Ia termasuk tapol yang mujur dalam arti memiliki kesempatan menulis buku harian selama beberapa tahun (1966-1971). Ketika itu ia bersama ratusan tapol lain dijadikan romusa modern melakukan kerja rodi di daerah Banten dalam proyek Angkatan Darat yang disebut ’Operasi Bhakti Siliwangi’, antara lain memperbaiki jalan-jalan di daerah Banten sepanjang beberapa puluh kilometer, membangun kampus Universitas Maulana Yusuf (UNMA), antena radio persiapan RRI Serang, membersihkan pelabuhan Karangantu. Piringan hitam yang diputar di radio itu ternyata miliknya yang dibawanya dari Moskwa dan telah dirampas dari kamar asramanya di Cilegon. Kesempatan menulis buku harian merupakan barang langka, bahkan suatu kemewahan bagi seorang tapol G30S. Pena, kertas, buku, informasi dan perangkat peradaban lain merupakan musuh besar bagi rezim penindas jika jatuh ditangan mereka yang dianggap lawan politiknya.
Dalam salah satu catatannya, cukup menarik bahwa penangkapan di Banten dilakukan sejak dini. Minggu, 3 Oktober 1965, Ir. Soerjo Darsono diambil oleh Polisi dari mes di Serang dan dibawa ke Cilegon. Pada suatu hari pasti datang pula giliran kami yang lain, karena suasana menyudutkan PKI dan organisasi-organisasi massa yang dianggap ada kaitannya dengan PKI semakin gencar. Aparat didaerah terkesan lebih rajin mendahului Jakarta. Begitu cepatnya vonis dijatuhkan kepada PKI dan organisasi mantelnya, atau sesuatu yang memang sudah diatur demikian? Sebagai tapol, Ir. DSM Sastrosudirdjo sadar buku harian yang ditulisnya mengandung risiko. Dengan demikian ia secara sadar pula menerapkan berbagai kiat berkelit. Sebagian catatan itu dibuatnya dalam bahasa Rusia dengan huruf Kiril, juga dengan huruf Jawa dalam bahasa Jawa. Selanjutnya secara berangsur dikirimkannya melalui saudara kandung yang menjenguknya untuk disimpan bersama buku-buku koleksi miliknya yang sebagian masih dapat diselamatkan. Dengan masgul ia mencatat ketika melihat sebuah buku tebal kamus teknik yang dibawanya dari Moskwa dijadikan ganjal korsi jaksa yang memeriksanya, ”Ia seorang terpelajar bergelar sarjana hukum, tetapi belum berbudaya.”
Ketika menjadi mahasiswa di ITB Bandung, ia memasuki CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang digolongkan sebagai mantel PKI dengan pertimbangan sederhana, tidak ada perploncoan. Ketika ia memilih studi ke Moskwa dalam jurusan metalurgi, hal itu pun dilakukannya dengan pertimbangan lugas, pabrik baja pertama Indonesia di Cilegon dengan bantuan dan teknologi Uni Soviet. Tidak ada pertimbangan dan semangat politik atau ideologi yang menggebu sebagai yang menjadi kecenderungan umum masa itu sebagai respons terhadap retorika politik kebangsaan Presiden Sukarno. Dengan penuh idealisme ia menimba ilmu yang akan berguna bagi tanah air tercinta. Semangat semacam itulah yang terus-menerus dipeliharanya dalam bertahan hidup selama 12 tahun sebagai tapol di tahanan, kerja rodi dan pembuangan dalam solidaritas tinggi sebagai bagian watak pribadinya. Ia menjadi anggota SBBT (Sarekat Buruh Baja Trikora) beberapa bulan sebelum meletusnya G30S, ia bukan anggota resmi ataupun anggota ilegal PKI, bahkan ia pun bukan penganut Marxisme. Pernyataan ini tidak ada urusannya dengan pemaafan, pujian atau memandang rendah. Kenyataan itu merupakan salah satu petunjuk penindasan yang dilakukan rezim yang berkuasa dilakukan terhadap seluruh elemen yang dianggap membahayakan sang rezim.
