom Djojo Penatas) dan lain-lain. semuanya belajar dengan rajin. Di kelasku ini tidak ada anak yang beling. Hanya kadang-kadang Mintargo teman akrabku itu suka nyelelek dan membuat teman-teman wanita marah.
Bel jam satu tanda pelajaran usai berbunyi. Dengan tertib kami mengemasi buku pelajaran dan berbaris keluar sekolah.
Mujur hujan sudah reda. Di langit awan putih masih menggantung menandakan masih akan hujan lagi. Temanku mas Supadmoyo (anaknya oom Hardjo Prawito kakaknya Triharsono) berlari-lari menghampiriku. Dia berbisik di telingaku, “nanti kita peraon, ya” (peraon – berperahu – main perahu). “Baklah, aku tunggu ya. Tapi jangan kesorean," jawabku.
Berperahu sambil Main dengan Anak Buaya
Sebenarnya siang itu aku harus pergi mengaji. Tapi karena aku merasa sudah hafal betul yang diajarkan oom Fakih (guru ngaji kami–kalau istilah sekarang biasa disebut ustadz), saya sengaja membolos.
Sekitar jam dua lewat temanku mas Supadmoyo dan adiknya Triharsono bersuit dari kejauhan. Aku segera keluar rumah, membawa Juzama dan pamit kepada emakku. “Mbok, aku pergi ngaji, ya,” kataku. Dan aku mencium tangan emakku yang lembut itu dan bergegas keluar rumah.
Dengan melewati halaman rumah oom Kadirun (rumahnya mas Suroso, yu Niswati, yu Siti Aisah, Sukarno, Sumono dan entah siapa lagi nama adik-adiknya) aku memasuki jalan di depan rumah oom Djojo Tugimin (ahli musik) dan kemudian bersama mas Supadmoyo dan Triharsono kami menyusuri jalan melewati rumah mbah Brahim, rumah oom Agus Sulaiman (rumah yu Suhaindah, mas Sayuti, yu Sutihat, Fadalat, Fatonah) dan langsung menuruni jurang yang menuju ke belik (sumur tempat mandi ) yang dibuat oleh oom Kadirun. Kami sampai di belik yang penuh air dibanjiri air sungai Digul yang banjir. Ya, di dekat belik itu ada sungai kecil atau anak sungai yang bermuara di Sungai Digul. Di tepi sungai kecil itulah perahu ayahku tertambat.
Perahu ayahku namanya “Entong” karena bentuknya memang mirip kepompong atau tempat ulat “bertapa” untuk menjadi kupu-kupu. Tapi walaupun perahu ini seperti kepompong bentuknya, lajunya bukan main dan mendayungnya tidak memakan banyak tenaga. Panjang perahu ini hampir 8 meter dan cukup lebar dan tidak oleng dan tidak mudah terbalik seperti perahu oom Subroto dari Malaria bestrijding yang bercat putih itu.
Rantai perahu segera kulepas dari tambatannya. Dengan Sigap mas Supadmoyo naik di haluan Triharsono naik di tengah dan aku naik dan duduk di bagian belakang (kemudi). Perahu mulai didayung dan aku mengemudikan perahu itu. Sungai kecil yang berkelak-kelok itu kami ikuti alir airnya dan sampailah kami di ladang yang digenangi air sungai Digul, lebar, lebar sekali seperti lautan.
“Jangan ke muara kali! Belok kiri saja ke bawah halaman rumah oom Nayoan. Di situ kita bisa berenang-renang dan kita pakai batang pisang sebagai pelampung,” kata mas Supad. “Dik Ribut harus belajar berenang sampai betul-betul bisa berenang, jangan berenang seperti kodok. Dan kamu Tri (Triharsono–adik mas Supad), ajari Ribut berenang, ya!" kata mas Supad lagi.
Perahu kubelokkan ke kiri menuju halamam rumah oom Nayoan yang kebanjiran. Halaman yang curam saja yang kebanjiran sehingga menyerupai kolam renang yang lebar dan luas, sedang rumahnya berada di tempat yang tinggi dan tidak dicapai air.
Perahu ditambat dan kami semua turun. Kami bertiga telanjang bulat. Pakaian kami taruh di tepian dan kami mulai berenang. Airnya segar dan bening (maksudnya tidak keruh seperti sungai-sungai di Jakarta). Air itu akan mulai butek kalau sungai Digul mulai surut.
Setelah agak lama kami berenang-renang, datang temanku Rusdi (anaknya oom Samingun), Bedjo (anaknya oom Prawiro) dan Sadjad (anaknya oom Wongso Karno). Mereka juga mau berenang-renang.
Walaupun aku berteman akrab dengan Rusdi waktu bermain layangan, tapi kalau berenang aku tidak mau berteman dengan dia karena beberapa kali aku hampir tenggelam berperahu dengan dia. Dia suka sekali membalikkan perahu karena dia memang pintar berenang sedangkan aku sendiri berenangnya masih seperti kodok. Aku lebih senang berperahu dengan mas Supad karena mas Supad mengajariku dengan penuh rasa kasih sayang seorang kakak. Mas Supad, Triharsono dan aku segera naik perahu lagi.
