Oleh: Salahuddin Wahid
SAAT berusia 10 tahun, saya melihat sebuah foto di ruang kerja ayah saya, yang menunjukkan gambar seorang lelaki dengan mata tertutup berdiri menghadapi beberapa orang yang mengacungkan senjata. Saya bertanya siapa lelaki itu dan apa yang sedang dialaminya. Ayah menjawab, lelaki itu anggota PKI yang terlibat pemberontakan di Madiun (1948).
Menurut beliau, pemberontakan itu membunuh banyak kiai di sekitar Madiun, banyak di antaranya yang punya hubungan darah dengan kami. Jawaban ayah saya tentang pembunuhan oleh anggota PKI terhadap keluarga kami langsung saya percaya dan sangat membekas di dalam diri saya dan tidak mungkin saya lupakan sampai kapan pun. Saya yakin banyak sekali orang yang berpendapat sama dengan saya.
Kini telah terbit banyak buku yang membantah apa yang saya yakini itu. Menurut para penulis buku itu, peristiwa (bukan pemberontakan) Madiun adalah buah persengketaan antara TNI dan laskar-laskar revolusi lainnya. Dan juga merupakan konflik internal Angkatan Darat. Penulis buku-buku itu berpendapat bahwa PKI hanya menjadi kambing hitam dan korban perang dingin. Yang dipersalahkan adalah mereka yang antikomunis dan memanipulasi peristiwa itu lalu menyebutnya sebagai pemberontakan.
Ada tiga buku yang saya punya. Pertama berjudul PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun) yang berisi kumpulan tulisan yaitu tulisan DN Aidit berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, tulisan Suar Suroso berjudul PKI, Korban Pertama Perang Dingin, tulisan Jacques Leclerc tentang Amir Syarifudin dan tulisan Musso berjudul Jalan Baru.
Buku kedua berjudul Negara Madiun? (Kesaksian Soemarsono, Pelaku Perjuangan). Hasil diskusi panjang Arief Budiman dengan Soemarsono itu ditambah kajian yang dilakukannya lalu dikembangkan dan ditulis oleh Hersriawan, yang pernah menjadi tapol di Pulau Buru. Buku ketiga berjudul Peristiwa Madiun 1948. Kudeta atau Konflik Internal Tentara yang ditulis oleh David Charles Anderson.
Amat sulit untuk mengubah opini orang yang yakin bahwa PKI terlibat dalam pemberontakan Madiun. Tetapi warga masyarakat yang masih berusia muda cenderung untuk mempercayai isi buku-buku di atas. Bagi mereka PKI adalah korban Orde Baru yang mereka ketahui sebagai pemerintahan otoriter yang korup.
TANGGAL 1 Oktober 1965 pagi, kami sekeluarga mendengarkan dengan saksama pengumuman radio dari Dewan Revolusi. Reaksi spontan kami sekeluarga: di belakang Dewan Revolusi adalah PKI. Kami punya reaksi itu karena selama beberapa tahun sebelumnya telah menyaksikan terjadinya "perang" antara PKI dan kawan-kawan melawan kekuatan politik lain yang meliputi kalangan Islam, agama lain, kelompok sosialis, TNI, dan lain lain. Kedua kekuatan yang bertentangan itu berusaha menarik Bung Karno ke arah kelompok mereka.
Keluarga serta kawan kami di Jawa Timur mengisahkan banyak peristiwa yang mencerminkan runcingnya pertentangan antara pihak PKI serta lawannya, yang sudah sampai di lapisan masyarakat paling bawah. Boleh dibilang tingkat pertentangannya sudah sampai pada puncaknya, tinggal menunggu meletus dalam konflik fisik terbuka yang meluas.
Reaksi spontan kami dalam menanggapi gempa bumi politik saat itu sama dengan reaksi puluhan juta orang lain. Apa yang terjadi saat itu tentu tidak mungkin dinilai dengan tatanan sosial politik pada saat ini. Kini setelah 39 tahun berlalu, saya merasa reaksi spontan kami itu adalah wajar dan sesuai dengan pengalaman dan tatanan sosial politik waktu itu. Tentu saja, bersikap menyatakan PKI terlibat G30S bukan berarti kami menyetujui tindakan pembunuhan terhadap sekian banyak orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
Pada tahun 1969 terbit tulisan Arnold C Brackman, Cornell Paper: Communist Collapse in Indonesia yang mengemukakan pendapat bahwa G30S bukan kudeta PKI tetapi merupakan konflik internal Angkatan Darat. Saya punya buku berjudul G 30 S, Sejarah Yang Digelapkan, Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto karya Harsutejo. Buku yang lain berjudul Membongkar Jaringan CIA karya Yoshiro Mushasi, yang menggali kemungkinan peran CIA dalam penggulingan Soekarno. Buku ketiga berjudul Kudeta Angkatan Darat karya Geoffrey B Robinson. Masih banyak lagi buku lain dengan opini yang sama.