Bagi banyak aktivis organisasi (kiri), dipenjarakan bukan merupakan kejutan besar tanpa disangka, meskipun pembunuhan besar-besaran tetap merupakan hal yang tidak diperhitungkan bahkan oleh para petinggi PKI pun. Bagi para aktivis hal itu merupakan risiko sikap politik yang dipilihnya. Sebaliknya bagi Ir. DSM Sastrosudirdo sesuatu yang tak pernah terlintas dibenaknya. Ia belajar, bekerja, belajar berorganisasi tanpa melakukan kalkulasi politik, tetapi lebih dibimbing oleh kata hati nurani tanpa pamrih apa pun kecuali ingin berbuat sebaiknya untuk negeri ini melalui kemampuan dan studinya. Di tengah kemelut tercemplung sebagai tapol pekerja rodi dengan nasib tidak menentu, ia masih sempat meneruskan hobinya untuk belajar bahasa Italia. Ia mengulang mimpi Italianya yang menjadi kenyataan ketika sedang studi di Moskwa, berkeliling ke berbagai pelosok Italia sebagai tamu kehormatan sejumlah keluarga pada suatu libur musim panas pada 1962.
Perjalanan gratis itu diorganisasikan oleh koran penting Italia, L’Unita, sebagai tanggapan terhadap surat pembaca yang ditulisnya dari Moskwa. Di samping sempat melempar tiga koin di Fontana di Trevi, Roma, ala film dan lagu romantis Three Coins in the Fountain, tempat ratusan turis tiap hari berduyun-duyun datang untuk melempar koin. Ia pun sempat didaftar sebagai anggota kehormatan Pemuda Anti Fasis. Dalam kunjungannya ke kota Grosseto, bagian dari agenda koran L’Unita, tempat partai komunis memenangkan pemilu lokal, dirinya disambut bak tamu agung. Dalam hatinya sempat malu karena merasa dirinya seorang pemuda yang bukan apa-apa. ”Tuan rumah yang menyambutku tahu benar aku bukan tokoh, hanya seorang mahasiswa dari negeri jauh. Benar-benar sambutan luar biasa yang mengharukan. Aku dibawa ke Balai Kota diperkenalkan pada walikota yang tengah rapat, ada kepala polisi dan beberapa pejabat tingkat daerah. Semuanya menyambut dengan antusias dan bukan basa-basi, bahkan aku diantar salah seorang dari pejabat daerah untuk meninjau sebuah proyek, Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Lardarello. Di kota ini aku tinggal bersama keluarga muda Barzanti Nedo, di via Porto Lorento 47. Rupanya ada pula orang Italia yang mengenakan semacam bakiak kayu di rumah, aku pun mengikuti cara mereka. Mimpi pun berakhir, ia mendapati dirinya masih sebagai tapol. Ia tak pernah menyesal akan keputusan-keputusannya, akan nasib yang menimpanya.
Menurut catatannya urusan korupsi sudah dihadapinya ketika dia baru saja bekerja di Proyek Pabrik Baja Trikora di Cilegon, bagian penerimaan barang-barang dari Uni Soviet. Ketika itu, Ir. Tunky Ariwibowo yang kelak menjadi orang penting Orde Baru juga bekerja ditempat yang sama. ”Pengalaman baru juga kujumpai di Cilegon, korupsi dalam bentuknya yang begitu telanjang tanpa tedeng aling-aling, dibicarakan dengan santai tanpa rasa bersalah atau malu. Di awal 1965 sebagian pekerjaan pengangkutan barang eks Rusia dari Tanjung Priok ke Cilegon diborongkan pada kontraktor yang memiliki armada angkutan cukup besar, Direktorat Angkutan Angkatan Darat (DAAD), bagian dari Angkatan Darat. Proses negosiasi penentuan tarifnya tidaklah kuketahui, di atasku ada pimpinan lebih tinggi, Ir. Lintong Toruan dan diatasnya Ir. Tunky Ariwibowo. Sebagai tenaga pelaksana dan pengawas dilapangan aku tinggal menerima kiriman barang di Cilegon, menghitung kubikasi barang yang sebagian besar berbentuk peti kayu atau tonase yang dibongkar dilapangan, kemudian mengakurkan dengan tagihan kontraktor untuk periode yang sama. Suatu kali terjadi selisih begitu besar, kontraktor mengirim seorang petugas berpangkat letnan satu membawa tagihan Rp. 121.000.000. Menurut perhitunganku, dalam periode tagihan yang sama nilainya hanya Rp. 96.000.000, selisih Rp. 25.000.000.