“Kemana?" tanyaku.
“Ke hilir,” jawab mas Supad.
Perahu segera kukemudikan ke hilir menuju ke arah rakit yang tertambat di bawah perengan Standard School Met Nederlands, yaitu satu-satunya sekolah gubernemen setingkat dengan HIS (Holands Inlandsche School) di Jawa. Mas Supad sudah kelas tujuh sedang Triharsono dan aku sendiri masih kelas lima.
Perahu melaju ke hilir di atas perladangan yang kebanjiran melewati rumah-rumah oom Soediyat, mbah Pawiro Sarjono, oom Sadi, oom Samingun, oom Sumo Taruno, oom Sunaryo, oom Nurati. Rumah-rumah itu kelihatan agak jauh dari ladang yang kebanjiran.
Setelah melewati gedung sandiwara bernama “Ontwikeling en Onspaningen” (gedung itu terletak di depan rumah oom Sutan Said Ali (guru kami dan kami menyebutnya dengan bahasa Belanda “meneer Said Ali”) sampailah kami di rakit.
Rakit ini bukan seperti rakit-rakit di sungai-sungai di pulau Jawa. Rakit ini besar dan lebar terbuat dari papan-papan tebal dan balok. Penghubung papan-papan balok ini bukan hanya paku-paku biasa tapi dengan sekrup besi besar-besar dan rakit ini ditambat dengan kabel sebesar pergelangan tanganku.
Di rakit inilah biasanya kalau sebulan sekali kapal Volmalhout, Albatros atau kapal lainnya membawa ransum (beras, kacang hijau, minyak tanah, kelapa dan entah apa lagi) datang dari Jawa, motor boatnya bersandar di rakit ini. Muatan motorboat yang terdiri dari beras, gula, kacang hijau dll. diturunkan di rakit ini dan kemudian oom-oom (orang buangan) mengankutinya ke gudang yang terletak di depan toko Tantui. Toko Tantui adalah satu-satunya toko orang Tionghwa di Digul. Ada juga warung-warung orang buangan misalnya warungnya oom Tambi, oom Yahya Malik Nasution, oom Wongso (pembuat roti) dan warung-warung lainnya – warung-warung kecil yang isi tokonya tidak selengkap toko Tantui.
Air sungai Digul mengalir sangat deras karena banjir. Banyak anak-anak lain yang bermain dan berenang-renang di rakit ini. Tapi kami (mas Supad, Triharsono dan aku tak berani berlama-lama. Kalau ketahuan bapak aku bermain perahu tentu aku dimarahi dan mungkin diikat lagi di bawah pohon jeruk dan digigiti semut ngangrang (semut besar merah) yang pedas sekali gigitannya. Tambatan rantai perahu di rakit kami lepas dan kami mulai mendayung ke arah hulu sungai. Karena arusnya deras kami harus mendayung sekuat tenaga.
Serumpun pohon pandan berduri kami lewati. Seekor anak buaya kuning bertengger di daun pandan yang menjuntai ke air sungai Digul. Anak buaya itu kami hampiri dan kami merasa kasihan kalau-kalau anak buaya itu jatuh ke air tentu akan terbawa arus air yang deras. Triharsono menangkap anak buaya itu dan menaikkannya ke dalam perahu. Anak buaya itu dielus-elus oleh Triharsono dan anak buaya itu diam saja. Sebentar-sebentar lidahnya terjulur keluar. Mungkin dia ingin menetek kata Tri. Mana ada buaya menetek, dia lapar. Kata mas Supad. Dengan membawa anak buaya itu kami terus mudik ke hulu menuju halaman rumah oom Nayoan dan terus ke arah kali bening tempat semula.
Sampai di kali bening aku menoleh ke belakang. Aku terkejut. Induk buaya mengikuti kami.
“Mas Supad, induk buaya itu mengikuti kita,” kataku.
“Biar, biar saja ikut ke rumah kita. Nanti semuanya kita pelihara. Jadi nanti di rumah kita ada kucing, anjing kita si Tupon dan burung nori dan kakatua. Kita beri makan sagu di satu piring agar mereka belajar hidup rukun seperti kita,” jawab mas Supad.
“Ah, tapi aku takut. Induk buaya itu makin dekat, Dia menyentuh dayungku. Kita lepaskan saja anaknya di lanjaran kacang panjang itu,” kataku.
“Mbok, mbok buaya kuning, jangan marah ya. Kita kan bersahabat. Kami sedikit pun tidak menyakiti anakmu, Kami hanya ingin bermain bersama. Mbok buaya juga boleh main ke rumah kami. Nah anakmu kami tenggerkan di lanjaran ini. Tapi hati-hati ya, gendong anakmu pulang.” Kataku.
Nah begitulah. Kami lepaskan anak buaya itu dan segera mengayuh perahu ke arah belik oom Kadirun. Kami segera sampai. Perahu segera kutambatkan di tempat semula dan kami bertiga bergegas pulang ke rumah masing-masing.
Oleh: Tri Ramidjo
Tangerang, Senin Wage 13 Nopember 2006
No comments:
Post a Comment