Menanggapi tuntutan untuk melakukan penulisan kembali sejarah Indonesia yang dianggap mengandung banyak pemalsuan, dibentuklah tim untuk melakukan tugas itu yang dipimpin oleh Dr Taufik Abdullah. Tetapi tampaknya tidak mudah bagi tim itu untuk menuliskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam peristiwa G30S. Ada semacam kabut tebal yang menyelimutinya hingga sulit untuk mengungkap kebenaran. Versi manapun yang diakui atau dianggap benar, pasti tidak akan diterima dan menimbulkan reaksi keras dari pihak yang berlawanan.
Masalah utama peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan onder-bouwnya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Beberapa buku mengungkap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh sebagian warga masyarakat atas perintah sejumlah aparat tentara yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Tampaknya saat itu paradigma TNI menganggap komunis sebagai musuh bangsa. Paradigma itu tentu merupakan hasil perjalanan kesejarahan TNI sejak awal kemerdekaan. Tetapi pembunuhan massal itu bukan implementasi yang tepat dari paradigma TNI itu dipandang dari perspektif kemanusiaan, walaupun perspektif politik dan militer mungkin bisa dianggap tepat.
Di Jawa Timur banyak warga NU dan Ansor ikut terlibat dalam pembunuhan itu. Mereka terlibat kekejaman itu karena tidak dapat menghindar dari instruksi tentara dan juga karena merasakan suasana peperangan yang hidup di dalam masyarakat. Suasana semacam itu terbangun akibat konflik fisik yang mereka alami selama beberapa tahun terakhir, yang tentu bernuansa membunuh atau dibunuh dari pada dibunuh. Tetapi perlu disadari bahwa kalau kita memahami suasana sosial saat itu tidak berarti kita menyetujui tindakan itu.
BEBERAPA tahun terakhir terjadi gejala menarik dan positif. Sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat memulai langkah awal untuk bisa mewujudkan rekonsiliasi sosial dengan keluarga korban peristiwa 1965. Mereka melakukan silaturrahim dengan keluarga mantan tapol di berbagai tempat. Mereka juga menerbitkan buletin RUAS yang khusus membahas materi yang berkaitan dengan upaya rekonsiliasi. Tetapi langkah anak muda NU itu tampaknya belum mendapatkan tanggapan positif dari mayoritas warga NU.
Kita sadar bahwa rekonsiliasi dengan korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu harus segera dilakukan. Tapi kita juga tahu bahwa tidak mudah untuk melakukannya. UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ternyata tidak mudah untuk melakukannya. UU KKR ternyata tidak memuaskan karena lebih memihak kepada pelaku pelanggaran. Perlu kita ketahui bahwa rekonsiliasi itu tidak hanya antara pelaku dengan korban dan keluarga, tetapi juga antara masyarakat secara umum dengan korban dan keluarga. Yang pertama bernuansa hukum dan yang kedua lebih bernuansa sosial. Jenis yang kedua itulah yang ingin dilakukan oleh kalangan muda NU yang tergabung dalam Syarikat itu bisa dilakukan tanpa dikaitkan dengan UU KKR. Masing-masing bisa berjalan sendiri dan saling mendukung.
Di dalam kalangan NU-terutama generasi tua-tidak mungkin untuk mengubah perspesi tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa Madiun dan peristiwa G30S. Wajar kalau mereka masih belum bisa melupakan pengalaman buruk dengan PKI. Kecurigaan terhadap PKI juga masih cukup tinggi. Kondisi itu tidak mendukung upaya rekonsiliasi dengan korban G30S dan keluarganya yang ingin dilakukan oleh kalangan muda NU. Mantan tapol dan keluarganya berjumlah amat besar, demikian pula warga NU. Jadi terwujudnya rekonsiliasi antara kedua komunitas itu akan memberi dampak positif bagi kehidupan bangsa di masa mendatang.
Rekonsiliasi itu membutuhkan kesediaan semua pihak untuk melakukannya. Membutuhkan ketulusan, kejujuran dan keterbukaan, menghendaki hilangnya prasangka didalam diri masing-masing. Juga membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kerja keras. Serta membutuhkan waktu yang amat panjang. Makin cepat dilakukan, makin baik.
Sudah saatnya NU-jama’ah dan jami’yah-mempertimbangkan bagaimana sebaiknya menyikapi masalah rekonsiliasi sosial warga NU dengan mantan tapol dan keluarganya. Sudah cukup jauh jarak waktu dengan tahun 1965 sehingga tidak terlalu sulit bagi NU untuk mengambil sikap yang tepat. Dalam posisi sebagai Presiden, Gus Dur telah membuka jalan dengan meminta maaf kepada korban dan keluarga mereka. Kegiatan kalangan muda NU dalam Syarikat adalah langkah awal bagi tujuan mulia yang merupakan sumbangsih besar NU yang kesekiankalinya bagi bangsa.
Sumber: Kompas, Jumat, 01 Oktober 2004