Utusan dari Jakarta bersikukuh jumlah tagihannya sebesar angka tersebut, sedang aku pun bersikeras dengan catatanku. Karena tidak tercapai kata sepakat, datang atasan sang letnan satu, seorang letnan kolonel. Beberapa kali tidak berhasil rupanya membuat Pak Letkol putus asa, dia datang ke asrama malam hari dan meminta berbicara empat mata. Malam itu dia berterus terang mengatakan sebenarnya dia pun tahu nilai tagihan sebenarnya 96 juta, tetapi sengaja dinaikkan menjadi 121 juta. Antara percaya dan tidak, dalam hati kubayangkan dinaikkan 25 juta, kenaikan lebih dari 25 prosen, untuk siapa saja? Pak Letkol berjanji memberiku sekian, lalu siapa lagi yang diberi janji? Kalau berita acara penerimaan barang kuteken, atasanku akan langsung memberi tanda ’Acc’ dan kuitansi akan dibayar oleh Bagian Keuangan. Sebagai perbandingan gaji pokok sebagai Pegawai Negeri golongan F-2 saat itu Rp. 17.200 ditambah tunjangan beras dan lain-lain bisa mencapai Rp. 40.000. Dengan tegas kukatakan kepada Pak Letkol aku tidak akan meneken Berita Acara yang keliru tersebut. Beberapa kali Pak Letkol mengirim utusan dari Jakarta mendesak, datang dengan memakai pakaian seragam militer dan sekian kali pakai pakaian sipil, tetap kutolak. Akhirnya dia pun menyerah mengubah Berita Acara sesuai data yang benar, saat disodorkan aku bilang, “Kalau angka ini yang Bapak sodorkan, dari dulu sudah saya teken”. Itulah korupsi telanjang tersebut.
Sekalipun studi dan pekerjaannya dibidang teknik, perhatiannya sangat luas pada bidang-bidang lain, ekonomi, politik, sosial, sejarah, sastra, musik, bahasa, ekologi, dengan demikian catatannya berwarna-warni penuh dengan aspek kemanusiaan. Bertahun-tahun ia terlatih menulis catatan harian, selalu memberikan deskripsi dengan teliti dan rinci, mudah bagi kita membayangkannya. Catatan yang dibuatnya akan dapat dijadikan bahan dasar menarik bagi pembuat film yang berminat. Sebagai seorang tapol yang sedang bekerja rodi, ia masih sempat memikirkan soal sejarah Banten yang hilang karena penemuan benda-benda bersejarah ketika dilakukan pengerukan pelabuhan kuno Karangantu tidak didokumentasikan. Ia sempat membuat uraian tentang gagasan Propinsi Banten yang dewasa ini sudah menjadi kenyataan.
Ketika membaca majalah luar negeri (Februari 1970) tentang kekayaan seorang pejabat Orba sebesar 38 juta dollar, ia langsung menghitung. Ongkos seorang tapol ketika itu Rp. 35/hari, jika dijadikan Rp. 100 maka tiap tapol akan makan kenyang bergizi. Dengan kurs Rp. 378 masa itu, maka sang koruptor dapat memelihara 500 budak tapol yang ada di Banten dengan kenyang bergizi selama 554 tahun. Perhitungan sederhana yang pahit ini menggugah renungan kita. Selama lebih dari 30 tahun ini berapa miliar dollar kekayaan negeri ini telah dijarah oleh para penguasa dan pengusaha hitam. Berapa miliar dollar dana yang telah terakumulasi mereka kuasai dengan segala macam cara? Bukankah kini dengan dana tersebut mereka dapat memperbudak jutaan rakyat, 200 juta rakyat Indonesia? Karenanya money politics merupakan ancaman nyata yang telah dan akan terjadi, tidak aneh jika reformasi baru kulit tanpa isi.
(Sebagian pengantar naskah belum terbit Ir Djoko Sri Muljono, Banten Seabad Setelah Max Havelaar, Catatan Seorang Tapol 12 Tahun Dalam Tahanan, Kerja Rodi & Pembuangan, penyunting dan pengantar oleh Harsutejo)
Dalam salah satu catatannya, cukup menarik bahwa penangkapan di Banten dilakukan sejak dini. Minggu, 3 Oktober 1965, Ir. Soerjo Darsono diambil oleh Polisi dari mes di Serang dan dibawa ke Cilegon. Pada suatu hari pasti datang pula giliran kami yang lain, karena suasana menyudutkan PKI dan organisasi-organisasi massa yang dianggap ada kaitannya dengan PKI semakin gencar. Aparat didaerah terkesan lebih rajin mendahului Jakarta. Begitu cepatnya vonis dijatuhkan kepada PKI dan organisasi mantelnya, atau sesuatu yang memang sudah diatur demikian? Sebagai tapol, Ir. DSM Sastrosudirdjo sadar buku harian yang ditulisnya mengandung risiko. Dengan demikian ia secara sadar pula menerapkan berbagai kiat berkelit. Sebagian catatan itu dibuatnya dalam bahasa Rusia dengan huruf Kiril, juga dengan huruf Jawa dalam bahasa Jawa. Selanjutnya secara berangsur dikirimkannya melalui saudara kandung yang menjenguknya untuk disimpan bersama buku-buku koleksi miliknya yang sebagian masih dapat diselamatkan. Dengan masgul ia mencatat ketika melihat sebuah buku tebal kamus teknik yang dibawanya dari Moskwa dijadikan ganjal korsi jaksa yang memeriksanya, ”Ia seorang terpelajar bergelar sarjana hukum, tetapi belum berbudaya.”
Ketika menjadi mahasiswa di ITB Bandung, ia memasuki CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang digolongkan sebagai mantel PKI dengan pertimbangan sederhana, tidak ada perploncoan. Ketika ia memilih studi ke Moskwa dalam jurusan metalurgi, hal itu pun dilakukannya dengan pertimbangan lugas, pabrik baja pertama Indonesia di Cilegon dengan bantuan dan teknologi Uni Soviet. Tidak ada pertimbangan dan semangat politik atau ideologi yang menggebu sebagai yang menjadi kecenderungan umum masa itu sebagai respons terhadap retorika politik kebangsaan Presiden Sukarno. Dengan penuh idealisme ia menimba ilmu yang akan berguna bagi tanah air tercinta. Semangat semacam itulah yang terus-menerus dipeliharanya dalam bertahan hidup selama 12 tahun sebagai tapol di tahanan, kerja rodi dan pembuangan dalam solidaritas tinggi sebagai bagian watak pribadinya. Ia menjadi anggota SBBT (Sarekat Buruh Baja Trikora) beberapa bulan sebelum meletusnya G30S, ia bukan anggota resmi ataupun anggota ilegal PKI, bahkan ia pun bukan penganut Marxisme. Pernyataan ini tidak ada urusannya dengan pemaafan, pujian atau memandang rendah. Kenyataan itu merupakan salah satu petunjuk penindasan yang dilakukan rezim yang berkuasa dilakukan terhadap seluruh elemen yang dianggap membahayakan sang rezim.
Bagi banyak aktivis organisasi (kiri), dipenjarakan bukan merupakan kejutan besar tanpa disangka, meskipun pembunuhan besar-besaran tetap merupakan hal yang tidak diperhitungkan bahkan oleh para petinggi PKI pun. Bagi para aktivis hal itu merupakan risiko sikap politik yang dipilihnya. Sebaliknya bagi Ir. DSM Sastrosudirdo sesuatu yang tak pernah terlintas dibenaknya. Ia belajar, bekerja, belajar berorganisasi tanpa melakukan kalkulasi politik, tetapi lebih dibimbing oleh kata hati nurani tanpa pamrih apa pun kecuali ingin berbuat sebaiknya untuk negeri ini melalui kemampuan dan studinya. Di tengah kemelut tercemplung sebagai tapol pekerja rodi dengan nasib tidak menentu, ia masih sempat meneruskan hobinya untuk belajar bahasa Italia. Ia mengulang mimpi Italianya yang menjadi kenyataan ketika sedang studi di Moskwa, berkeliling ke berbagai pelosok Italia sebagai tamu kehormatan sejumlah keluarga pada suatu libur musim panas pada 1962.
Perjalanan gratis itu diorganisasikan oleh koran penting Italia, L’Unita, sebagai tanggapan terhadap surat pembaca yang ditulisnya dari Moskwa. Di samping sempat melempar tiga koin di Fontana di Trevi, Roma, ala film dan lagu romantis Three Coins in the Fountain, tempat ratusan turis tiap hari berduyun-duyun datang untuk melempar koin. Ia pun sempat didaftar sebagai anggota kehormatan Pemuda Anti Fasis. Dalam kunjungannya ke kota Grosseto, bagian dari agenda koran L’Unita, tempat partai komunis memenangkan pemilu lokal, dirinya disambut bak tamu agung. Dalam hatinya sempat malu karena merasa dirinya seorang pemuda yang bukan apa-apa. ”Tuan rumah yang menyambutku tahu benar aku bukan tokoh, hanya seorang mahasiswa dari negeri jauh. Benar-benar sambutan luar biasa yang mengharukan. Aku dibawa ke Balai Kota diperkenalkan pada walikota yang tengah rapat, ada kepala polisi dan beberapa pejabat tingkat daerah. Semuanya menyambut dengan antusias dan bukan basa-basi, bahkan aku diantar salah seorang dari pejabat daerah untuk meninjau sebuah proyek, Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Lardarello. Di kota ini aku tinggal bersama keluarga muda Barzanti Nedo, di via Porto Lorento 47. Rupanya ada pula orang Italia yang mengenakan semacam bakiak kayu di rumah, aku pun mengikuti cara mereka. Mimpi pun berakhir, ia mendapati dirinya masih sebagai tapol. Ia tak pernah menyesal akan keputusan-keputusannya, akan nasib yang menimpanya.
Menurut catatannya urusan korupsi sudah dihadapinya ketika dia baru saja bekerja di Proyek Pabrik Baja Trikora di Cilegon, bagian penerimaan barang-barang dari Uni Soviet. Ketika itu, Ir. Tunky Ariwibowo yang kelak menjadi orang penting Orde Baru juga bekerja ditempat yang sama. ”Pengalaman baru juga kujumpai di Cilegon, korupsi dalam bentuknya yang begitu telanjang tanpa tedeng aling-aling, dibicarakan dengan santai tanpa rasa bersalah atau malu. Di awal 1965 sebagian pekerjaan pengangkutan barang eks Rusia dari Tanjung Priok ke Cilegon diborongkan pada kontraktor yang memiliki armada angkutan cukup besar, Direktorat Angkutan Angkatan Darat (DAAD), bagian dari Angkatan Darat. Proses negosiasi penentuan tarifnya tidaklah kuketahui, di atasku ada pimpinan lebih tinggi, Ir. Lintong Toruan dan diatasnya Ir. Tunky Ariwibowo. Sebagai tenaga pelaksana dan pengawas dilapangan aku tinggal menerima kiriman barang di Cilegon, menghitung kubikasi barang yang sebagian besar berbentuk peti kayu atau tonase yang dibongkar dilapangan, kemudian mengakurkan dengan tagihan kontraktor untuk periode yang sama. Suatu kali terjadi selisih begitu besar, kontraktor mengirim seorang petugas berpangkat letnan satu membawa tagihan Rp. 121.000.000. Menurut perhitunganku, dalam periode tagihan yang sama nilainya hanya Rp. 96.000.000, selisih Rp. 25.000.000.
Utusan dari Jakarta bersikukuh jumlah tagihannya sebesar angka tersebut, sedang aku pun bersikeras dengan catatanku. Karena tidak tercapai kata sepakat, datang atasan sang letnan satu, seorang letnan kolonel. Beberapa kali tidak berhasil rupanya membuat Pak Letkol putus asa, dia datang ke asrama malam hari dan meminta berbicara empat mata. Malam itu dia berterus terang mengatakan sebenarnya dia pun tahu nilai tagihan sebenarnya 96 juta, tetapi sengaja dinaikkan menjadi 121 juta. Antara percaya dan tidak, dalam hati kubayangkan dinaikkan 25 juta, kenaikan lebih dari 25 prosen, untuk siapa saja? Pak Letkol berjanji memberiku sekian, lalu siapa lagi yang diberi janji? Kalau berita acara penerimaan barang kuteken, atasanku akan langsung memberi tanda ’Acc’ dan kuitansi akan dibayar oleh Bagian Keuangan. Sebagai perbandingan gaji pokok sebagai Pegawai Negeri golongan F-2 saat itu Rp. 17.200 ditambah tunjangan beras dan lain-lain bisa mencapai Rp. 40.000. Dengan tegas kukatakan kepada Pak Letkol aku tidak akan meneken Berita Acara yang keliru tersebut. Beberapa kali Pak Letkol mengirim utusan dari Jakarta mendesak, datang dengan memakai pakaian seragam militer dan sekian kali pakai pakaian sipil, tetap kutolak. Akhirnya dia pun menyerah mengubah Berita Acara sesuai data yang benar, saat disodorkan aku bilang, “Kalau angka ini yang Bapak sodorkan, dari dulu sudah saya teken”. Itulah korupsi telanjang tersebut.
Sekalipun studi dan pekerjaannya dibidang teknik, perhatiannya sangat luas pada bidang-bidang lain, ekonomi, politik, sosial, sejarah, sastra, musik, bahasa, ekologi, dengan demikian catatannya berwarna-warni penuh dengan aspek kemanusiaan. Bertahun-tahun ia terlatih menulis catatan harian, selalu memberikan deskripsi dengan teliti dan rinci, mudah bagi kita membayangkannya. Catatan yang dibuatnya akan dapat dijadikan bahan dasar menarik bagi pembuat film yang berminat. Sebagai seorang tapol yang sedang bekerja rodi, ia masih sempat memikirkan soal sejarah Banten yang hilang karena penemuan benda-benda bersejarah ketika dilakukan pengerukan pelabuhan kuno Karangantu tidak didokumentasikan. Ia sempat membuat uraian tentang gagasan Propinsi Banten yang dewasa ini sudah menjadi kenyataan.
Ketika membaca majalah luar negeri (Februari 1970) tentang kekayaan seorang pejabat Orba sebesar 38 juta dollar, ia langsung menghitung. Ongkos seorang tapol ketika itu Rp. 35/hari, jika dijadikan Rp. 100 maka tiap tapol akan makan kenyang bergizi. Dengan kurs Rp. 378 masa itu, maka sang koruptor dapat memelihara 500 budak tapol yang ada di Banten dengan kenyang bergizi selama 554 tahun. Perhitungan sederhana yang pahit ini menggugah renungan kita. Selama lebih dari 30 tahun ini berapa miliar dollar kekayaan negeri ini telah dijarah oleh para penguasa dan pengusaha hitam. Berapa miliar dollar dana yang telah terakumulasi mereka kuasai dengan segala macam cara? Bukankah kini dengan dana tersebut mereka dapat memperbudak jutaan rakyat, 200 juta rakyat Indonesia? Karenanya money politics merupakan ancaman nyata yang telah dan akan terjadi, tidak aneh jika reformasi baru kulit tanpa isi.
(Sebagian pengantar naskah belum terbit Ir Djoko Sri Muljono, Banten Seabad Setelah Max Havelaar, Catatan Seorang Tapol 12 Tahun Dalam Tahanan, Kerja Rodi & Pembuangan, penyunting dan pengantar oleh Harsutejo)
Harsutejo/rumahkiri.net